- Selasa, 4 November 2025
Sekali Cium Harumnya, Kamu Tak Akan Lupa: Palai Bada, Kuliner Minang Yang Semakin Langka
Sekali Cium Harumnya, Kamu Tak Akan Lupa: Palai Bada, Kuliner Minang yang Semakin Langka
Oleh: Andika Putra Wardana
Ada satu cara manusia Minangkabau menjaga rasa, bukan hanya melalui piring besar dengan bumbu kental dan santan melimpah, tetapi lewat kemasan sederhana, daun pisang yang menutup helai-helai rempah, ikan teri basah, dan bara kecil yang mengiris aroma. Itulah Palai Bada, sebuah hidangan yang tampak sederhana tetapi menyimpan jejak tradisi, alam, dan rasa yang melekat.
Di pesisir Sumatera Barat, terutama kawasan Pesisir Selatan dan kota-Padang, ikan teri basah atau yang dikenal sebagai “bada” menjadi bahan utama. Dari laut atau muara sungai, teri dialiri ke dapur-nagari, dicampur kelapa parut, cabai, bawang, daun kunyit, daun mangkokan, kemangi, semua rempah yang tumbuh di sekitar rumah. Bumbu?bumbu itu ditumbuk, dicampur dengan teri, dibungkus daun pisang, lalu dibakar di atas bara api hingga ikan menyerap rasa, daun harum perlahan, dan minyak dari kelapa keluar menyatu dengan aroma hangus ringan. Hasilnya, gurih yang dalam, tekstur ikan yang masih terasa, dan wangi daun pisang yang mengundang, menjadikan Palai Bada bukan sekadar lauk, melainkan cerita rasa dari kampung.
Proses memasak Palai Bada menurut berbagai sumber mirip pepes, tetapi ada ciri khasnya, penggunaan kelapa parut sebagai taburan ataupun bahan campuran bumbu, dan memasaknya dengan cara dibakar atau dipanggang setelah dibungkus daun pisang. Selain itu, bahan terinya bukan sekadar ikan kecil bebas bahan, melainkan ikan bada basah yang baru, menunjukkan bahwa hidangan ini sangat terkait dengan aktivitas nelayan dan hasil muara pinggir laut atau sungai.
Hidangan ini sering ditemukan sebagai lauk di rumah makan Minang, di pasar tradisional, ataupun di acara adat. Namun sayangnya, menurut laporan, kian hari Palai Bada mulai sulit ditemui di kota-kota besar karena bahan-bahan tradisionalnya mulai langka dan praktik memasaknya memakai api kayu serta daun pisang makin tergantikan. Ini membuat setiap porsi Palai Bada menjadi tidak hanya santapan, tapi saksi bahwa rasa lokal masih hidup.
Secara simbolik, Palai Bada menunjukkan hubungan manusia Minang dengan alam, laut memberi ikan bada, kebun memberi kelapa dan daun rempah, sungai dan muara memberi akses bahan basah segar. Daun pisang sebagai pembungkus menegaskan filosofi “dari alam, kembali ke alam”. Sedangkan proses pembakaran tanpa api besar memberitahu bahwa rasa kuat tidak selalu berasal dari kemewahan, tapi dari kesabaran, bahan sederhana, dan metode lama yang penuh perhatian.
Untuk kamu yang berkunjung ke Sumatera Barat, jalan-jalan di pesisir, ke pasar pagi, mendengar bau kelapa parut dibakar dan daun pisang berkerut, jangan lewatkan untuk mencicipi Palai Bada. Duduk di warung sederhana, dengarkan suara daun yang berkerut di api, seruput kopi hitam, lalu suap kecil Palai Bada, rasanya gurih, harum, dan… rasa kampung halaman. Karena dari satu bungkus kecil itu, kamu tidak hanya makan ikan bada, tetapi kamu membawa pulang cerita.
Editor : melatisan
Tag :#Palai Bada
Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News
Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com
-
SATE DANGUANG-DANGUANG: GURIHNYA LIDAH DAN REMPAH DARI NAGARI 50 KOTA
-
SOTO PADANG: SEMANGKUK HANGAT YANG CERITAKAN RANAH MINANG
-
GULAI BANAK: KUAH SANTAN PEDAS DARI OTAK SAPI YANG JADI IKON MINANGKABAU
-
KATUPEK GULAI TUNJANG: PERPADUAN LEMBUT KETUPAT DAN GURIH KUAH SUMSUM DARI RANAH MINANG
-
GULAI PAKU: CITA RASA ALAM YANG MELEKAT DI LIDAH ORANG MINANG
-
PENERAPAN AKUNTANSI MANAJEMEN PADA FURNITURE BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
-
DIMANA MUSEUM KOTA BUKITTINGGI?
-
"ANAK DARO" DIKLAIM KOPI KERINCI JAMBI OLEH ROEMAH KOFFIE, POTENSI PENCAPLOKAN BUDAYA MINANG PICU KONTROVERSI
-
MEMBUMIKAN KOPI MINANG: DARI SEJARAH 1840 HINGGA GERAKAN MENANAM KAUM
-
FWK MEMBISIKKAN KEBANGSAAN DARI DISKUSI-DISKUSI KECIL