HOME LANGKAN TINGKOK

  • Rabu, 8 Oktober 2025

Perempuan Dan Estetika Baru Tari Minangkabau

Penulis: Muhammad Fawzan
Penulis: Muhammad Fawzan

Perempuan dan Estetika Baru Tari Minangkabau

Oleh: Muhammad Fawzan


Di masa lalu, tari tradisional Minangkabau identik dengan laki-laki. Gerakannya lahir dari silek, seni bela diri yang menuntut kekuatan, ketegasan, dan kewaspadaan. Tapi zaman berubah. Di panggung-panggung Minangkabau hari ini, perempuan justru berdiri di garis depan, menarikan falsafah lama dengan semangat baru.

Transformasi ini bukan sekadar soal siapa yang menari, tetapi tentang bagaimana tubuh perempuan menjadi medium baru untuk menyuarakan nilai adat.

Dari Penonton ke Pelaku

Pada masa silam, perempuan Minangkabau lebih sering hadir sebagai penonton atau simbol dalam upacara adat, bukan pelaku tari.

Hal ini wajar, karena fungsi tari saat itu erat kaitannya dengan ritual dan bela diri dua ranah yang secara sosial dimiliki laki-laki.
Namun, sejak seni tari memasuki era pertunjukan modern di pertengahan abad ke-20, perempuan mulai mengambil peran aktif.

Menurut Daryusti, perubahan ini bukan bentuk pelanggaran adat, tetapi penyesuaian terhadap konteks sosial baru. Tubuh perempuan membawa kehalusan, kelembutan, dan rasa yang lebih menonjol, yang justru memperkaya estetika Minangkabau tanpa menanggalkan prinsip alua dan patuik, segala sesuatu tetap harus berada pada tempat dan ukuran yang pantas.

Tubuh Perempuan sebagai Ruang “Raso”

Ketika perempuan Minangkabau menari, ia membawa dimensi raso, rasa kebersamaan dan empati ke tingkat yang lebih halus.
Gerakan rampak yang dilakukan bersama-sama melambangkan solidaritas dan kesetaraan, bukan sekadar keseragaman.
Setiap langkah, tatapan, dan lengkung tangan menjadi bahasa emosional yang menghubungkan penonton dengan nilai-nilai moral Minangkabau, malu, hormat, dan kebersamaan.

Perempuan tidak hanya meniru gerak laki-laki dalam silek, tetapi menafsirkan ulang menjadi gerak yang lembut namun tegas, indah namun bermakna.

Inilah yang oleh para peneliti disebut sebagai “estetika femininitas dalam adat”, yang di mana keindahan bukan berarti kelemahan, tapi keseimbangan antara tenaga dan perasaan.

Menari di Antara Adat dan Modernitas

Kini, banyak koreografer muda Minangkabau, seperti Gusmiati Suid dan Murial Hasibuan mengangkat tema perempuan dalam karya tari mereka.

Lewat koreografi kontemporer, mereka menggambarkan perjuangan, kemandirian, dan spiritualitas perempuan Minangkabau.
Namun, akar adat tetap menjadi pijakan.

Gerak-gerak lama seperti garak, garik, dan tanggak tidak dihapus, tetapi diolah ulang agar bisa berdialog dengan dunia modern.

Perubahan ini menegaskan bahwa adat tidak mati di tangan perempuan, justru mereka yang menghidupkannya kembali.

Tubuh perempuan di atas panggung menjadi simbol kebijaksanaan yang lentur, selaras dengan pepatah:

“Nan elok indak balabiah, nan cukup indak bakurang.”

Keseimbangan inilah yang membuat seni Minangkabau terus relevan, sekalipun bentuknya berubah.

Perempuan Minangkabau yang menari hari ini bukan sekadar pelaku seni, melainkan penafsir falsafah leluhur.
Mereka menjadikan tubuh sebagai teks budaya yang hidup, menyampaikan nilai alua, patuik, raso, pareso tanpa harus berbicara.
Tari bukan lagi ruang eksklusif laki-laki, tapi ruang kolektif di mana setiap gerak menjadi doa, setiap langkah menjadi pernyataan bahwa adat masih bernafas di tubuh generasi baru.

Dan di setiap putaran tangan penari perempuan Minang, kita melihat bukti paling indah dari warisan budaya yang adaptif, tradisi yang tidak takut berubah, karena ia tahu, akar yang kuat takkan tumbang hanya karena angin zaman.


Wartawan : Muhammad Fawzan
Editor : melatisan

Tag :#Perempuan

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com