- Sabtu, 11 Oktober 2025
Konflik Politik Di Indonesia: Cermin Ketegangan Sosial Atau Kegagalan Demokrasi?

Konflik Politik di Indonesia: Cermin Ketegangan Sosial atau Kegagalan Demokrasi?
Oleh: Khessyfa Zahwa Zulaika
(Mahasiswa Universitas Andalas, Program Studi IlmuPolitik)
Pendahuluan
Konflik politik adalah suatu komponen tak terpisahkan daridemokrasi. Namun, ketika konflik politik itu berubah menjadikekacauan sosial, perpecahan horizontal, bahkan krisiskepercayaan masyarakat terhadap institusi negara, pentingbagi kita untuk bertanya: apakah konflik ini merefleksikandinamika normal dalam sistem demokrasi, atau merupakanpertanda bahwa demokrasi tidak berfungsi sebagaimanai dealnya?
Dalam konteks Indonesia, konflik politik seringmemperlihatkan situasi yang memprihatinkan seperti, polarisasi ekstrem, politik identitas, hingga ujaran kebencianyang berkembang pesat di media sosial.
Situai ini bukanhanya sekedar tentang persaingan antar-elite politik, tetapijuga menunjukkan adanya permasalahan sosial yang mendasardan kompleks.
Konflik Politik: Normal dalam Demokrasi?
Secara konseptual, Demokrasi bukanlah sistem yang menjamin kesamaan, tetapi sistem yang menerima dan mengelola bermacam-macam pandangan serta kepentinganyang banyak.
Konflik berperan sebagai alat untukmenghubungkan perbedaan dalam kerangka hukum dan institusi yang sah. Namun, seperti yang sudah di jelaskan oleh Robert A. Dahl, Demokrasi dapat berfungsi dengan baik jika, dikelola dengan prinsip inklusivitas dan kompetisi yang adil.
Ironisnya di Indonesia, banyak konflik politik yang malahmenunjukkan kegagalan dalam pengelolaan perbedaan. Bukanperdebatan ide atau kebijakan yang menonjol, melainkanserangan identitas, pembelahan sosial, dan disinformasi. Jika konflik dalam demokrasi seharusnya bersifat deliberatif, makayang terjadi di Indonesia cenderung destruktif.
Konflik politikbiasanya merefleksikan adanya ketegangan sosial yang telahberlangsung dalam waktu yang lama. Ketimpangan ekonomi, marjinalisasi kelompok tertentu, serta eksklusivitas dalamakses terhadap kekuasaan, menjadi sumber akarketidakpuasan yang mudah dimobilisasi secara politis.
Kita bisa melihat pada Pemilu 2019, polarisasi politik antara dua belak pihak tidak hanya terjadi di kalangan elite, tetapi juga meluas ke masyarakat. Sentimen agama, etnis, bahkan daerahdimanfaatkan untuk memperkuat pondasi dukungan politik. Akibatnya, konflik yang semula politis menjadi sosial dan menghancurkan kesatuan dan memperlemah semangatkebangsaan. Hal ini menunjukkan bahwa konflik politik kitatidak berdiri sendiri, tetapi menyatu dengan persoalan sosialyang sistemik dan masih belum selesai.
Kegagalan Demokrasi yang Struktural
Selanjutnya, konflik politik yang tidak produktif juga menunjukkan adanya kelemahan demokrasi secara struktural. Pertama, sistem rekrutmen politik masih sangat eksklusif dan tidak terbuka. Partai politik, condong menjadi alat oligarki, bukan ruang pengkaderan ideologis atau keterwakilan rakyat.
Kedua, lemahnya netralitas institusi menurunkan tingkatkepercayaan publik. KPU, Bawaslu, Mahkamah Konstitusi, hingga lembaga penegak hukum sering kali dianggap tidakindependen, khususnya dalam momen penting politik besar.
Ketiga, ruang publik yang seharusnya menjadi lapangan untukdialog demokratis malah dipenuhi disinformasi dan manipulasi opini. Media sosial dimanfaatkan bukan untukmendidik warga negara, tetapi untuk menyampaikanpropaganda dan memperkuat polarisasi.
Tidak adanyareformasi fundamental, demokrasi kita hanya akan menjadiprosedural yang hanya memfasilitasi pemilu lima tahunan, namun gagal menciptakan ruang politik yang inklusif dan sehat.
Penutup: Konflik sebagai peringatan. Bukan Tujuan
Konflik politik di Indonesia, dalam berbagai aspek adalahperingatan yang mengindikasikan adanya masalah strukturaldalam sistem demokrasi dan kehidupan sosial kita. Yang mengindikasikan kegagalan dalam menciptakan ruangpartisipasi yang bermakna dan bernilai, masyarakat yang solid dan kompak, dan pemerintahan yang berkeadilan.
Namun, konflik bukan lah titik akhir dari segalanya. konflik bisamenjadi titik balik, jika konflik tersebut mempunyaikemampuan untuk mengelolanya dengan tingkat kedewasaanyang matang dalam mengelola politik, reformasi kelembagaan, serta pengoptimalan kemampuan literasi politikwarga. Demokrasi itu tidak gagal karena adanya konflik, tetapi demokrasi akan gagal ketika konflik tidak mampudiselesaikan secara adil dan damai.
Tag :#Konflik Politik
Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News
Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com
-
UPAYA MELINDUNGI BAHASA ABORIGIN DI TENGAH ARUS GLOBALISASI
-
SEPAK TERJANG BUPATI ANNISA: MEMBANGUN PERADABAN DHARMASRAYA LEWAT PENDIDIKAN
-
DARI SUMATERA BARAT UNTUK INDONESIA: 80 TAHUN SUMATERA BARAT (1 OKTOBER 1945 - 1 OKTOBER 2025)
-
REQUISITOIR JPU KASUS PEMBUNUHAN BERENCANA TANAH DATAR: TUNTUT PIDANA MATI
-
PEJUANG MUDA: HILIRISASI KOPI UNTUK DONGKRAK EKONOMI
-
KONFLIK POLITIK DI INDONESIA: CERMIN KETEGANGAN SOSIAL ATAU KEGAGALAN DEMOKRASI?
-
UPAYA MELINDUNGI BAHASA ABORIGIN DI TENGAH ARUS GLOBALISASI
-
SEPAK TERJANG BUPATI ANNISA: MEMBANGUN PERADABAN DHARMASRAYA LEWAT PENDIDIKAN
-
DARI SUMATERA BARAT UNTUK INDONESIA: 80 TAHUN SUMATERA BARAT (1 OKTOBER 1945 - 1 OKTOBER 2025)
-
TENSI POLITIK OLAHRAGA NAIK JELANG MUSORPROV KONI SUMBAR, UPAYA INTERVENSI MENGKRISTAL