HOME OPINI FEATURE

  • Kamis, 30 Oktober 2025

Membumikan Kopi Minang: Dari Sejarah 1840 Hingga Gerakan Menanam Kaum

Talkshow “Coffee Talk” yang digelar oleh Asosiasi Kopi Minang (AKM)
Talkshow “Coffee Talk” yang digelar oleh Asosiasi Kopi Minang (AKM)

Membumikan Kopi Minang: Dari Sejarah 1840 hingga Gerakan Menanam Kaum

Padang,(minangsatu) - Aroma kopi menyeruak lembut di arena Sumbar Expo 2025, ketika puluhan pelaku kopi, penikmat, dan akademisi berkumpul dalam Talkshow “Coffee Talk” yang digelar oleh Asosiasi Kopi Minang (AKM). Namun, acara ini bukan sekadar perbincangan ringan tentang citarasa kopi melainkan percakapan mendalam tentang identitas, sejarah, dan masa depan ekonomi Sumatera Barat yang diseduh dalam secangkir kopi.

Dengan tema “Membumikan Literasi Kopi Minang, Dengan Sejarah yang Mentereng dan Keunggulan Geografis,” diskusi ini menghadirkan tiga tokoh penting: Khairul Jasmi, wartawan senior yang juga penulis budaya Minang; Novrial SE, M.Ak, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumbar; serta Prof. Ganefri, Ph.D, akademisi dan senior eksekutif dari Universitas Negeri Padang.

Dalam paparannya, Prof. Ganefri menegaskan bahwa literasi kopi Minang harus dimulai dari pengakuan atas sejarahnya. “Sejak tahun 1840, kopi dari Sumatera Barat sudah dikenal di pelabuhan-pelabuhan Eropa. Namun kini, nama besar itu belum benar-benar menjadi identitas ekonomi daerah,” ujarnya.

Ia mengusulkan branding “Kopi Sumbar 1840” sebagai simbol kebangkitan ekonomi berbasis budaya. “Label ini bukan hanya merek dagang, tetapi pengingat sejarah bahwa kopi pernah menjadi bagian dari kejayaan perdagangan Sumbar,” tambahnya.

Data dari BPS Sumatera Barat mencatat bahwa luas perkebunan kopi di Sumbar mencapai lebih dari 28.000 hektare, dengan produksi sekitar 21.000 ton lebih per tahun. Namun, sebagian besar hasilnya masih dijual dalam bentuk biji mentah (green bean), tanpa proses lanjutan seperti roasting dan packaging modern.

“Padahal nilai tambah terbesar kopi ada di proses pasca panen. Di sinilah peran AKM dan pelaku UMKM sangat penting,” kata Novrial, yang turut memaparkan program industrial linkage untuk memperkuat jaringan antara petani, roaster, dan pelaku bisnis kopi lokal.

Khairul Jasmi, wartawan senior yang dikenal dengan tulisannya tentang budaya Minang, mengajak masyarakat untuk mengembalikan semangat gotong royong melalui gerakan menanam kopi dari akar rumput. “Dulu kopi ditanam bersama-sama, jadi bagian dari budaya dan ekonomi keluarga. Kini semangat itu perlu dihidupkan lagi,” ujarnya.

Ajakan ini disambut hangat oleh Prof. Ganefri, yang menambahkan konsep ‘Satu Kaum, Satu Lahan Kopi’ sistem pertanian berbasis komunitas adat. “Tanah-tanah Kaum yang menganggur bisa dikelola untuk budidaya kopi. Anak kemenakan yang menggarap, hasilnya untuk kesejahteraan bersama,” jelasnya.

Konsep ini mendapat dukungan dari kalangan pemerhati sosial ekonomi. Menurut laporan Balittri Kementan (2023), potensi kopi arabika Sumbar terutama dari Solok, Agam, dan Tanah Datar diakui memiliki kualitas premium dan berpotensi menembus pasar ekspor.

Sayangnya, keterbatasan produksi lokal membuat Sumbar masih mengimpor biji kopi dari daerah tetangga seperti Kerinci dan Lampung.

Di akhir diskusi, Prof. Ganefri juga menekankan pentingnya membangun budaya minum kopi murni tanpa campuran sebagai gaya hidup sehat. “Minum kopi bukan sekadar tren, tapi bagian dari identitas dan literasi rasa. Jika masyarakat memahami nilai kopi lokalnya, maka industri kopi Sumbar akan tumbuh dengan sendirinya,” pungkasnya.

Acara Coffee Talk yang diselenggarakan AKM itu menandai langkah serius untuk menjadikan kopi sebagai simbol kebangkitan ekonomi dan budaya Minangkabau. Di tengah gempuran kopi modern dan franchise global, para pecinta kopi Minang kini sepakat: kopi bukan hanya minuman, tapi warisan yang harus diseduh kembali dengan kebanggaan.


Tag :#KopiMinang #AKM #Coffe Talk #UNP #Sumbar

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com