HOME LANGKAN TINGKOK

  • Rabu, 8 Oktober 2025

Saluang Pauh Di Era Digital: Dari Nagari Ke YouTube

Penulis: Avina Amanda
Penulis: Avina Amanda

Saluang Pauh di Era Digital: Dari Nagari ke YouTube

Oleh: Avina Amanda


Di Pauh, Padang, seni tradisi tidak selalu bersuara keras. Kadang ia berbisik pelan, menunggu ada yang mau mendengarkan kembali. Salah satu suara itu adalah Saluang Pauh, alat musik tiup dari bambu tipis yang dulu mengiringi kaba, kini mencoba menemukan ruang baru di tengah derasnya arus digital.
Jika dulu ia dimainkan di surau, pesta adat, atau alek nagari, kini Saluang Pauh juga terdengar di layar ponsel, menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.

Dari Balai ke Layar

Bujang Lolit, salah satu maestro Saluang Pauh, sering berkata bahwa setiap tiupan bambu menyimpan “nafas leluhur.” Tapi bagi generasi muda, suara itu semakin samar, tergantikan oleh musik pop dan konten cepat dari media sosial.
Situasi ini mendorong sekelompok seniman muda dan peneliti dari ISI Padang Panjang untuk melakukan sesuatu, merekam, mendokumentasikan, dan mengunggah pertunjukan Saluang Pauh ke YouTube.

Langkah sederhana itu ternyata penting. Ia bukan hanya menyelamatkan bunyi, tetapi juga menyebarkan memori budaya ke ruang virtual, tempat anak-anak muda kini menghabiskan waktunya.

Dalam dunia yang serba instan, video berdurasi lima menit mungkin jadi cara baru untuk memperkenalkan kebijaksanaan yang dulunya diwariskan lewat malam panjang dendang di surau.

Antara Tradisi dan Inovasi

Namun membawa Saluang Pauh ke dunia digital bukan tanpa tantangan. Ada kekhawatiran, jangan sampai keaslian hilang karena tuntutan algoritma dan hiburan.
Tampan, seorang wartawan budaya, mengingatkan “Tradisi itu bukan benda mati, tapi juga bukan konten viral. Ia harus dijaga maknanya.”

Itu sebabnya beberapa pendendang muda kini memilih pendekatan kreatif, menggabungkan dendang Pauh dengan visual dokumenter, lirik terjemahan, atau narasi edukatif agar lebih mudah dipahami penonton luar Minangkabau.

Proses ini memperlihatkan bahwa pelestarian budaya tidak selalu berarti menolak modernitas. Justru melalui teknologi, nilai-nilai lama bisa disampaikan ulang dengan cara yang relevan. Saluang Pauh menjadi contoh bagaimana kebudayaan lokal bisa beradaptasi tanpa kehilangan ruhnya.

Ruh yang Tetap Sama

Walau kini tampil di layar, esensi Saluang Pauh tak berubah. Nada-nadanya masih mengandung rindu akan kampung halaman, dan filosofi “Satinggi-tinggi tabang bangau, jatuah ka kubangan juo” tetap menjadi pesan yang sama, bahwa sejauh apapun manusia pergi, ia tetap akan pulang ke asalnya.

Saluang Pauh di YouTube bukan sekadar arsip digital, tapi bentuk “pulang virtual” generasi muda Minang yang menemukan kembali identitasnya lewat layar kecil.

Mungkin mereka tidak lagi duduk di bawah lampu minyak mendengarkan kaba, tapi mereka tetap bisa merasakan haru yang sama ketika mendengar nada terakhir Lambok Malam mengalun dari speaker.

Menjaga Nafas di Tengah Zaman

Perjalanan Saluang Pauh dari balai ke dunia digital membuktikan satu hal, tradisi tidak mati, ia hanya berubah bentuk.
Selama masih ada yang mau meniup bambu itu, merekamnya, dan membagikannya, berarti nafas Pauh masih hidup, menembus batas waktu dan teknologi.

Dan mungkin suatu hari, di antara jutaan video di internet, ada satu anak muda yang berhenti sejenak, mendengar tiupan itu, lalu bertanya dalam hat:

“Siapa yang pertama kali meniup bunyi ini, dan kenapa terasa begitu dekat dengan jiwa Minangkabau?”


Wartawan : Avina Amanda
Editor : melatisan

Tag :#Saluang Pauah

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com