HOME SOSIAL BUDAYA RANTAU

  • Sabtu, 3 September 2022

Arat Sabulungan Mentawai, Akan Jadi Salah Satu Model Kearifan Lokal Nasional

Amman Sasali, foto bersama diantara tim peneliti mahasiswa Filsafat UGM Aza Khiatun Nisa  dkk. Foto : dok Muharyadi.
Amman Sasali, foto bersama diantara tim peneliti mahasiswa Filsafat UGM Aza Khiatun Nisa dkk. Foto : dok Muharyadi.

Yogyakarta (Minangsatu) - Hasil penelitian kearifan lokal Arat Sabulungan di Kepulauan Mentawai sebagai salah satu model Nasional yang dituangkan dalam strategi pembangunan berkelanjutan berbasis kultur akan dipresentasikan "mahasiswa filsafat" Univesitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta di Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kemendikbudristek RI, Jakarta.

Presentasi direncanakan pertengahan September 2022 yang hasil ringkasan kebijakannya dikirim ke Bappenas sebagai bahan rekomendasi.

Mahasiswa filsafat UGM yang melakukan penelitian selama lebih kurang satu minggu itu berjumlah 5 (lima) orang yakni ; Aza Khiatun Nisa, Nur Amalia Fitri, M. Farid Wajdi, Moch Zihad Islami, dan Kartika Situmorang dengan mengambil lokasi Dusun Buttui, Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan dan Tua Pejat, Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Menurut Aza Khiatun Nisa mewakili peneliti yang dihubungi, Sabtu (3/9/2022) menyebutkan, penelitian kearifan lokal Arat Sabulungan diharapkan dapat menjadi salah satu model Nasional untuk dituangkan dalam strategi pembangunan berkelanjutan berbasis kultur.

Amman Sasali selaku Ketua adat Mentawai, saat berdiskusi dan tanya jawab dengan Moch Zihad Islami dan Aza Khiatun Nisa diantara tim peneliti mahasiswa Filsafat UGM Yogyakarta baru-baru ini Foto dok : Muharyadi.

Penelitian fokus pada pembangunan berkelanjutan diantaranya konsumsi dan produksi, penanganan perubahan iklim dan lainnya. "Dari hasil penemuan diperoleh gambaran bahwa pembangunan terkesan modern bisa berkolaborasi dengan kearifan lokal Mentawai," jelas Aza urang awak yang lama bermukim di Bengkulu itu memaparkan.

Sementara pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara yang melibatkan 7 (tujuh) narasumber seperti Amman Sasali (mewakili ketua adat), Dr. Maskota Delfi (dosen antropologi Universitas Andalas), Xaverius (pegiat budaya), Fransiskus Yan (Ketua Yayasan Pendidikan Budaya Mentawai) ditambah dari Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Mentawai, dan Beppeda setempat.

Dari hasil penelitian Arat Sabulungan berjudul: "Eksplorasi Konsep Penanganan Perubahan Iklim dan Konsumsi Sumber Daya Berkelanjutan pada Masyarakat Mentawai", diketahui bahwa Arat Sabulungan menuntun masyarakat Mentawai untuk menjaga hutan agar tercipta keseimbangan ekosistem hidup melalui komponen lingkungan fisik dan lingkungan non-fisik.

Pada penelitian tersebut juga terdapat temuan menyangkut enam praktik tradisi yang mengatur dan membatasi penggunaan sumber daya alam yakni "kei-kei" (tabu dan larangan), tulou (denda), alak toga  (mas kawin), panaki (ritual minta izin), punen (pesta), dan leleiyo atau urai simatak (lagu rakyat).

Arat Sabulungan bagi masyarakat Mentawai memiliki peran dan kedudukan sebagai prinsip religius sekaligus filosofis hidup disamping agama resmi yang ada. Selain sebagai prinsip religius Arat Sabulungan juga menjadi sistem hukum dan norma sosial sebagai prinsip konservasi lingkungan. “Salah satu contoh konservasi lingkungan terkait izin pembangunan jalan dari pemerintah tidak hanya sebatas pada pemerintah pusat melainkan juga pada masyarakat Mentawai melalui sikerei atau ketua adat,” papar Aza.

Pengalaman tim peneliti ini saat wawancara dengan Amman Sasali selaku sikerei (ketua adat), mahasiswa memperoleh pengetahuan mendalam tentang sejarah dan konsep Arat Sabulungan. Istilah Arat Sabulungan mencakup banyak makna seperti adat, agama, pesta, dan tradisi. “Arat artinya adat. Sabulungan sama dengan kegiatan ritual. Kemudian kata bulung berasal dari tumbuh-tumbuhan. Kongkritnya berarti adat bersumber dari alam.

Ditambahkan, Arat Sabulungan bukan hanya sebatas izin di atas kertas melainkan juga diperlukan adanya izin melalui ritual agar tidak diganggu oleh roh-roh leluhur, mengingat masyarakat Mentawai juga memahami bahwa hutan yang mereka pakai itu adalah warisan untuk cucu-cucu mereka kelak dikemudian hari. “Dahulu pernah perusahaan berkeinginan membuka jalan baru di daerah ini, tetapi kami bukannya tidak mau diberi uang sebagai pengganti lahan jalan baru tersebut, karena uang yang kami terima tersebut tidak sebanding dengan masa depan anak dan cucu-cucu kami," ujar Khiatun Nisa mengutip Amman Sasali.


Wartawan : Muharyadi
Editor : ranof

Tag :#Kearifan lokal #Mentawai #Arat sabulungan #Ugm yogyakarta #Sumbar

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com