- Senin, 27 Oktober 2025
Kue Neraka Rasa Surga Dari Pinggir Jalan Padang–Bukittinggi
Kue Neraka Rasa Surga dari Pinggir Jalan Padang–Bukittinggi
Oleh: Andika Putra Wardana
Asap tipis mengepul di tepi jalan, bercampur dengan aroma kelapa panggang dan gula yang meleleh. Suara bara menyala dari tungku tanah liat, sesekali disusul bunyi adonan yang dituangkan ke dalam loyang bundar berlapis daun pisang. Mobil-mobil yang melintas di jalur Padang–Bukittinggi hampir selalu melambat di titik ini, bukan karena macet, tapi karena godaan yang tak tertahankan. Di sinilah, di kawasan Koto Baru, berdiri warung-warung kecil yang mempertahankan tradisi kuliner sederhana tapi legendaris yaitu Bika Talago.
Nama itu muncul bukan tanpa alasan. Di belakang deretan warung ini, terdapat sebuah telaga kecil (talago) yang menjadi saksi puluhan tahun aktivitas para penjual bika. Sejak 1990-an, aroma harum kue ini sudah menjadi penanda jalan bagi siapa pun yang melintas. Cara para penjualnya memanggil pembeli pun unik, bukan dengan teriakan, tapi dengan asap. Asap dari tungku yang mengepul menjadi penanda bahwa warung sedang buka dan bika baru saja matang.
Bika Talago dikenal karena proses memasaknya yang “neraka”, tapi hasilnya “rasa surga”. Julukan itu datang dari para pengunjung yang menyaksikan langsung bagaimana kue ini dibuat. Adonan dari tepung beras, air kelapa, dan gula pasir dituangkan ke dalam wajan tanah liat yang panasnya berasal dari bara di atas dan bawah sekaligus. Api besar, asap pekat, dan panas menyengat jadi bagian dari ritualnya, namun hasil akhirnya adalah kue lembut legit beraroma kelapa yang tak terlupakan.
Beberapa penjual menambahkan potongan pisang dalam adonannya, memberikan sentuhan manis alami yang berbeda. Ada pula yang menambahkan sedikit vanila atau kayu manis agar aromanya makin menggoda. Prosesnya singkat, sekitar 10 menit, tapi banyak pembeli rela menunggu demi mencicipi bika yang baru keluar dari tungku. Hangat, manis, dan sedikit renyah di tepinya.
Meski tampil sederhana, warung-warung Bika Talago di Koto Baru justru makin ramai dari tahun ke tahun. Bangunannya tak banyak berubah, atap seng, kursi kayu panjang, dinding papan. Tapi di sanalah letak pesonanya, otentik, tidak dibuat-buat. “Sejak tahun 1990-an, tempat ini tak pernah sepi,” ujar Andri, salah satu pelanggan setia yang rutin singgah setiap kali bepergian dari Padang ke Bukittinggi. “Apalagi kalau disajikan dengan kopi kawa, sempurna sekali.”
Menariknya, para pembeli tidak hanya datang untuk makan, tapi juga untuk menyaksikan. Pemandangan penjual yang memanggang kue dengan bara api di dua sisi sering kali direkam dan dibagikan di media sosial. Proses yang tampak kuno justru menjadi daya tarik modern, seolah waktu berhenti di tepi jalan Koto Baru.
Dengan harga yang hanya sekitar Rp3.000 per potong, Bika Talago menjadi bukti bahwa kelezatan tak perlu kemewahan. Ia adalah cita rasa yang lahir dari kesabaran dan warisan tangan-tangan terampil yang tak tergantikan oleh mesin. Tak heran, siapa pun yang pernah berhenti di jalur Padang–Bukittinggi, akan mengenang satu aroma itu, manis, hangus, menggoda, dan tahu bahwa di balik asap yang mengepul, ada sepotong kecil surga bernama Bika Talago.
Editor : melatisan
Tag :#Bika Talago
Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News
Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com
-
MENGUAK SEJARAH KARAK KALIANG, CAMILAN GURIH DARI SINGKONG YANG JADI IKON BUKITTINGGI
-
KARUPUAK LEAK BUKITTINGGI: JAJANAN LEGENDARIS YANG TAK PERNAH LEKANG DI BAWAH JAM GADANG
-
KERIPIK SANJAI: DARI KAMPUANG WISATA SANJAI KE WARISAN BUDAYA INDONESIA
-
TAK CUMA SALA LAUAK, INILAH SALA BARAIA: MASAKAN BERKUAH KHAS MALALO YANG LEGENDARIS
-
DADIAH: YOGURT TRADISIONAL MINANGKABAU YANG MENYATUKAN ALAM DAN RASA