- Jumat, 12 Desember 2025
Menanam Pohon, Menuai Keselamatan: Konservasi Lahan Kritis Untuk Ketahanan Hidup Komunitas.
Menanam Pohon, Menuai Keselamatan: Konservasi Lahan Kritis untuk Ketahanan Hidup Komunitas.
Oleh: Liza Religia Fitra
Coba jujur, kenapa sih kita ini selalu nunggu bencana besar datang dulu? banjir bandang melumpuhkan jalanan, longsor menimbun rumah tetangga, atau panen gagal total karena kemarau panjang, baru deh kita sadar betapa rapuhnya hidup kita ini.
Pernah enggak sih kita benar-benar duduk dan menghitung kira-kira berapa duit yang ludes buat bangun lagi jembatan yang ambruk, bayar biaya evakuasi warga, atau sekadar memulihkan mental orang-orang yang kena trauma?
Biayanya pasti jauh lebih besar daripada anggaran pemerintah! Yang hilang itu bukan cuma uang, tapi yang paling penting, rasa aman dan jaminan hidup berkelanjutan.
Jadi, kalau biaya recovery bencana selalu semahal dan sesulit itu, kenapa kita enggak jadikan investasi pencegahan, khususnya dengan merawat lahan-lahan yang gampang rusak (lahan kritis) sebagai prioritas utama, bukan cuma sekadar kegiatan sampingan?
Jangan-jangan, kita memang sudah lupa kalau alam itu bukan musuh yang harus kita taklukkan dengan beton, tapi justru partner hidup kita yang harus dijaga, apalagi di daerah yang memang rawan banget kena bencana.
Nah, bagaimana kalau ternyata solusi untuk enggak terus-terusan kena bencana itu bukan ada di proyek tembok raksasa atau sistem alarm super mahal, melainkan ada di hal-hal sederhana di sekitar kita?
Misalnya, di sepetak tanah miring di bukit yang kita abaikan, di pinggir kali yang terus dikikis, atau di garis pantai yang gundul. Kalau ada satu desa yang selamat dari longsor cuma karena mereka kompak menanam kembali pohon di perbukitan, atau daerah pesisir yang tidak terkena abrasi parah karena hutan mangrovenya kuat, yang merupakan bukti nyata bahwa menjaga alam adalah pertahanan diri paling keren dan paling irit.
Sebagai orang yang tinggal dan besar di Sumatera, saya sering bertanya: kenapa ya bencana di sini kok kayak enggak ada habisnya? Sejak kecil, kita sudah kenal istilah "banjir kiriman" atau "longsor susulan." Seolah-olah, alam Pulau Sumatera ini memang ditakdirkan untuk bergejolak.
Padahal, kalau kita mau jujur, masalah utamanya seringkali bukan pada alamnya, tapi pada tangan-tangan manusia yang makin rakus. Coba lihat saja bukit-bukit di sepanjang jalur Padang-Bukittinggi, atau daerah hulu sungai yang dulunya rimbun.
Sekarang? Banyak yang sudah jadi kebun monokultur atau malah dibabat habis. Kita lupa bahwa alam Sumatera, dengan curah hujan tinggi dan lereng curamnya, butuh baju hijau tebal. Ketika baju itu dibuka paksa, ya jangan kaget kalau bumi gampang sekali masuk angin, alias longsor dan banjir.
Masyarakat sering menganggap kegiatan konservasi itu ribet, mahal, dan hasilnya enggak langsung kelihatan. Padahal, kalau kita hitung-hitungan, biaya untuk menanam dan merawat satu hektar hutan itu jauh lebih murah daripada biaya pemulihan satu kali banjir bandang yang merusak jembatan, menghancurkan rumah, dan menghentikan roda ekonomi. Bukti nyata ada di depan mata kita.
Baru-baru ini, kasus banjir lahar dingin di lereng Gunung Marapi (Sumatera Barat) menunjukkan betapa rentannya daerah yang sudah kehilangan vegetasi penahan air. Lahar itu kan membawa material padat, tapi yang membuat dampaknya mematikan adalah air yang tidak tertahan.
Jika daerah hulu masih dipenuhi pepohonan tua yang akarnya kuat, air hujan deras itu pasti tertahan, meresap, dan dilepas perlahan, bukan langsung digeber ke bawah seperti sekarang.
Lahan kritis itu bukan cuma tanah gersang yang tandus di gurun, lho. Di Sumatera, lahan kritis itu bisa berupa tebing curam yang sudah kehilangan pohon-pohon besarnya, area di sempadan sungai yang dikonversi jadi kebun, atau kawasan penyangga di sekitar danau dan gunung berapi. Ini adalah area-area vital yang punya fungsi regulasi air dan penahan erosi. Ketika area-area ini diganggu, efeknya itu multiplier.
Satu pohon yang ditebang di puncak bukit, bisa memicu longsor yang merusak puluhan rumah di bawah. Kita bisa bilang, pohon itu adalah pasak bumi alami. Hilangnya pasak ini di lahan kritis ibarat kita mencabut sekring utama listrik rumah siap-siap saja konslet besar.
Coba bayangkan akar pohon, terutama pohon hutan yang usianya sudah puluhan tahun. Akarnya itu bekerja seperti jaring-jaring raksasa yang mengikat tanah, menahan jutaan meter kubik air, dan mencegah tanah itu mbrodol.
Sementara tajuk dan daunnya berfungsi seperti payung dan spons, mengurangi hantaman air hujan langsung ke permukaan tanah. Seringkali, saya melihat pemerintah daerah lebih fokus membangun infrastruktur fisik, padahal solusi yang paling low-tech dan efektif adalah reboisasi di hulu. Kenapa enggak? Karena menanam pohon itu tidak seksi secara politik, tidak ada peresmian pita merahnya. Padahal, pohon adalah aset konservasi yang paling jujur dan paling tahan lama.
Bergerak ke pesisir, bencana bukan cuma longsor, tapi juga abrasi dan tentu saja, ancaman tsunami. Saya ingat betul cerita dari nelayan di sekitar Mentawai dan pesisir Aceh, betapa hutan mangrove sangat berperan. Mereka bercerita, daerah yang mangrovenya masih lebat, kerusakan akibat tsunami atau badai jauh lebih kecil dibanding daerah yang sudah dijadikan tambak.
Mangrove itu ibarat bantal raksasa yang meredam energi ombak. Ini bukan cuma teori di buku kuliah. Ini adalah survival story yang diceritakan langsung oleh penyintas. Makanya, upaya konservasi di pantai, dengan mengembalikan ekosistem bakau, itu bukan sekadar program lingkungan, tapi program ketahanan masyarakat yang hasilnya bisa dinikmati secara nyata.
Jujur saja, kita tidak bisa selamanya menyalahkan pemerintah daerah yang lambat atau pengusaha yang rakus. Konservasi lahan kritis di Sumatera harus menjadi gerakan kolektif. Banyak komunitas adat, seperti di Minangkabau atau Batak, yang punya kearifan lokal luar biasa tentang menjaga hutan adat. Mereka punya sistem sanksi sosial dan hukum adat yang jauh lebih tegas dari peraturan modern.
Kita perlu menghidupkan kembali roh-roh kearifan lokal ini. Memberikan tanggung jawab penuh pada komunitas untuk mengelola dan menjaga lahan kritis mereka adalah langkah smart karena mereka yang paling merasakan dampak langsung dari kerusakan.
Mitos yang harus kita patahkan adalah anggapan bahwa konservasi itu selalu berarti melarang atau menutup akses. Tidak! Konservasi modern, terutama di lahan kritis, justru harus berbasis pemanfaatan berkelanjutan.
Misalnya, menanam pohon buah endemik yang punya nilai ekonomi tinggi (seperti durian lokal, kopi spesialis) di lereng-lereng curam. Dengan begitu, masyarakat punya insentif ganda untuk mendapat penghasilan dan tanah mereka tetap terlindungi oleh akar pohon. Ini yang disebut ekonomi hijau yang benar-benar membumi, bukan cuma jargon di seminar-seminar.
Setiap kali bencana besar melanda, selalu ada rasa penyesalan. Longsor di Solok? Karena pohon kopi ditanam di kemiringan yang tidak tepat, menggantikan tegakan hutan yang lama. Banjir di Medan? Karena daerah resapan di dataran tinggi Deli sudah beralih fungsi.
Saya pribadi merasa miris karena kita tidak pernah benar-benar belajar dari pengalaman. Kita selalu fokus pada bantuan pasca-bencana, tapi abai pada akar masalahnya di hulu. Inilah saatnya kita menggeser fokus dari reaktif (menanggapi bencana) menjadi proaktif (mencegah bencana melalui konservasi).
Inti dari semua ini adalah perubahan pola pikir. Kita harus berhenti melihat alam sebagai objek untuk dieksploitasi dan mulai melihatnya sebagai subjek atau mitra yang menyediakan jasa lingkungan gratis, seperti air bersih, udara segar, dan yang paling penting, perlindungan dari bencana.
Investasi konservasi lahan kritis harus disamakan dengan investasi pada pendidikan atau kesehatan yang merupakan hak dasar untuk menjamin kualitas hidup.
Komunitas yang tahan banting bukan hanya yang punya uang banyak untuk membangun rumah baru setelah banjir. Komunitas yang tahan banting adalah yang secara ekologis kuat. Mereka tidak perlu khawatir rumahnya ambruk karena tanah longsor atau kebunnya hanyut karena banjir bandang.
Ketahanan itu diciptakan dari kesadaran menanam satu pohon, merawat satu meter persegi lahan, dan menghargai peran alami ekosistem. Jadi, jika kita ingin Sumatera dengan tanah yang indah dan kaya ini bebas dari ancaman bencana yang kian mengganas, kuncinya bukan mencari kambing hitam.
Kuncinya ada di setiap kita. Mari kita mulai melihat setiap pohon yang ditanam di lahan kritis bukan sebagai beban, tetapi sebagai polisi lingkungan yang menjaga keselamatan kita. Setiap bibit adalah janji, dan setiap janji yang dipenuhi akan menuai keselamatan. Yuk, mulai sekarang, jadikan konservasi lahan kritis sebagai gaya hidup, bukan sekadar proyek.
Tag :Menanam Pohon, Menuai Keselamatan
Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News
Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com
-
MUSIBAH
-
KEMANA BUPATI TAPSEL
-
DIMANA MUSEUM KOTA BUKITTINGGI?
-
"ANAK DARO" DIKLAIM KOPI KERINCI JAMBI OLEH ROEMAH KOFFIE, POTENSI PENCAPLOKAN BUDAYA MINANG PICU KONTROVERSI
-
FWK MEMBISIKKAN KEBANGSAAN DARI DISKUSI-DISKUSI KECIL
-
CHERRY CHILD FOUNDATION BERSAMA BERBAGAI KOMUNITAS SALURKAN BANTUAN KE WILAYAH TERDAMPAK BANJIR BANDANG DI PADANG
-
MENANAM POHON, MENUAI KESELAMATAN: KONSERVASI LAHAN KRITIS UNTUK KETAHANAN HIDUP KOMUNITAS.
-
MUSIBAH
-
KEMANA BUPATI TAPSEL
-
BANJIR DALAM MANUSKRIP SEBAGAI CATATAN PENGALAMAN KOLEKTIFÂ MASYARAKAT