HOME PENDIDIKAN KOTA SOLOK

  • Minggu, 27 Maret 2022

Ketua PSBBSM: Kurikulum Mulok Bahasa Dan Sastra Minangkabau Beda Dari BAM

Dari kiri ke kanan, Ketua PSBBSM Dr. Hasanuddin, M. Si., Datuk Tan Patih, Kepala Dinas Pendidikan Kota Solok Dra. Hj. Rosavella, YD., M.M. dan Tim Ahli UNP Dr. Erianjoni, S.Sos., M.Si. dan Dr, Junaidi, S.Pd., M.Pd saat FGD Mulok BSM 26 Maret 2022 di Kota
Dari kiri ke kanan, Ketua PSBBSM Dr. Hasanuddin, M. Si., Datuk Tan Patih, Kepala Dinas Pendidikan Kota Solok Dra. Hj. Rosavella, YD., M.M. dan Tim Ahli UNP Dr. Erianjoni, S.Sos., M.Si. dan Dr, Junaidi, S.Pd., M.Pd saat FGD Mulok BSM 26 Maret 2022 di Kota

Solok (Minangsatu) - Ketua PSBBSM (Perkumpulan Sarjana Budaya Bahasa Sastra Minangkabau), Dr. Hasanuddin, M.Si., berindak sebagai salah seorang Narasumber pada Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) Pendidikan Muatan Lokal Bahasa dan Sastra Minangkabau di Dinas Pendidikan Kota Solok, pada Sabtu (26/3/2022), bertempat di Aula Dinas Pendidikan, Jl. Tembok Raya Kota Solok. 

Hasanuddin yang sejak 1993 sampai saat ini mengabdi sebagai Dosen Tetap pada Program Studi Bahasa dan Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas itu menyampaikan bahwa Pendidikan Muatan Lokal di Kota Solok khususnya dan di Sumatera Barat umumnya, adalah sangat mendesak. 

Hal itu disebabkan karena eksistensi Bahasa dan Sastra Minangkabau telah sangat terancam, sistem nilai Budaya Minangkabau yang disimpan di dalam bahasa dan sastra etnik itu terancam punah, dan telah terjadi perubahan berupa penurunan kualitas Orang Minangkabau pada berbagai level dan domain kehidupan. 

Dengan mengutip dari berbagai sumber, Pangulu dengan gelar sako Datuk Tan Patih, Suku Pinyalai Nagari Kapalo Hilalang, Kecamatan 2X11 Kayutanam Padang Pariaman itu menyebutkan beberapa indikator, di antaranya berkait dengan ketokohan Orang Minangkabau pada masa pergerakan dan masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.

“Pada Tahun 1970-an, menurut Bapak Jusuf Kalla, di Jakarta terdapat 9 dari 10 khatib Jumat adalah Orang Minangkabau. Demikian pula, jika orang bertanya tentang siapakah Bapak Pendiri Bangsa Indonesia, maka jawabnya adalah Sukarno-Hatta (bila disuruh menyebutkan dua orang), atau Sukarno-Hatta-Sjahrir (jika tiga orang), dan atau Sukarno-Hatta-Sjahrir-Tan Malak (jika disuruh menyebutkan empat orang). Artinya, tiga dari empat The Founding Father Negara Indonesia itu adalah Orang Minangkabau, padahal penduduknya hanya 2-3 persen saja dari penduduk Indonesia. Mengapa?," tanyanya.

Menurut Dekan FIB UNAND periode 2017-2021 itu, semua itu tercipta oleh sistem budaya dan pendidikan Minangkabau yang luar biasa. Sebab, tidak mungkinlah Orang Minangkabau yang merantau pada tahun 1970-an itu adalah para ustadz semua. Sistem pendidikan surau, menurutnya telah menciptakan anak-anak Minangkabau memiliki basis kompetensi yang mumpuni dan setara sekalipun dengan profesi yang berbeda-beda. 

“Separewa-parewanya Orang Minangkabau, jika sudah masuk waktunya sholat, di masjid atau surau tidak ada bilal, maka dia akan tampil sebagai pengganti bilal. Begitu juga, jika saatnya sholat berjamaah ternyata tidak ada imam, maka sang parewa akan maju menjadi imam. Bahkan, jika sholat Jumat, ternyata khatib yang sudah ditentukan tidak datang, maka sang parewa tidak akan membiarkan sholat Jumat itu batal terlaksana, maka dia akan tampil sebagai khatib. Begitu buah dari sistem pendidikan Minangkabau masa lalu," ujarnya.

“Demikian pula para tokoh pelopor dan pendiri bangsa di atas, mereka dibentuk oleh sistem Budaya Minangkabau yang egalitarian, beretos kerja tinggi, menjunjung tinggi kualitas budi dan keelokan bahasa, memiliki karakter adaptif, menghormati perbedaan dan keberagaman, menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis, dan karena itu mampu merajut dan merekat hubungan antar orang dari berbagai latar budaya yang berbeda. Nilai-nilai itu ditanamkan dalam pendidikan surau, lapau, sasaran, rumah gadang, serta media dan sumber belajar lainnya," lanjutnya.

Menurutnya, sekarang telah terjadi perubahan dalam sistem pendidikan. Saat ini, untuk mencari 1 Orang Minangkabau dari 10 ustadz atau khatib di Jakarta sudah sulit. Demikian pula persentase tokoh-tokoh nasional asal Minangkabau, juga terus menurun secara sangat tajam. 

Selama beberapa dekade, pendidikan kita menjadi sekuler, berorientasi pengetahuan dan kecerdasan intelektual semata. Kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual  diabaikan. Hal itu yang menyebabkan terjadinya degradasi dan dekadensi, distrosi struktural dan kontaminasi kultural pada masyarakat kita.  

Cermat Hasanuddin, semua itu harus diubah dengan merevitalisasi berbagai kearifan lokal yang bernilai tinggi dan belum tergantikan hingga saat ini. Kearifan lokal itu kemudian dikemas dan diajarkan dalam sistem pendidikan formal melalui mata pelajaran Bahasa dan Sastra Minangkabau. Namun, berkaitan dengan itu berbagai pertanyaan kritis pun bermunculan. 

“Apakah anak-anak akan belajar Bahasa Minangkabau yang tidak lagi terlalu dibutuhkan dibaning bahasa nasional dan internasional?  Atau, apakah anak-anak perlu mempelajari Sastra Minangkabau seperti tambo, kaba, pantun, ratok, dan randai yang nyaris tidak dibutuhkan dalam dunia kerja di era Revolusi Industri 4.0?” tambahnya.

Menjawab berbagai pertanyaan itu, Hasanuddin menjelaskan bahwa persoalan nomenklatur harus menyesuaikan dengan Dapodik di Kementerian Pendidikan Nasional. 

Namun secara substansial, di dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra sesungguhnya terkandung pengetahuan budaya dan pendidikan karakter. Oleh sebab itu, mata pelajaran Muatan lokal ini diarahkan kepada penguasaan pengetahuan Budaya Minangkabau (knowledge), keterampilan menggunakan Bahasa Minangkabau dan mengapresiasi Sastra Minangkabau (skill), dan meninternalisasi nilai-nilai budaya yang dikandungnya sebagai standar perilaku (sikap atau attitude). Pendidikan yang seperti itulah yang diyakini mampu melahirkan para pelopor dan penggerak di kalangan Orang Minangkabau masa lalu. 

Pada akhir sesi FGD, Hasanuddin menegaskan: Pada posisi itu pulalah perbedaan antara kurikulum muatan lokal Bahasa dan Sastra Minangkabau berbasis kompetensi ini dengan mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau (BAM). Pertama, nomenklatur BAM sesuai Kurikulum 1994 tidak terdapat di Dapodik Kementerian Pendidikan Nasional, Kedua, konten mata pelajaran tersebut hanya bersifat informatif atau lebih berorientasi pengetahuan sehingga tidak dapat diharapkan dapat mengubah perilaku atau karakter siswa. 

FGD yang dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan, Dra. Hj. Rosavella, YD., M.M. tersebut dihadiri Tim Ahli Dr. Hasanuddin, M. Si. (dari FIB Universitas Andalas) serta Dr. Erianjoni, S.Sos., M. Si. dan Dr. Junaidi. S.Pd., M. Pd. (dari Universitas Negeri Padang). Turut menjadi peserta adalah Pimpinan dan Jajaran Dinas Pendidikan, Kepala Dinas Pariwisata dan Dinas Kominfo. Juga turut hadir Kabag Kesra, BKD, Balitbang, Dewan Pendidikan, Ketua PGRI, Pengawas TK; SD; SMP; Ketua LKAAM, Ketua KAN, Ketua Bundo Kanduang, dan unsur lainnya.*


Wartawan : TE
Editor : Benk123

Tag :#kota solok

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News