HOME LANGKAN TINGKOK

  • Kamis, 27 Maret 2025

Kaba Malin Deman: Harmonisasi Dua Falsafah Minangkabau Dalam Pusaran Tradisi Dan Modernitas

Kaba Malin Deman: Harmonisasi Dua Falsafah Minangkabau dalam Pusaran Tradisi dan Modernitas

Oleh: Andika Putra Wardana

Di tengah gemuruh modernisasi, Kaba Malin Deman sebuah folklor klasik Minangkabau ternyata masih menyimpan relevansi yang menggetarkan. Kisah pernikahan antara Malin Deman, manusia biasa, dengan Puti Bungsu, putri dari langit, bukan sekadar dongeng pengantar tidur. Ia adalah cermin yang memantulkan tegangan antara falsafah punah dan falsafah pernikahan dalam sistem matrilineal Minangkabau, sekaligus menawarkan strategi harmonisasi di tengah benturan nilai-nilai lama dan baru.

Falsafah Punah

Sistem matrilineal Minangkabau, yang menjadi tulang punggung falsafah "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", menempatkan perempuan sebagai penerus keturunan dan harta pusaka. Dalam Kaba Malin Deman, konflik muncul ketika Malin Deman sebagai anak laki-laki tunggal tidak bisa mewarisi harta ibunya. Kutipan berikut menggambarkan kepedihan ini:

"Hanyo sajo sayang saketek, indak baranak parampuan, anak nan surang tungga babeleang, itulah si buyuang Malin Deman, nyampang mati mandeh kanduang, pupuih pusako pada urang."
(MD, 2012: 23-24)

Artinya: "Sayangnya hanya satu, tak ada anak perempuan, hanya seorang anak laki-laki, itulah si buyung Malin Deman, meski ibu meninggal, harta pusaka jatuh ke orang lain."

Falsafah punah ini bukan sekadar soal harta, melainkan ancaman kepunahan garis keturunan. Dalam adat Minangkabau, kaum tanpa anak perempuan bisa "menjemput" keluarga dari suku belahan untuk meneruskan warisan, atau menghibahkan harta untuk kepentingan umum. Namun, Malin Deman dan ibunya tak mengambil jalan ini, sehingga konflik pun tak terelakkan.

Falsafah Pernikahan: Kawin Adat vs. Kawin Syarak

Pernikahan dalam Minangkabau harus memenuhi dua syarat: nikah menurut syariat Islam dan kawin menurut adat. Pernikahan Malin Deman dengan Puti Bungsu yang berasal dari "langit" hanya memenuhi syarat pertama. Puti Bungsu tidak diangkat sebagai kamanakan batali budi (kemenakan bertali budi) oleh keluarga suaminya, sehingga statusnya tetap "asing". Dampaknya terlihat ketika ibu Malin Deman menyumpahi cucunya, Malin Duano:

"Anak bincacak anak bincacau, anak Si Ngiang-ngiang Rimbo, mahabih manandehkan harato tuo, anak cilako moh kironyo!"
(MD, 2012: 38-39)

(Artinya: "Anak celaka, anak Si Ngiang-ngiang Rimbo, hanya menghabiskan harta warisan!")

Ucapan ini mencerminkan sumbang bakato (perkataan yang melanggar adat) dan menunjukkan kegagalan harmonisasi antara adat dan syarak. Padahal, seandainya Puti Bungsu dijadikan kamanakan batali budi, ia akan memiliki keluarga pendukung yang melindunginya dari perlakuan semena-mena.

Jalan Tengah di Tengah Konflik

Kaba Malin Deman mengajarkan bahwa ketidakseimbangan dalam falsafah adat bisa memicu konflik, tetapi juga bisa diatasi melalui:

1. Kompromi adat-syarak: Seperti hibah harta untuk menghindari falsafah punah.

2. Inklusivitas: Mengangkat pasangan "asing" menjadi bagian suku melalui kamanakan batali budi.

3. Kontrol sosial: Folklor berfungsi sebagai pengingat akan konsekuensi pelanggaran adat.

Kaba Malin Deman mengajarkan bahwa tradisi bukanlah beban, melainkan penyeimbang dalam gelombang perubahan. Seperti pepatah Minang "Alam takambang jadi guru", folklor ini adalah guru yang menyuarakan kearifan, harmoni hanya tercapai ketika adat dan syarak berjalan beriringan.


Wartawan : Andika Putra Wardana
Editor : melatisan

Tag :#Kaba #Malin Deman

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com