HOME LANGKAN TINGKOK

  • Selasa, 17 Juni 2025

Menjaga Warisan Silek Pauh Di Tengah Kota: Studi Atas Perguruan Silaturrahmi Kalumbuk

Menjaga Warisan Silek Pauh di Tengah Kota
Menjaga Warisan Silek Pauh di Tengah Kota

Menjaga Warisan Silek Pauh di Tengah Kota: Studi atas Perguruan Silaturrahmi Kalumbuk

Oleh: Andika Putra Wardana
(Mahasiswa Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)

Di tengah arus modernisasi yang kian deras, warisan budaya tradisional terus mencari ruang untuk bertahan hidup. Salah satu bentuk warisan budaya Minangkabau yang hingga kini tetap eksis dan berdetak adalah Silek Pauh. Silek ini tidak hanya hidup di galanggang silat, tapi juga berkembang sebagai seni pertunjukan yang memadukan keindahan gerak, irama musik, dan nilai-nilai adat yang dalam. 

Di Perguruan Silaturrahmi, Kelurahan Kalumbuk, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, Silek Pauh tetap dijaga dan diwariskan secara aktif kepada generasi muda. Perguruan ini berdiri sejak tahun 1982 dan dipimpin oleh Zalmi, seorang tokoh lokal yang bertekad menjaga warisan dari pendahulunya, Pandeka Epontiur, sosok legendaris dari Pauh IX yang dikenal memiliki jiwa kepemimpinan dan keahlian silat yang tinggi. Sejak awal, pendirian perguruan ini bukan hanya bertujuan mengajarkan bela diri, tapi juga menjadi tempat silaturahmi, menghidupkan kembali seni, dan mengakar budaya di tengah masyarakat urban yang kian terasing dari tradisinya.

Keunikan dari Silek Pauh terletak pada gaya pertunjukannya yang khas dan dinamis. Dalam satu pertunjukan yang berdurasi sekitar dua menit, biasanya tampil dua orang pesilat (pasilek) yang mengenakan pakaian hitam dan membawa golok atau pisau kecil sebagai properti. Gerakan-gerakannya tidak hanya sekadar teknik bela diri, tetapi sarat dengan unsur estetika. Menurut peneliti Roja’atul Khoiriyah dan Desfiarni pada tahun 2023, setiap gerak dalam Silek Pauh dianalisis berdasarkan tiga unsur utama: ruang, waktu, dan tenaga. 

Secara spasial, sebagian besar gerak Silek Pauh membentuk garis lengkung yang mencerminkan karakter gerakan yang halus namun kuat. Gerakan-gerakan seperti sambah, salam, dan buka parabek, misalnya, dilakukan dengan volume besar dan arah pandang yang jelas, mencerminkan kewaspadaan serta kesadaran penuh akan posisi lawan. Pola lantainya cenderung berhadap-hadapan antara penyerang dan penangkis, sebuah refleksi dari filosofi adat Minangkabau yang menjunjung tinggi kehormatan dalam perbedaan.

Dalam hal waktu, Silek Pauh dijalankan dengan tempo sedang, mengikuti irama musik tradisional yang mengiringinya. Musik yang digunakan terdiri dari gandang, tasa, talempong pacik, pupuik sarunai, dan bansi, alat-alat yang tidak hanya menghidupkan suasana, tetapi juga mengatur ritme gerakan. Kehadiran musik ini menjadi elemen penting yang menyatukan tubuh pesilat dengan suasana pertunjukan. Sebagaimana diungkapkan Putri dan Desfiarni (2020), musik dalam pertunjukan bukan sekadar pengiring, tetapi pencipta nuansa yang mengatur energi dan emosi pertunjukan itu sendiri. Ritme musik yang konsisten membantu pasilek menjaga alur dan kestabilan gerakan mereka di tengah intensitas atraksi.

Sementara itu, dari segi tenaga, Silek Pauh menuntut kekuatan yang cukup besar, terutama karena setiap gerakan didesain untuk memperlihatkan pertarungan yang nyata antara dua pihak. Gerakan seperti “gerak tusuk pisau” dan “gerak pisau gelek” misalnya, menunjukkan bagaimana teknik bela diri tradisional ini tidak mengabaikan unsur kekuatan fisik. Namun begitu, tenaga yang digunakan tetap dikontrol agar gerakannya tidak berubah menjadi agresi, melainkan tetap dalam bingkai estetika. Sebagaimana dikemukakan Sal Murgiyanto (1983), setiap bentuk gerak dalam seni pertunjukan adalah cerminan reaksi manusia terhadap hidup dan dalam hal ini, Silek Pauh berhasil menghadirkan pertunjukan yang penuh makna, bukan sekadar tontonan.

Selain sebagai seni bela diri dan pertunjukan, Silek Pauh juga menjadi media pembentukan karakter bagi anak-anak dan remaja di Kalumbuk. Hal ini terlihat dari antusiasme generasi muda yang ikut serta dalam latihan di Perguruan Silaturrahmi setiap pekan. Dari total 150 murid, sekitar 50 orang aktif dalam latihan Silek Pauh. Mereka dilatih tidak hanya untuk tangkas dalam bergerak, tapi juga untuk menghayati nilai-nilai seperti kedisiplinan, keberanian, rasa hormat, dan cinta terhadap budaya sendiri.

Menariknya lagi, Silek Pauh juga telah menjelma sebagai bagian dari seni pertunjukan dalam acara-acara adat seperti pesta pernikahan dan prosesi babako. Ia tampil bukan sekadar untuk memamerkan gerakan, tapi juga membangkitkan semangat kolektif masyarakat yang hadir. Dentuman irama dan kecepatan gerakan pasilek berhasil menghipnotis penonton, baik yang tua maupun muda. Tradisi ini tak hanya memperkuat identitas budaya lokal, tetapi juga membuka jalan bagi regenerasi nilai-nilai adat yang kini sering terlupakan.

Melihat proses latihan dan semangat yang ditanamkan dalam Silek Pauh, tampak jelas bahwa kesenian ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga mengandung dimensi pendidikan moral yang kuat. Anak-anak yang terlibat dalam latihan tidak hanya diajarkan teknik bertarung, tetapi juga dibentuk untuk menjadi pribadi yang berdisiplin, memiliki rasa hormat kepada guru dan sesama, serta bangga dengan identitas budaya mereka. Hal ini sangat penting di tengah tantangan budaya global yang seringkali membuat generasi muda kehilangan arah dan akar tradisi mereka sendiri. Melalui pendekatan komunitas yang hangat dan saling mendukung, Silek Pauh menjadi ruang yang aman dan bermakna untuk tumbuh, belajar, dan bersosialisasi.

Tak hanya itu, keberadaan properti seperti golok (pisau kecil) dalam pertunjukan Silek Pauh pun bukan tanpa makna. Senjata ini melambangkan kesiapsiagaan, ketegasan, dan kehormatan seorang pesilat. Dalam adat Minangkabau, penggunaan senjata tradisional dalam seni pertunjukan adalah bagian dari simbolisme yang menghormati sejarah perjuangan dan semangat mempertahankan diri dari ancaman luar. Tapi perlu ditekankan bahwa walaupun ada unsur “perkelahian”, semua yang ditampilkan adalah bentuk simulasi yang penuh estetika, sebuah drama tubuh yang penuh pesan moral dan keindahan gerak.

Dari sisi keberlanjutan, usaha pelestarian yang dilakukan oleh Perguruan Silaturrahmi patut diapresiasi. Mereka tidak hanya menjaga warisan, tetapi juga menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Dengan menyasar anak-anak muda dan memasukkan unsur pertunjukan ke dalam latihan, Silek Pauh kini bukan hanya dikenal sebagai seni bela diri tua, tetapi juga sebagai bentuk ekspresi budaya modern yang bisa tampil di panggung festival, acara kenegaraan, hingga kompetisi seni budaya antar sekolah. Ini menunjukkan bahwa Silek Pauh bukan tradisi yang terjebak di masa lalu, tetapi budaya yang terus bergerak maju.


Wartawan : Andika Putra Wardhana
Editor : melatisan

Tag :#Silek Pauh

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com