HOME OPINI OPINI

  • Jumat, 20 Juni 2025

Ragu

DR. Gamawan Fauzi Dt. Rajo Nan Sati (Foto: Liputan 6)
DR. Gamawan Fauzi Dt. Rajo Nan Sati (Foto: Liputan 6)

Ragu

Oleh: DR. Gamawan Fauzi Datuk Rajo Nan Sati

Beberapa waktu lalu, Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN era kepemimpinan Presiden SBY dan  sekaligus wartawan senior dan mantan  CEO  Jawa Pos,  mengatakan bahwa saat ini telah muncul apa yang disebut Kebenaran Baru.
 
Kebenaran baru itu tidak bertolak dari fakta, tapi dari framing yang dibangun dengan narasi berulang ulang, hingga akhirnya orang percaya sebagai suatu kebenaran.

Jagat dunia maya dewasa ini memang dipenuhi informasi bercampur aduk.  Berita yang diposting netizen dengan sangat cepat merambah seluruh pengguna, masuk ke akun-akun pribadi, ke grup dan kemana saja. Dari situ informasi itu berkembang biak melebihi deret ukur. 

Bila itu sesuatu yang benar dan bertolak dari fakta, tentu tak jadi soal, tapi bila itu  sesuatu yang bohong/hoax dan mengada-ada, berlebih-lebihan, berkurang-kurangan, implikasinya bisa sangat luas. 

Kesadaran akan kenyataan itu, membuat pengguna media sosial selalu meragukan setiap berita dan gambar yang muncul, karena yang benar dan bohong bercampur aduk melebihi buruknya keranjang sampah.

Belakangan ini keraguan itu makin sempurna, setelah teknologi Artificial Intelligent ( AI ) makin berkembang dan makin halus kerjanya hingga mendekati kesempurnaan. 

Seorang teman secara ekstrim mengatakan, bahwa sekarang yang tidak bohong itu hanya berita olahraga saja. Kalau Indonesia berhasil menekuk China di ajang penyisihan Piala dunia dengan skor 1-0, beritanya  sesuai kenyataan, bukan dibuat 5-0.

Jumlah korban berita bohong mungkin tak terhitung. Betapa sakitnya mereka yang menjadi korban berita bohong. Tak banyak yang peduli, bahkan banyak pula yang merasa senang bila musuh musuh kejiwaanya menjadi korban berita bohong. 

Dalam kemelut seperti itu, banyak pula yang menangkap kondisi itu sebagai peluang untuk mencari cuan dengan menempatkan dirinya sebagai buzzer-RP, yaitu buzzer bertarif atau berbayar. Sebuah profesi yang relatif baru lahir dalam beberapa tahun belakangan ini. Mereka tak menempatkan bohong sebagai pelanggaran moral, apalagi sebuah dosa besar. Pembohong merasa tak bersalah dan tak berdosa. Profesi tersebut kini beranak pinak dan tumbuh subur di jagat raya media. 

Para buzzer ini juga tak sungkan-sungkan bertengkar di media mainstream sekalipun untuk mempertahankan narasinya. Ada saja argument yang dikemukakan sekalipun itu tak logis dan tak masuk akal, yang penting membela yang membayar. Apalah susahnya bersilat lidah, dan apalah hambatannya untuk berbohong bila menempatkan uang sebagai 'panglima’kehidupannya. 

Sementara itu, soal dosa, moral, merasa segan, rasa risih, patut, pantas dan sejenisnya, berada dalam urutan jauh di bawah itu. Mereka yang seperti itu , kemungkinan berdalih, mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal. 

Untuk menjadi seperti itu, tidaklah susah. Modalnya cuma berani dan tebal muka, dan berpengetahuan ala kadarnya. Mereka biasa saja menegakkan ‘benang basah’ tanpa sungkan dan  malu.

Uang.... semakin hari menjadi sosok yang maha kuasa. Uang bisa mengatur banyak hal, karena itulah profesi yang relatif baru ini menjadi pendatang yang menyala dalam dunia maya. 

Untuk melawan nuraninya sendiri, para penggiat buzzer seringkali pula tak menenggang akal sehat public. Membesar besar besarkan sesuatu hingga menembus langit atau mengecil-ngecilkan sesuatu sampai mengubur ke dalam tanah, menisbikan yang nyata dan menerbangkan tinggi tinggi yang terkubur hingga menyentuh ‘Arasy’.

Bayangkan, ada yang berani mengatakan bahwa sosok figur tertentu, seorang manusia biasa yang juga tak sepi dari masalah dikatakan memenuhi syarat menjadi nabi.
  
Ada pula yang dengan lantang mengatakan sebaliknya, bahwa Nabi Muhamad tidak sempurna, padahal agamanya sendiri mangatakan bahwa nabi Muhamad adalah ‘Uswatun Hasanah’ atau suri tauladan yang baik.

Ada juga yang tanpa ragu berani berucap bahwa Wapres kita sekarang adalah Wapres terbaik sepanjang masa. 

Saya merenung sendiri, di urutan ke berapalah  akan  kita letakkan figur seperti Bung Hatta, Sultan Hamengkubuono IX, Jenderal Wirahadi Kusuma, Prof. Habibi, Megawati Soekarno Putri, Prof. Budiono dan Yusuf Kalla ?

Sanjungan yang tak malu-malu dan tak merasa mengingkari pikiran objektifnya sendiri itu mengingatkan saya akan iklan baterai  ‘eveready’ di tahun 70an yang di jadikan guyonan pedagang obat pinggir jalan. Katanya Eveready terbaik di dunia, lalu malaikatpun bingung, nomor berapalah baiknya diletakkan matahari ? 

Kata-kata, tulisan, atau ‘meme’,  bila sempat masuk ke dunia maya, akan  menjadi catatan sejarah yang tak pernah hilang, jejaknya akan selalu ada. Kebebasan berpendapat dalam negara demokrasi memang dilindungi undang-undang,  batasannya juga ditentukan undang-undang.

Saat ini undang undang yang ada memberikan larang bersangsi minimalis. Artinya di luar itu boleh-boleh saja, karena azas dalam pemberian sangsi itu termaktub dalam pasal 1 ayat 1 Kitab Undang Undang Hukum Pidana  yang berbunyi ‘ Nulum dilectum nula puna sine previa legepunali’, tidak ada pidana sepanjang hukum tidak mengaturnya terlebih dahulu sebelum perbuatan itu terjari.

Bercampur aduknya kebohongan, kebenaran, caci-maki, puja-puji, sanjung menyanjung  berulang-ulang, yang kemudian membentuk framing baik atau buruk itulah yang kini mewarnai jagad dunia maya kita.

Sebuah penelitian mengungkapkan, bahwa mereka yang tidak membaca whatsapp ( wa ) dan berita di sosial media, hidup mereka lebih tenang dan bahagia. Tapi dalam dunia yang bergerak cepat sekarang ini, sulit untuk sama sekali tidak terlibat di dalamnya, karena disitu juga ada berita benar, ada pengetahuan dan ada informasi penting yang rugi untuk dilewatkan.

Menghentikan berbohong, bernarasi berlebih-lebihan dan di lebih-lebihkan juga tak mungkin ditiadakan sama sekali. Mungkin yang diperlukan  pembaca adalah mempertajam logika dan kemampuan menyaring informasi , mana yang masuk akal, mana yang di luar nalar serta menelusuri kebenaran sebuah berita yang meragukan  tidak masuk akal. 

Dan yang paling penting jangan masukkan dalam hati, cukup diendapkan dalam pikiran sehat, karena alam kelak akan menyeleksinya sendiri. Dan alam akan memilah, mana yang bernas dan mana yang hampa, bahkan mana yang patut diketengahkan dan mana yang minggir sendiri.

Yunnan, 21 Juni 2025.

DR. Gamawan Fauzi Datuk Rajo Nan Sati (Mantan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Provinsi Sumatera Barat)


Tag :#Ragu #Opini

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com