HOME LANGKAN TINGKOK

  • Kamis, 6 Maret 2025

Bakaua Adat: Tradisi Syukur Dan Tolak Bala Masyarakat Minangkabau

Bakaua Adat: Tradisi Syukur dan Tolak Bala Masyarakat Minangkabau

Oleh: Andika Putra Wardana

        Bakaua Adat adalah tradisi turun-temurun masyarakat Minangkabau, khususnya di Nagari Sijunjung, Sumatera Barat, yang berakar dari musibah besar pada abad ke-17. Saat itu, nagari dilanda narako dunia, sebuah bencana yang ditandai dengan kemarau panjang selama tiga tahun. Akibatnya, padi hangus (padi anguih), ternak terserang penyakit (wabah), ikan tambilang tidak muncul, dan kematian melanda setiap hari. Konflik internal pun terjadi di antara para niniak mamak (pemangku adat) yang tidak lagi sepakat (saiyo sakato). Dalam situasi kritis ini, seorang warga bermimpi dan mendapat petunjuk untuk mengadakan sebuah acara adat sebagai bentuk permohonan dan rasa syukur. Setelah acara tersebut dilaksanakan, hujan pun turun, mengakhiri kemarau dan membawa kebahagiaan kembali. Sejak saat itu, Bakaua Adat menjadi tradisi tahunan yang terus dilestarikan.

       Bakaua Adat terbagi menjadi dua bentuk: Bakaua Ketek (kecil) dan Bakaua Gadang (besar). Bakaua Ketek dilaksanakan secara sederhana, biasanya dalam lingkup keluarga atau kelompok kecil, tanpa penyembelihan hewan. Acara ini fokus pada doa bersama dan makan sederhana sebagai bentuk syukur. Doa dipimpin oleh tokoh agama atau pemangku adat, memohon perlindungan dari Allah SWT agar proses bertani berjalan lancar dan hasil panen melimpah. Makan bersama dalam skala kecil menjadi penutup acara, melambangkan kebersamaan dan rasa syukur.

       Sementara itu, Bakaua Gadang adalah perayaan besar yang melibatkan seluruh nagari. Acara ini ditandai dengan penyembelihan hewan (manggoroh), seperti sapi atau kerbau, sebagai jamuan untuk masyarakat. Daging hewan yang disembelih kemudian dibagikan kepada semua peserta, menegaskan semangat kebersamaan. Puncak acara adalah Makan Bajamba, di mana masyarakat duduk bersama, berbagi jamba (nampan berisi makanan) yang berisi nasi, lauk pauk, buah-buahan, dan minuman. Makan Bajamba bukan sekadar makan bersama, tetapi juga simbol kesetaraan dan persaudaraan.

       Di Nagari Sijunjung, Bakaua Adat dilaksanakan setiap tahun sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen dan turunnya hujan. Acara ini biasanya dipusatkan di Los Tabek, tempat pertemuan adat yang menjadi simbol kebersamaan masyarakat. Rangkaian acara dimulai dengan pembukaan resmi oleh tokoh adat atau perwakilan pemerintah, dilanjutkan dengan doa bersama yang dipimpin oleh alim ulama. Pada sore hari, anak-anak nagari mengisi acara dengan berbagai permainan tradisional, sementara malam harinya digelar pertunjukan randai, seni teater tradisional Minangkabau yang memadukan gerakan tari, musik, dan cerita rakyat.

       Puncak acara terjadi pada dini hari, dengan pemotongan kerbau sebagai simbol pengorbanan dan rasa syukur. Daging kerbau kemudian dibagikan kepada seluruh masyarakat. Pada siang hari, ibu-ibu mengikuti arak-arakan sambil menjunjung jamba. Arak-arakan ini melambangkan kebersamaan dan kesetaraan. Sesampainya di Los Tabek, masyarakat duduk bersama untuk makan bajamba. Acara ditutup dengan pemasangan nazar untuk tahun berikutnya, mengikat kembali komitmen masyarakat untuk melestarikan tradisi ini.

       Bakaua Adat mengajarkan kita tentang pentingnya rasa syukur, kebersamaan, dan penghormatan terhadap alam. Tradisi ini bukan sekadar ritual, tetapi juga menjadi simbol kearifan lokal dan ketahanan budaya masyarakat Minangkabau. Semoga Bakaua Adat tetap hidup di hati masyarakat, menjadi inspirasi bagi generasi mendatang untuk terus merawat kekayaan budaya Nusantara.


Wartawan : Andika Putra Wardana
Editor : melatisan

Tag :#Tradisi Syukur #Tolak Bala

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com