HOME LANGKAN TINGKOK

  • Selasa, 15 April 2025

Tarekat Syattariyah Di Minangkabau: Warisan Sufi Yang Tetap Hidup

Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Warisan Sufi yang Tetap Hidup

Oleh: Andika Putra Wardana


Di tengah kuatnya ombak era modern sekarang ini, Tarekat Syattariyah tetap menjadi salah satu tradisi spiritual yang bertahan di Minangkabau. Tarekat ini, yang dibawa oleh ulama-ulama dari Timur Tengah dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh lokal seperti Syekh Burhanuddin Ulakan, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan keagamaan masyarakat Sumatra Barat. Buku "Tarekat Syattariyah di Minangkabau" karya Oman Fathurahman mengungkapkan bagaimana tarekat ini tidak hanya sekadar ajaran tasawuf, tetapi juga telah beradaptasi dengan budaya lokal, menciptakan harmoni antara Islam dan tradisi Minangkabau.

Tarekat Syattariyah memiliki akar panjang yang bermula dari India, kemudian menyebar ke Haramayn (Mekah dan Madinah), sebelum akhirnya dibawa ke Nusantara oleh ulama seperti Abdurrauf bin Ali al-Jawi (Syekh Kuala) di Aceh. Dari Aceh, tarekat ini menyebar ke Minangkabau melalui murid-muridnya, salah satunya Syekh Burhanuddin Ulakan, yang kemudian menjadi tokoh sentral dalam pengembangan tarekat ini di Sumatra Barat. Surau-surau di Minangkabau menjadi pusat pembelajaran dan transmisi ajaran Syattariyah, menggabungkan tasawuf dengan nilai-nilai lokal.

Salah satu keunikan Tarekat Syattariyah di Minangkabau adalah kemampuannya beradaptasi dengan budaya setempat. Misalnya, ritual "Basapa" ziarah ke makam Syekh Burhanuddin Ulakan setiap bulan Safar telah menjadi tradisi tahunan yang diikuti ribuan orang. Selain itu, kesenian "Salawat Dulang" (salawat yang dilantunkan dengan iringan pukulan dulang/talam) menjadi media dakwah yang memadukan seni dan spiritualitas.

"Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah"(Adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Al-Qur'an) filosofi ini menggambarkan bagaimana masyarakat Minangkabau melihat tarekat bukan sebagai sesuatu yang asing, melainkan sebagai bagian dari identitas mereka.

Tarekat Syattariyah di Minangkabau juga dikenal melalui naskah-naskah tulisan tangan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Naskah-naskah ini, seperti "Tanbih al-Mashi" dan "Kifayat al-Muhtajin", tidak hanya berisi ajaran tasawuf tetapi juga catatan sejarah dan silsilah keilmuan. Beberapa naskah bahkan ditulis dalam bahasa Arab-Melayu atau dialek Minangkabau, menunjukkan proses pribumisasi ajaran Islam.

Meski tetap bertahan, Tarekat Syattariyah tidak lepas dari tantangan. Gerakan reformis Islam dan modernisasi pendidikan sedikit banyak memengaruhi eksistensi surau sebagai pusat pembelajaran tarekat. Namun, minat generasi muda terhadap tasawuf dan kekayaan spiritualitas Nusantara memberikan harapan baru bagi kelangsungan tarekat ini.

Tarekat Syattariyah di Minangkabau adalah contoh nyata bagaimana Islam bisa berakulturasi dengan budaya lokal tanpa kehilangan esensinya. Melalui buku ini, Oman Fathurahman mengajak kita untuk tidak hanya melihat tarekat sebagai ajaran mistis, tetapi juga sebagai warisan intelektual dan budaya yang layak dilestarikan.

"Sakali aia gadang, sakali tapian barubah" (Sekali air besar, sekali tepian berubah)perubahan zaman memang tak terelakkan, tetapi nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal tetap bisa bertahan jika kita mau menjaganya.


Wartawan : Andika Putra Wardana
Editor : melatisan

Tag :#Tarekat Syattariyah #Minangkabau

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com