- Minggu, 29 Juni 2025
Manari Di Ladang Urang: Antara Kebebasan Dan Kesadaran Sosial Dalam Bingkai Kearifan Minangkabau

Manari di Ladang Urang: Antara Kebebasan dan Kesadaran Sosial dalam Bingkai Kearifan Minangkabau
Oleh : Rahul Adelson
Peribahasa Minangkabau bukan hanya menyimpan kebijaksanaan yang telah melewati zaman. Ia bukan sekadar untaian kata, tetapi juga gambaran yang mendalam tentang tata nilai, sopan santun, dan aturan hidup bermasyarakat. Salah satu peribahasa yang memiliki makna simbolik dan sosial yang sangat kuat adalah “manari di ladang urang”. Secara harfiah, peribahasa ini berarti menari di ladang milik orang lain, namun makna yang dikandungnya jauh lebih luas daripada gambaran fisik tersebut. Ia menyampaikan pesan bahwa kebebasan berekspresi dan bertindak mesti selalu dibingkai oleh kesadaran akan batas, norma, serta rasa hormat terhadap hak dan ruang orang lain.
Dalam masyarakat Minangkabau, yang menjunjung tinggi adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, hidup bukanlah perkara individu semata. Tiap langkah dan tindakan seseorang harus mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan sosialnya. Maka, peribahasa “manari di ladang urang” muncul sebagai peringatan halus agar seseorang tahu diri, tahu tempat, dan tahu waktu. Menari, dalam konteks ini, bisa diartikan sebagai bentuk aktualisasi diri, menampilkan kemampuan, atau bahkan sekadar bersenang-senang. Namun, jika dilakukan di ‘ladang’ yang bukan miliknya yaitu wilayah atau ruang sosial yang bukan haknya tindakan ini menjadi tidak etis dan dapat menimbulkan kegaduhan atau rasa tersinggung bagi pemilik ruang tersebut.
Konteks sosial dari peribahasa ini sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari. Bayangkan seseorang yang menghadiri sebuah acara pernikahan, lalu tanpa diundang ia naik ke panggung, mengambil mikrofon, dan mulai bernyanyi sesuka hati. Meski ia memiliki suara yang merdu, tindakannya tetap dianggap tidak pantas karena tidak sesuai dengan tempat dan situasi. Ini adalah bentuk nyata dari “manari di ladang urang” tindakan yang terlihat biasa atau bahkan positif, bisa menjadi masalah bila dilakukan tanpa mempertimbangkan batasan sosial. Begitu pula dalam dunia kerja. Seorang pegawai baru yang belum memahami struktur organisasi lalu tiba-tiba mengubah alur kerja yang telah lama berjalan, tanpa berkonsultasi, bisa dianggap menyalahi etika profesional. Tindakannya mencerminkan kurangnya penghormatan terhadap tatanan yang sudah ada.
Di balik sindirannya, peribahasa ini menyimpan ajaran moral yang sangat kuat. Ia mengajarkan bahwa dalam bersosialisasi dan berinteraksi, seseorang harus peka terhadap ruang dan waktu, serta menghormati posisi dan hak orang lain. Ini juga berlaku dalam konteks modern. Di era digital sekarang, banyak orang lupa bahwa ruang virtual juga memiliki batasan sosial. Ketika seseorang memberikan komentar tidak sopan di media sosial orang lain, menyebarkan karya orang lain tanpa izin, atau mengklaim hasil pemikiran orang lain sebagai miliknya sendiri, semua itu adalah bentuk lain dari “manari di ladang urang” dalam versi kekinian. Dunia digital memang memberi kebebasan, tetapi bukan berarti kebebasan itu bebas nilai. Setiap tindakan harus tetap berakar pada etika dan tanggung jawab. Lebih jauh, peribahasa ini juga menuntun kita untuk memiliki rasa malu dan tahu diri. Dalam masyarakat Minangkabau, sifat malu atau “malu baso” adalah nilai penting yang menjaga seseorang dari perbuatan tidak pantas. Orang yang “manari di ladang urang” adalah mereka yang dianggap tidak memiliki rasa malu tersebut. Mereka mungkin terlalu percaya diri, ingin menonjol, atau tidak peduli dengan perasaan orang lain. Padahal, dalam budaya yang menjunjung kebersamaan dan saling menghormati, tindakan semacam itu sangat mengganggu harmoni sosial. Maka, peribahasa ini berperan sebagai pengingat agar setiap individu senantiasa sadar diri dan menjaga kehormatan dalam bersikap.
Namun, perlu juga dicermati bahwa tidak semua bentuk “manari di ladang urang” harus dimaknai negatif. Dalam konteks tertentu, bisa saja seseorang masuk ke ‘ladang’ orang lain untuk membantu, berkontribusi, atau memberi warna baru yang dibutuhkan. Tetapi kuncinya tetap satu: niat baik harus disertai dengan etika dan komunikasi. Kita tidak bisa serta-merta merasa benar hanya karena memiliki keinginan membantu atau berkontribusi. Segala sesuatu harus melalui jalan yang benar dan sesuai norma. Ketika seseorang merasa memiliki kelebihan dan ingin menampilkan dirinya, ia harus terlebih dahulu bertanya: apakah ruang ini milikku? Apakah waktunya tepat? Apakah orang lain sudah memberi izin?
Menariknya, peribahasa ini juga bisa digunakan sebagai bentuk otokritik terhadap diri sendiri. Sering kali, tanpa disadari, kita masuk ke ruang orang lain baik dalam percakapan, keputusan, atau bahkan perasaan tanpa izin atau pemahaman yang cukup. Kita merasa punya hak untuk bicara, mengomentari, bahkan menilai, padahal mungkin kita hanya tamu yang kebetulan lewat. Maka, “manari di ladang urang” menjadi cermin yang menyadarkan bahwa tidak semua tempat layak untuk kita pijak, dan tidak semua waktu tepat untuk kita tampilkan diri. Dalam kerendahan hati dan kepekaan sosial, kita menemukan cara untuk hidup berdampingan dengan damai.
Dalam dunia bisnis dan industri kreatif, peribahasa ini juga bisa menjadi panduan etis yang penting. Meniru desain, konsep, atau strategi tanpa izin adalah bentuk eksploitasi terhadap kerja keras orang lain. Sekalipun tidak ada pelanggaran hukum yang nyata, pelanggaran moral tetap terjadi. Maka, memahami makna “manari di ladang urang” menjadi sangat penting bagi para pelaku usaha, seniman, hingga konten kreator agar tetap berada dalam koridor kejujuran dan penghormatan terhadap hak cipta serta orisinalitas.
Akhirnya, peribahasa ini bukan sekadar petuah tua yang ditinggalkan leluhur, tetapi juga nasihat abadi yang tetap relevan hingga hari ini. Ia mengajarkan kita untuk menakar langkah, membaca ruang, dan menghargai hak milik orang lain. Dalam menari, bukan hanya gerakan yang dinilai, tetapi juga tempat, waktu, dan irama yang harus sesuai. “Manari di ladang urang” adalah peringatan lembut yang membentuk kesadaran kolektif bahwa kehidupan bersama harus dibangun di atas pondasi saling menghargai dan tahu batas. Di tengah dunia yang semakin bising oleh suara-suara ego, peribahasa ini mengajarkan keheningan yang beretika. Sebab kadang, menahan diri jauh lebih elegan daripada tampil tak pada tempatnya.
(Penulis Mahasiswa Sastra Minangkabau, Universitas Andalas)
Tag :#Manari
Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News
Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com
-
BARA KATAJAM LADIANG,LABIAH TAJAM MULUIK MANUSIA: SEBUAH PRIBAHASA MINANGKABAU
-
BUKAN CUMA REBAHAN: CARA PRODUKTIF MENGISI LIBURAN SEMESTER
-
4 LAGA BERSAMA PATRICK KLUIVERT, INDONESIA MASIH MENCARI JATI DIRI.
-
RAGU
-
EFEK DOMINO PERANG KAMANG DALAM TEROPONG PERLAWANAN MASYARAKAT SUMATERA BARAT MENENTANG KOLONIALISME BELANDA
-
MANARI DI LADANG URANG: ANTARA KEBEBASAN DAN KESADARAN SOSIAL DALAM BINGKAI KEARIFAN MINANGKABAU
-
BARA KATAJAM LADIANG,LABIAH TAJAM MULUIK MANUSIA: SEBUAH PRIBAHASA MINANGKABAU
-
BUKAN CUMA REBAHAN: CARA PRODUKTIF MENGISI LIBURAN SEMESTER
-
4 LAGA BERSAMA PATRICK KLUIVERT, INDONESIA MASIH MENCARI JATI DIRI.
-
RAGU