HOME LANGKAN TINGKOK

  • Kamis, 20 Maret 2025

Rabab Pasisia: Seni Tutur Yang Menyuarakan Penderitaan Dan Kehidupan Masyarakat Pesisir Selatan

Rabab Pasisia: Seni Tutur yang Menyuarakan Penderitaan dan Kehidupan Masyarakat Pesisir Selatan

Oleh: Andika Putra Wardana

Rabab Pasisia adalah seni tutur tradisional yang berkembang di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Seni ini menggabungkan cerita (kaba) dengan iringan musik dari alat musik tradisional bernama rabab. Rabab Pasisia tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga menjadi media ekspresi emosional dan refleksi kehidupan masyarakat setempat. Melalui pertunjukan ini, masyarakat Pesisir Selatan menyuarakan penderitaan dan filosofi hidup mereka.

Asal-usul Rabab Pasisia erat kaitannya dengan seni tutur kaba yang dikenal dengan sebutan Basikambang. Menurut Hartitom, peneliti dari Institut Seni Indonesia Padangpanjang, Rabab Pasisia lahir dari penderitaan hidup masyarakat Pesisir Selatan yang telah lama menjadi wilayah jajahan, baik oleh Portugis, Belanda, maupun Aceh. Penderitaan ini mengilhami terciptanya irama lagu-lagu Sikambang yang bernuansa sedih, menggambarkan nasib dan kehidupan yang tertekan. Lagu-lagu Sikambang sendiri tidak diketahui siapa penciptanya. Yasa (2016) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa seniman-seniman tradisional zaman dulu tidak mencantumkan nama mereka pada karya yang mereka ciptakan. Namun, lagu-lagu ini tetap hidup dan menjadi bagian penting dari pertunjukan Rabab Pasisia.

         Pertunjukan Rabab Pasisia biasanya diadakan dalam konteks upacara adat, seperti pernikahan, khitanan, atau pengangkatan penghulu. Pertunjukan ini melibatkan interaksi antara pemain alat musik (rabab, adok, orgen, dan tamborin), penyanyi, dan penonton. Richard Schechner, seorang teorisi teater, menjelaskan bahwa elemen-elemen penting dalam pertunjukan adalah pemain, teks, ruang, waktu, dan penonton. Namun, dalam Rabab Pasisia, peran sutradara tidak relevan karena pertunjukan ini lebih bersifat spontan dan tidak terstruktur. Menurut Hartitom, Rabab Pasisia dimainkan dengan posisi duduk, dan cara memegang serta menggesek rabab sudah menjadi tradisi sejak lama. Setiap pemain rabab atau pendendang bermain berdasarkan insting dan pengalaman mereka. Tidak ada aturan baku dalam memainkan alat musik ini, sehingga setiap pertunjukan memiliki nuansa yang unik.

Lagu Sikambang merupakan bagian penting dari pertunjukan Rabab Pasisia. Lagu ini biasanya dibawakan sebagai pembuka sebelum cerita (kaba) dimulai. Udin (1993) mengelompokkan lagu-lagu Sikambang menjadi empat kategori, yaitu Laila Ampalu Surantiah, Sikambang Data, Sikambang Lagan, dan Sikambang Aia Aji. Setiap lagu memiliki karakteristik dan makna tersendiri, yang mencerminkan berbagai tingkat kesedihan dan penderitaan. William P. Malm (1976) dalam bukunya Music Cultures of The Pacific, The Near East, and Asia menjelaskan bahwa dalam musik vokal, hubungan antara musik dan teks sangat penting. Dalam lagu Sikambang, setiap suku kata tidak selalu diwakili oleh satu nada, melainkan bisa diwakili oleh beberapa deretan nada. Hal ini menciptakan gaya musikal yang khas dan penuh ekspresi.

Salah satu perubahan menarik dalam Rabab Pasisia adalah munculnya perempuan sebagai pendendang. Pada awalnya, pertunjukan ini hanya melibatkan laki-laki, namun kini perempuan mulai mengambil peran penting. Hartitom mencatat bahwa pendendang perempuan menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton. Mereka tidak hanya menghibur, tetapi juga membantu perekonomian keluarga melalui pertunjukan ini. Namun, kehadiran perempuan dalam pertunjukan Rabab Pasisia juga menuai kritik. Menurut adat Minangkabau, perempuan dianggap tidak pantas berada di luar rumah pada malam hari. Selain itu, penonton pertunjukan Rabab Pasisia umumnya adalah laki-laki, sehingga pendendang perempuan harus menjaga penampilan dan perilaku mereka agar tidak melanggar norma adat.

Penonton memegang peran penting dalam pertunjukan Rabab Pasisia. Lono L. Simatupang, seorang ahli seni pertunjukan, menjelaskan bahwa penonton tidak hanya menyaksikan pertunjukan, tetapi juga terlibat secara emosional. Dalam pertunjukan Rabab Pasisia, penonton sering memberikan respon spontan, seperti tepuk tangan atau sorakan, ketika pemain rabab berhasil membawakan cerita dengan penuh emosi. Penonton dalam pertunjukan Rabab Pasisia dapat dibagi menjadi dua kategori: penonton aktif dan penonton pasif. Penonton aktif adalah mereka yang memberikan respon terhadap pertunjukan, sementara penonton pasif hanya menyaksikan tanpa memberikan reaksi yang berarti. Simatupang menambahkan bahwa pertunjukan Rabab Pasisia berhasil jika penonton larut dalam suasana yang dibawakan oleh pemain rabab.

Rabab Pasisia telah mengalami berbagai perubahan seiring berjalannya waktu. Dari pertunjukan yang awalnya hanya dilakukan di lingkungan kecil, kini Rabab Pasisia telah berkembang menjadi seni pertunjukan yang multifungsi. Hartitom menyimpulkan bahwa Rabab Pasisia tidak hanya menjadi sarana hiburan, tetapi juga sebagai sarana ekspresi emosional dan refleksi kehidupan masyarakat Pesisir Selatan. Dengan segala dinamikanya, Rabab Pasisia tetap bertahan sebagai bagian penting dari kebudayaan Minangkabau. Seni ini tidak hanya menghibur, tetapi juga mengajak penonton untuk merenungkan makna kehidupan dan penderitaan yang dialami oleh masyarakat Pesisir Selatan. Seperti yang diungkapkan oleh Ahimsa-Putra (2000), kesenian sebagai gejala sosial selalu terkait dengan berbagai fenomena dalam masyarakat, termasuk perubahan politik, ekonomi, dan budaya.

Rabab Pasisia adalah bukti nyata bahwa seni tradisional dapat bertahan dan berkembang, bahkan di tengah arus modernisasi. Melalui Rabab Pasisia, kita dapat melihat bagaimana masyarakat Pesisir Selatan mempertahankan identitas budaya mereka sambil terus beradaptasi dengan perubahan zaman.


Wartawan : Andika Putra Wardana
Editor : melatisan

Tag :#Rabab Pasisie #Masyarakat Pesisir Selatan

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com