- Kamis, 20 November 2025
Layu-Layu, Camilan Tradisi Solok Yang Dibuat Dari Padi Tak Jadi
Layu-Layu, Camilan Tradisi Solok yang Dibuat dari Padi Tak Jadi
Oleh: Andika Putra Wardana
Dalam tradisi kuliner Minangkabau, banyak makanan tercipta dari kedekatan masyarakat dengan alam, khususnya sawah dan ladang yang menjadi sumber penghidupan turun-temurun. Di Kabupaten Solok, tepatnya di kawasan Kampung Tigo Lurah, terdapat sebuah camilan tradisional yang lahir dari momen panen, dari ketelitian petani, serta dari rasa syukur terhadap hasil bumi. Makanan itu bernama layu-layu.
Layu-layu bukan camilan yang dibuat dari bahan mahal atau teknik rumit. Ia hadir dari padi yang dianggap “tertinggal” yaitu bulir-bulir yang belum benar-benar masak ketika panen dilakukan. Ketika sebagian besar padi sudah menguning sempurna dan disabit, selalu ada beberapa tangkai yang masih muda. Namun karena “temannya” sudah ditebas, ia ikut disabit juga. Padi inilah yang nantinya menjadi dasar layu-layu, simbol bahwa dalam budaya Minang, tidak ada anugerah alam yang dibuang sia-sia.
Sesampainya di rumah, padi-padi muda ini tidak langsung ditanak. Prosesnya panjang, penuh ketelatenan, dan sangat khas kehidupan nagari. Padi ditumbuk terlebih dahulu sampai kulit arinya pecah, kemudian diayak untuk memisahkan sekam dari butirannya. Hasil akhirnya menyerupai emping padi muda yang masih beraroma segar. Butiran ini kemudian dicampur dengan gula aren cair, lalu ditumbuk kembali hingga merata dan melekat satu sama lain. Di tahap akhir, adonan yang manis-gurih ini diberi tambahan kelapa parut agar aromanya lebih wangi dan teksturnya lembut.
Hasil akhirnya adalah Lcamilan berwarna kecokelatan dengan rasa manis alami gula aren, berpadu dengan kelapa yang gurih. Teksturnya sedikit kenyal namun tetap renyah di beberapa bagian, menghadirkan sensasi unik yang hanya bisa ditemukan pada makanan yang lahir dari proses manual. Bagi banyak orang tua di Tigo Lurah, layu-layu bukan sekadar makanan, tetapi potongan kenangan, suara lesung bertalu di pagi hari, aroma padi yang baru ditumbuk, dan suasana rumah yang riuh menjelang akhir musim panen.
Meski sederhana, layu-layu mencerminkan nilai penting dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, phormat kepada alam, bijaksana dalam memanfaatkan hasil panen, serta kebiasaan menjaga kebersamaan di dapur keluarga. Setiap tetes keringat petani dihargai, termasuk melalui makanan kecil seperti ini.
Kini, layu-layu mulai jarang ditemukan di luar kampung asalnya. Namun bagi warga Kampung Tigo Lurah, tradisi ini masih hidup, dibuat untuk acara keluarga, untuk bekal saat turun ke ladang, atau sekadar teman minum teh sore hari. Inilah kuliner yang lahir dari kesederhanaan, namun menyimpan kekayaan rasa dan nilai budaya yang tinggi.
Layu-layu mengingatkan kita bahwa kuliner Minangkabau bukan hanya tentang makanan besar seperti rendang atau gulai, tetapi juga tentang camilan kecil yang menyimpan cerita panjang tentang alam, kerja keras, dan kehidupan nagari.
Editor : melatisan
Tag :#Layu-Layu
Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News
Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com
-
SAMBA LADO MATAH
-
KUE MANGKUAK, JAJANAN MANIS YANG MULAI LANGKA DI RANAH MINANG
-
LAREH NAN PANJANG, PENJAGA KESEIMBANGAN DALAM SISTEM ADAT MINANGKABAU
-
PARIANGAN, NAGARI TERINDAH YANG MENYIMPAN SEJARAH AWAL MASYARAKAT MINANGKABAU
-
GALAMAI, MANIS LENGKET WARISAN LUHAK NAN TUO YANG BERTAHAN LEWAT TRADISI
-
PENERAPAN AKUNTANSI MANAJEMEN PADA FURNITURE BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
-
DIMANA MUSEUM KOTA BUKITTINGGI?
-
"ANAK DARO" DIKLAIM KOPI KERINCI JAMBI OLEH ROEMAH KOFFIE, POTENSI PENCAPLOKAN BUDAYA MINANG PICU KONTROVERSI
-
MEMBUMIKAN KOPI MINANG: DARI SEJARAH 1840 HINGGA GERAKAN MENANAM KAUM
-
FWK MEMBISIKKAN KEBANGSAAN DARI DISKUSI-DISKUSI KECIL