HOME VIRAL UNIK

  • Jumat, 21 November 2025

Lareh Nan Panjang, Penjaga Keseimbangan Dalam Sistem Adat Minangkabau

Lareh Nan Panjang
Lareh Nan Panjang

Lareh Nan Panjang, Penjaga Keseimbangan dalam Sistem Adat Minangkabau

Oleh: Andika Putra Wardana


Dalam struktur sosial Minangkabau, adat tidak berdiri sebagai kumpulan aturan statis. Ia tumbuh, berubah, dan menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat. Dari proses panjang itu lahirlah tiga kelarasan atau lareh yang dikenal dalam tambo adat yaitu lareh Koto Piliang, lareh Bodi Caniago, dan Lareh Nan Panjang. Dua yang pertama sering disebut sebagai dua kutub besar adat Minang, satu aristokratis-hierarkis, satu demokratis-mufakat, sedangkan yang ketiga menempati posisi yang lebih unik, yaitu sebagai penengah, penyeimbang, dan sumber perdamaian ketika kedua kelarasan besar itu berselisih.

Lareh Nan Panjang dikaitkan dengan figur Datuak Bandaro Kayo, tokoh adat yang menurut tambo merupakan keturunan Maharajo Dirajo dari Kerajaan Pasumayan Koto Batu. Dalam tradisi lisan Minangkabau, dialah yang menyempurnakan sistem “undang-undang si mumbang jatuah” menjadi aturan adat yang teratur dan dapat digunakan untuk menyelesaikan perselisihan yang kerap muncul antara Koto Piliang dan Bodi Caniago. Karena itu, Lareh Nan Panjang tidak sekadar lareh ketiga, tetapi pilar harmoni dalam struktur adat.

Secara etimologi, kata lareh sendiri telah memiliki makna filosofis. Dalam bahasa Minang, lareh berarti jatuh atau gugur, seperti daun kering yang terlepas ketika angin bertiup. Tambo menggambarkan kisah sebuah pohon besar bertiga dahan yang roboh karena angin kencang, tiap dahan “lareh” jatuh ke arah Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluh Kota. Tiga jatuhan itu kemudian disimbolkan sebagai tiga luhak, wilayah asal Minangkabau. Dari sini muncul pemahaman bahwa lareh bukan hanya pembagian administratif, tetapi filosofi keselarasan, sebuah sistem budaya yang menjaga keseimbangan unsur-unsur dalam masyarakat.

Sebagai kelarasan, Lareh Nan Panjang hadir dengan karakter yang berbeda dari dua lareh besar lainnya. Koto Piliang bersifat aristokratis, menekankan kepemimpinan bertingkat dan simbol kekuasaan. Bodi Caniago bersifat demokratis, mengutamakan musyawarah sebagai dasar pengambilan keputusan. Lareh Nan Panjang berdiri di antara keduanya, mengedepankan fungsi mediasi. Itulah sebabnya, dalam pepatah adat dikatakan

“Pisang sikalek-kalek hutan,
Pisang simbatu nan bagatah,
Bodi Caniago inyo bukan,
Koto Piliang inyo antah.”

Pepatah ini sering digunakan untuk menggambarkan status Lareh Nan Panjang yang bukan milik salah satu aliran adat, tetapi berada di ruang tengah, menjadi penimbang jika salah satu pihak terlalu condong pada kekuasaan atau terlalu longgar dalam mengambil mufakat.

Dalam perkembangannya, sistem Lareh Nan Panjang mengadopsi tiga prinsip penting yang menjadi fondasi dalam penyelesaian adat. Bapucuak Bulek, yaitu keputusan yang ditetapkan secara tegas oleh pucuk pimpinan adat. Baurek Tunggang, musyawarah yang matang dan berurat-akar, serta Tan di Langik Rajo di Sandi, bahwa keputusan apa pun harus berlandaskan hukum Tuhan. Tiga konsep ini membentuk cara pandang bahwa adat harus tegak, bermusyawarah, tetapi tetap berpegang pada nilai-nilai moral yang lebih tinggi.

Lareh Nan Panjang juga tidak berdiri sendiri. Dalam sejarah perkembangannya, muncul pula Lareh Nan Bunta, sebuah lareh “hibrida” yang dianggap sebagai hasil perpaduan Koto Piliang dan Bodi Caniago. Namun posisi Lareh Nan Panjang tetap berbeda, karena ia tidak dimaksudkan untuk menyatukan dua sistem, melainkan menjembatani ketegangan yang muncul dari perbedaan itu.

Di era kolonial Hindia Belanda, istilah lareh kemudian mengalami pergeseran makna, digunakan sebagai satuan administratif setingkat kabupaten yang dipimpin oleh Angku Lareh atau Kapalo Lareh. Meski sistem kolonial mengubah struktur pemerintahan adat, konsep kelarasan tetap hidup dalam masyarakat Minangkabau hingga kini, terutama sebagai pelajaran sejarah adat yang menjelaskan bagaimana sebuah masyarakat nusantara mampu membangun mekanisme keseimbangan sosial tanpa konflik berkepanjangan.

Dalam refleksi lebih luas, Lareh Nan Panjang menunjukkan kedewasaan sistem sosial Minangkabau. Di tengah dua kutub adat yang berbeda, orang Minang menciptakan ruang untuk perdamaian. Lareh ini mengingatkan bahwa konflik bukan sesuatu yang harus dihindari dengan meniadakan perbedaan, melainkan dikelola dengan kearifan agar harmoni tetap terjaga.

Hari ini, ketika nagari-nagari Minangkabau mulai menelusuri kembali sejarahnya masing-masing, Lareh Nan Panjang menjadi salah satu cerminan penting tentang bagaimana leluhur memandang keseimbangan kekuasaan, proses musyawarah, dan nilai hidup bersama. Ia adalah warisan intelektual yang tak hanya menjelaskan masa lalu, tetapi juga memberi pedoman bagi masyarakat Minang modern dalam menjaga adat dan identitasnya.

Jika Koto Piliang dan Bodi Caniago adalah dua sayap besar adat Minangkabau, maka Lareh Nan Panjang adalah angin yang menjaga agar keduanya tetap terbang seimbang. Sebuah kelarasan yang tidak membangun kekuasaan, tetapi membangun kedamaian.


Wartawan : Andika Putra Wardana
Editor : melatisan

Tag :#Lareh Nan Panjang

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com