HOME LANGKAN TINGKOK

  • Rabu, 19 Maret 2025

Bagurau Saluang Dan Dendang: Refleksi Perubahan Budaya Minangkabau

Bagurau Saluang dan Dendang: Refleksi Perubahan Budaya Minangkabau

Oleh: Andika Putra Wardana

Minangkabau, sebuah wilayah yang kaya akan tradisi budaya, terus mengalami dinamika perubahan seiring berjalannya waktu. Salah satu fenomena menarik yang mencerminkan perubahan ini adalah perkembangan seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang, khususnya dengan munculnya perempuan sebagai pelaku utama dalam pertunjukan tersebut. Perubahan ini tidak hanya menandai pergeseran dalam seni pertunjukan, tetapi juga mencerminkan transformasi sosial dan budaya dalam masyarakat Minangkabau.

Dari Tradisi ke Modernitas

Bagurau saluang dan dendang adalah sebuah pertunjukan musikal tradisional Minangkabau yang menggunakan alat tiup bambu (saluang) sebagai instrumen pengiring dan nyanyian (dendang) sebagai media untuk menyampaikan pantun-pantun. Pertunjukan ini awalnya merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau, di mana orang-orang berkumpul untuk bercerita, bersenda gurau, dan saling sindir dalam suasana yang akrab.

Menurut Noni Sukmawati, peneliti dari Universitas Andalas, Padang, dalam penelitiannya yang berjudul "Bagurau Saluang dan Dendang dalam Perspektif Perubahan Budaya Minangkabau", pertunjukan ini awalnya hanya dilakukan oleh laki-laki. Perempuan dianggap tabu untuk tampil dalam pertunjukan seni, terutama yang bersifat publik. Hal ini disebabkan oleh kuatnya kontrol sosial dari sistem keluarga matrilineal Minangkabau, di mana mamak (paman) atau penghulu dalam suatu kaum sangat melarang anggota keluarga perempuan mereka untuk ikut dalam kegiatan kesenian.

Fuji Astuti (2004) dalam tesisnya tentang perempuan dalam seni pertunjukan Minangkabau, menjelaskan bahwa di masa lalu, perempuan diharapkan untuk tahu malu, memahami ajaran Islam tentang aurat, dan mempertegas ajaran adat. Oleh karena itu, ruang gerak perempuan untuk mengekspresikan diri melalui dunia pertunjukan sangat terbatas.

Namun, dunia terus berubah, dan begitu pula dengan masyarakat Minangkabau. Dalam empat dekade terakhir, banyak perempuan Minangkabau yang mulai tampil dalam pertunjukan bagurau saluang dan dendang. Menurut Noni Sukmawati, perubahan ini tidak terjadi begitu saja. Faktor ekonomi yang sulit di Sumatra Barat pasca pergolakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) pada akhir 1950-an menjadi salah satu pendorong utama. Krisis ekonomi memaksa seniman tradisional untuk mencari penghasilan dengan mengadakan pertunjukan di tempat-tempat umum, seperti di kaki lima.

Katik Parau, seorang peniup saluang senior, menceritakan bahwa sebelum tahun 1970, kegiatan basaluang (bermain saluang) hanya dilakukan di pondok-pondok di tengah sawah atau ladang. "Kegiatan basaluang di pondok-pondok ini adalah untuk orang-orang yang baru belajar. Setelah itu, pindah ke tempat yang lebih ramai seperti di pondok ronda," ujarnya. Namun, sejak awal 1960-an, pertunjukan bagurau saluang dan dendang mulai berkembang secara komersial di kaki lima, terutama di daerah perkotaan.

Perkembangan ini membuka peluang bagi perempuan untuk terlibat dalam pertunjukan. Mis Ramolai, Mel Rasani, dan Upiak Malai adalah beberapa nama pendendang perempuan yang mulai dikenal pada era tersebut. Mereka belajar dan mengembangkan kemampuan mereka di kaki lima, meskipun ada juga yang menolak tempat tersebut. Ajis Sutan Sati, seorang pendendang senior dari Bukittinggi, misalnya, menganggap bahwa berdendang di kaki lima sama dengan merendahkan martabat sebagai seniman.

Peran Perempuan dalam Transformasi Budaya

Munculnya perempuan sebagai pendendang dalam bagurau saluang dan dendang tidak hanya mengubah dinamika pertunjukan, tetapi juga mencerminkan perubahan sosial yang lebih luas dalam masyarakat Minangkabau. Noni Sukmawati mencatat bahwa melemahnya kontrol sosial dari sistem keluarga matrilineal menjadi salah satu faktor utama yang memungkinkan perempuan untuk tampil dalam pertunjukan. Dalam masyarakat tradisional Minangkabau, mamak memiliki otoritas yang kuat terhadap kemenakan, termasuk dalam hal menentukan apakah seorang perempuan boleh terlibat dalam kegiatan seni.

Namun, seiring waktu, peran mamak semakin melonggar, sementara peran orang tua, terutama bapak, semakin menguat. Sairin (1992) dalam penelitiannya tentang perubahan sosial di Minangkabau, menjelaskan bahwa hubungan antara mamak dan kemenakan semakin longgar, sementara hubungan bapak dengan anak semakin erat. Perubahan ini diikuti dengan semakin berkurangnya peran extended family (keluarga besar) dan meningkatnya kecenderungan untuk hidup dalam bentuk nuclear family (keluarga inti).

Refleksi Perubahan Sosial

Perkembangan bagurau saluang dan dendang dengan munculnya perempuan sebagai pelaku utama tidak hanya mencerminkan perubahan dalam seni pertunjukan, tetapi juga menjadi cerminan perubahan sosial yang lebih luas dalam masyarakat Minangkabau. Ahimsa-Putra (2000) dalam bukunya "Ketika Orang Jawa Nyeni" menjelaskan bahwa kesenian sebagai gejala sosial dapat dihubungkan dengan berbagai fenomena lain dalam masyarakat, termasuk perubahan politik, ekonomi, dan budaya.

Dalam konteks Minangkabau, pertunjukan bagurau saluang dan dendang telah menjadi media untuk melihat bagaimana masyarakat Minangkabau beradaptasi dengan perubahan zaman. Perempuan, yang sebelumnya dianggap sebagai "pusat moral budaya Minangkabau", kini mengambil peran aktif dalam seni pertunjukan, membawa perubahan dan inovasi dalam tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Perkembangan bagurau saluang dan dendang dengan munculnya perempuan sebagai pendendang adalah bukti nyata dari perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau. Perubahan ini tidak hanya terjadi dalam ranah seni, tetapi juga mencerminkan transformasi yang lebih luas dalam sistem keluarga, peran gender, dan struktur sosial masyarakat Minangkabau. Seperti yang diungkapkan oleh Noni Sukmawati, "Pendendang perempuanlah yang telah melakukan sebuah perubahan dan inovasi sosial melalui kegiatan mereka mengembangkan kehidupan pertunjukan bagurau saluang dan dendang di Minangkabau."

Dengan demikian, bagurau saluang dan dendang tidak hanya sekadar pertunjukan seni, tetapi juga menjadi cerminan dari dinamika budaya dan sosial masyarakat Minangkabau yang terus berubah seiring waktu.


Wartawan : Andika Putra Wardana
Editor : melatisan

Tag :#Saluang #Dendang

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com