HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Jumat, 9 Desember 2022

Ragam Alat Musik Tradisional Minangkabau

Lindawati
Lindawati

Ragam Alat Musik Tradisional Minangkabau

Oleh: Lindawati*

Pembicaraan alat musik tradisi Minangkabau perlu pula dikaitkan dengan pembicaraan adat atau kebudayaan, terutama dengan kebudayaan sebagai perilaku. Alat musik yang banyak itu ada yang bisa dimainkan sendiri dan ada yang beramai-ramai. Kalau main sendiri berarti alat musik yang dimainkan hanya satu, kalau beramai-ramai tentu alat musiknya banyak pula. Pada pertunjukan yang menggunakan alat musiknya banyak dan beragam diperlukan kekompakan senimannya. Denagn adanya kekompakan itu timbul keharmonisan dan dari keharmonisan itulah dapat dihasilkan bunyi yang indah. Hal keharmonisan dalam musik itu dinyatakan dalam pepatah adat yang berbunyi sakato mangko batuah, salisiah kusuik nagari, malabiahi ancak ancak, mangurangi sio sio ‘sekata makanya bertuah, berselisih kacau nagari, melebihi tidak baik, mengurangi sia-siaFalsafah seni yang dasarnya terkait dengan keharmobnisan bunyi musik juga dapat dijadikan pedoman dalam menata kehidupan sosial masyarakat, terutama dalam menggalang kerjasama, semangat persatuan dan gotong royong. Peribahasa ini juga menyatakan bahwa setiap individu punya tanggung jawab dalam malaksanakan upaya mencapai tujuan yang dalam hal ini keindahan  dan keharmonisan.

Alat Musik Tradisional di Minangkabau

Berdasarkan cara menghasilkan bunyi, alat musik ada yang ditiup, ditabuh, da nada pula yang digesek. Alat musik yang berbunyi karena ditiup contohnya adalah seruling. Di daerah darek, saluang lebih panjang dari di daerah rantau, sehingga sering disebut dengan saluang panjang ‘seruling panjang’. Saluang darek atau saluang panjang ini terbagi pula atas dua macam, ada yang disebut saluang jantan ‘seruling jantan’ dan ada saluang batino ‘seruling betina’. Saluang jantan ‘seruling jantan’ dibuat dari bahan sejenis bambu yakni sariak  dan talang yang lingkarannya lebih besar dari saluang batino ‘seruling betina’ dan panjangnya juga lebih dari yang betina. Bedanya dengan saluang pauah ‘seruling pauh’ atau saluang pakok yang biasa dipakai orang di Padang (rantau), bentuknya hampir mirip bansi tetapi ukurannya lebih dari bansi dan diameter lingkarannya juga lebih besar dari bansi.  Lobangnya ada empat, yaitu tiga di atas dan satu dibawah.

Satu lagi alat musi tiup tradisional Minangkabau adalah pupuik ‘puput’. Bahan pembuat pupuik ‘puput ini adalah batang padi dan daun kelapa.   Batang padi yang sudah dibuat lidah-lidahnya dilit dengan daun kelapa. Jumlah lilitan akan menentukan besar lingkaran puput serunai. Bentuk puput serunai yang terbuat dari batang padi dan daun kelapa ini bermacam-pula di Minangkabau.  Setidaknya ada dua macam. Pupuik sarunai batang padi dari darek biasanya berlobang empat, dan dari pesisir yang dapat dinyatakan dari daerah rantau, jumlah lobangnya biasanya lima atau tujuh.

Di Minangkabau juga dikenal pupuik baranak ‘puput beranak’ . pupuik baranak ‘puput beranak’ juga ada dua macam. Perbedaan keduanya terletak pada bahannya, ada yang terbuat dari sariak atau talang dan ada yang terbuat dari batang padi. Satu lagi musik tradisional namanya genggoang. Alat music genggong ini berbunyi bukan karena ditiup, tetapi bunyinya akan lebih indah kalau  pengaruh udara yang keluar-masuk dari mulut pemusik genggong. Bahan dasar genggong ini besi. Kalau tidak ada besi, seniman tradisi menggunakan karet tangan sebagai genggong. Karet tangan diregang dan didekatkan ke mulut dan ditiup. 

Jenis alat musik yang kedua adalah alat musik gesek. Alat musik gesek yang terkenal  di Minangkabau adalah rabab. Alat musik gesek rabab ini ada tiga macam pula bentuknya. Perbedaan bentuk ini berkaitan dengan daerah asalnya dan bahan pembuatnya. Pertama rabab dari Payakumbuh. Adapun bahan pembuat rabab bagian bawah yang bentuknya bulat dan terbuat dari kayu. Bagian tengahnya disambuang dengan talang. Penutup ruang resonansi yang bulat bagian bawah adalah  bagian luar dari perut masam (jeroan). Tali atau senar yang digesek ada dua buah dan itu terbuat dari ekor kuda. Penggunaan alat musik rabab ini biasa bersamaan atau disandingkan dengan saluang darek. Alat musik yang dua ini biasa mendampingi pantun-pantun yang ditampilkan dalam pertunjukan bagurau atau kaba. Adapun kaba yang terkenal dari Payakumbuh adalah kaba Nan Tungga Magek Jabang.  

Yang kedua, rabab dari Pariaman. Bedanya dengan yang dari daerah darek (Payakumbuh) terutama dapat dilihat dari bahan pembuat bagian bawah yang bulat. Di Pariaman bagian yang bulat itu terbuat dari tempurung (batok kelapa). Bahan bagian yang lain sama dengan rabab dari Payakumbuh.   Alat musik gesek rabab di Pariaman ini juga biasa  ditampilkan mendampingi kaba dan pantun pantun panjang.

Yang ketiga rabab Pasisia. Bentuknya hampir sama dengan biola. Alat music gesek dari Pasisia ini biasa mengiringi kaba yang isi ceritanya tentang parasaian ‘nasib malang’ tokoh. Adakalanya, dalam sebuah pertunjukan rabab, alat musik gesek ini  didampingi alat musik pukul kecil yang disebut rabana ketek ‘rebana kecil’ dan tamburin.

Jenis alat musik yang ketiga adalah alat musik pukul. Dinamai dan dikategorikan sebagai alat musik pukul karena alat musik itu menghasilkan bunyi karena dipukul. Ada banyak jenisnya alat musik pukul di Minangkabau.  Beberapa diantaranya adalah aguang jo canang, talempoang, gandang gadang,  gandang katindik, rabana, rapa’i, tasa, talempoang, aka lundang dari Kayutanam, gandang lasuang (si katuntuang ) dari Payokumbuah,  talempoang batuang dari mudiak Limo Koto  Payokumbuah dan talempoang Batu juga dari Maek  Limo Puluah Koto Payokumbuah. Ukuran talempoang Batu labih kurang 150 x 40 cm. Satu lagi alat musik yang dikenal dan terkenal di Minangkabau adalah kucapi.  Kucapi  ini berasal dari daerah Limo Puluah Koto Payokumbuah. Alat musik ini sering digunakan untuk mengiri kaba  Anggun Nan Tongga Magek Jabang atau sering juga disebut kaba Lenggang Nan Gondo.

Selain yang telah disebutkan pada bagian terdahulu, ada satu lagi alat musik tradisional pukul di Minangkabau yaitu dulang.  Alat musik pukul dulang ini biasa dipakai untuk mengiringi acara Salawaek ’selawat’. Karena acara  selawat itu diiringi dengan alat musik pukul berupa dulang, maka pertunjukan itu disebut dengan Salawaek Dulang.  Apakah dulang ini oleh ahli musik sudah dimasukkan sebagai salah satu jenis alat musik? Tentu perlu diskusi berikutnya. Mungkin masih ada alat musik lain di tempat lain yang belum dinyatakan dan didaftarkan.

Peribahasa atau pituah adat yang mengatur bagaimana seseorang harus berlaku pada tahap pembuatan dan tahap memainkan alat musik juga ada dalam khasanah peribahasa Minangkabau. Petuah adat itu berbunyi: di mulai jo lidah api di sudahi jo lidah aia ‘dimulai dengan lidah api, diselesaikan dengan lidah air’. Seseorang harus memulai suatu pekerjaan yang dalam hal ini membuat alat musik dengan semangat tinggi, membara atau berapi-api. Semangat itu harus dijaga sampai apa yang mau dibuat itu selesai atau terwujudKalau sesuatu yang direncanakan itu terwujud tentulah akan menyenangkan hati dan suasananya menyejukkan seperti yang dikiaskan dengan air. Orang harus berucap syukur dengan keberhasilannya itu. Dalam memainkan alat musik, bermain musik dimulai dengan semangat tinggi yang dapat terdengar dari nadanya yang tinggi dan cepat dan diakhiri dengan musik yang bernada rendah dan pelan. Akan tetapi dalam memainkan, juga bisa sabaliknya: di mulai jo lidah aia, di sudahi jo lidah api  ‘dimulai dengan lidah air, diselesaikan dengan lidah api’. Artinya: dimulai dengan nada rendah dan pelan diakhiri dengan nada tinggi dan cepat.

Dalam berkesenian, terutama yang berkaitan dengan penampilan seni termasuk alat musik yang digunakan, juga ada aturan yang berkaitan dengan tahap penampilannya (strukturnya). Yang dimaksud dengan struktur disini adalah urutan jenis musik yang ditampilkan dalam sebuah pertunjukan. Kalau disekat-sekat, sebuah pertunjukan seni tradisi yang menggunakan musik sebagai pengiring maka musik itu  dapat dibagi atas beberapa bagian. Bagian itu adalah:

  1. Bunyi-bunyian nan maantaan (Musik pembuka/pengantar)
  2. Bunyi-bunyian mairiangan (Musik pengiring)
  3. Bunyi-bunyian panyudahi (Musik penutup)

Menurut pengamatan dan pengalaman Mak Katik, Sebalum tahun 1963 segala bunyi bunyian yang ada di Minangkabau tidak satupun yang mematuhi aturan tangga nada Do, Re, Me, Fa, Sol, La, Si, Do. Walaupun lubang bansi sudah tujuah, tetapi belum lagi sesuai dengan tangga nada yang universal itu. Barulah setelah dibuka sekolah KOKAR di Padang Panjang, yang sekarang ASKI, pencinta dan pegiat seni mencoba menyesuaikan bunyi alat musi tradisional Minang itu dengan alat musik modern. Sejak itu mulai dipelajari kunci “ Nada “. Oleh karena itu, sekarang ini, bunyi alat musik tradisional Minangkabau ada yang patuh pada tangga nada  modern (universal) dan ada yang tidak.

 

Nara Sumber: Mak Katik

*Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

 


Tag :#Opini #Didaktika #Lindawati

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com