HOME LANGKAN KATO

  • Senin, 9 Oktober 2023

Estetika Teks Mantra Minangkabau

Yerri
Yerri

Estetika Teks Mantra Minangkabau

 

Oleh Yerri Satria Putra*

 

Estetika merupakan disiplin ilmu yang mengkaji dan membahas tentang keindahan, menggali bagaimana keindahan itu terbentuk, serta bagaimana manusia menyadari dan merasakannya. Secara etimologis, istilah "estetika" berasal dari bahasa Latin "aestheticus" atau bahasa Yunani "aestheticos," yang berarti pengalaman atau hal-hal yang dapat dirasakan oleh panca indera manusia. Beberapa orang juga mendefinisikan estetika sebagai cabang ilmu filsafat yang membahas tentang keindahan, biasanya dalam konteks seni dan alam semesta.

Sejarah estetika sebagai ilmu tentang seni dan keindahan dimulai dengan kontribusi Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762), seorang filsuf Jerman. Meskipun kajian estetika sebagai disiplin ilmu baru dimulai pada abad ke-17, pemikiran tentang keindahan dan seni telah ada sejak zaman Yunani Kuno. Nilai estetika dalam sebuah karya seni dapat diidentifikasi dalam berbagai produk seni, termasuk salah satunya adalah mantra.

Sebagai bentuk tradisi lisan, mantra termasuk dalam kategori puisi lama. Menurut buku "Mantra Muar Wanyek (Analisis Struktur dan Fungsi)" yang disusun oleh Badan Bahasa, mantra dianggap sebagai puisi tertua karena terkait dengan ritual-ritual penting masa lampau. Mantra juga merupakan salah satu bentuk puisi tertua di dunia yang digunakan dalam ritual-ritual kuno.

Dalam konteks Hindu, mantra juga bisa berbentuk Tantra dan Yantra. Tantra merupakan konsep pemujaan Ida Sanghyang Widhi Wasa, di mana manusia kagum pada sifat-sifat kemahakuasaan-Nya dan menginginkan kesaktian sedikit. Yantra adalah sarana untuk memusatkan pikiran, berbentuk geometris, dengan bentuk yang paling sederhana adalah sebuah titik (Bindu) atau segi tiga terbalik.

Meskipun mantra, pantun, dan syair semuanya termasuk dalam kategori karya sastra, ketiganya memiliki perbedaan. Perbedaan antara ketiganya adalah sebagai berikut.

Mantra merupakan kata atau kalimat yang mengandung kekuatan gaib atau magis dan hanya dapat diucapkan oleh orang tertentu karena memiliki kekuatan di luar kemampuan manusia, seperti untuk penyembuhan. Keistimewaan mantra terletak pada pengulangan bunyi serta dampak yang dihasilkannya pada pendengar. Dalam masyarakat Melayu, mantra dianggap sebagai bagian dari tradisi dan kepercayaan, bukan sebagai karya sastra. Mantra umumnya digunakan pada waktu dan tempat tertentu dengan tujuan untuk memberikan kemampuan khusus kepada orang yang mengucapkannya.

Pantun merupakan bentuk puisi Indonesia (Melayu) yang terdiri dari empat baris dengan pola sajak a-b-a-b. Setiap bait pantun memiliki empat kata, di mana dua baris pertama digunakan sebagai sampiran atau tumpuan, sementara dua baris terakhir mengandung isi pesan. Pantun memiliki pola sajak a-b-a-b dan setiap baitnya terdiri dari 8-12 suku kata.

Sementara itu, syair merupakan salah satu jenis puisi lama yang berasal dari bahasa Arab "syu’ur," yang berarti penasaran. Dalam konteks puisi, syair mengacu pada ungkapan perasaan yang dituliskan dalam bentuk puisi. Syair masih mengikuti aturan ketat dengan pola persajakan a-a-a-a, dan menggunakan bahasa kiasan. Dengan demikian, tiga bentuk puisi lama ini memiliki ciri-ciri dan fungsi yang berbeda satu sama lain.

Minangkabau, atau juga dikenal dengan sebutan Minang, adalah kelompok etnis pribumi di Nusantara yang mendiami pulau Sumatera bagian tengah, Indonesia. Wilayah kebudayaan Minangkabau meliputi Sumatera Barat, setengah daratan Riau, utara Bengkulu, barat Jambi, pantai barat Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan Negeri Sembilan di Malaysia. Budaya Minangkabau dikenal dengan dua kawasan utama, yaitu luhak dan rantau. Luhak, atau dikenal juga sebagai kawasan darek, merupakan kawasan asal orang Minangkabau, meliputi daerah Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota. Kawasan rantau adalah perluasan dari luhak, merujuk pada daerah di mana masyarakat Minangkabau melakukan migrasi dan membentuk nagari baru.

Sejak zaman dahulu, Minangkabau terkenal dengan kebudayaannya dalam bertatah dan bertitih, yang diimplementasikan ke dalam berbagai bentuk tradisi lisan. Contoh tradisi lisan Minangkabau antara lain Baguran, Randai, dan Salawat Dulang. Tradisi lisan merupakan pesan yang diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Pesan tersebut dapat disampaikan melalui berbagai bentuk seperti dongeng, rapalan, pantun, lagu, dan cerita rakyat. Dalam tradisi lisan, terdapat beberapa unsur yang dapat diamati, termasuk jenis, cara penyampaian, dan isi dari tradisi tersebut.

Menurut Vansina, tradisi lisan adalah pesan verbal atau tuturan yang disampaikan dari generasi ke generasi secara lisan, melalui ucapan, nyanyian, dan penggunaan alat musik. James Danandjaja, yang melakukan kajian tentang tradisi lisan di Indonesia pada tahun 1972, mendefinisikan tradisi lisan sebagai bagian dari kebudayaan yang tersebar dan diwariskan turun-temurun secara tradisional di antara anggota masyarakat dalam berbagai versi. Menurut Danandjaja, tradisi lisan dapat disampaikan melalui kata-kata lisan atau disertai dengan contoh perbuatan dan penggunaan alat bantu pengingat.

Teks mantra dapat ditemukan dalam tradisi lisan Minangkabau. Di kalangan masyarakat Minang, teks mantra ini dikenal dengan berbagai istilah seperti manto, jampi-jampi, sapo-sapo, kato pusako, kato, katubah, atau capak baruak. Salah satu jenis mantra dalam tradisi lisan Minangkabau adalah Sirompak. Struktur mantra sirompak terdiri dari repetisi formula dan tema. Semua teks dalam berbagai versi penyajian mantra ini memiliki ungkapan yang bersifat formulaik.

Selain dalam tradisi Sirompak, mantra atau manto juga dapat ditemukan dalam berbagai bentuk tradisi lisan lainnya, seperti baguran randai dan salawat dulang, tradisi pengobatan, seni bela diri (silek), dan upacara-upacara adat lainnya. Sebagai bagian dari tradisi lisan, mantra memegang peran yang sangat penting dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau. Mantra sering digunakan dalam berbagai upacara adat dan ritual, dan dipercaya memiliki kekuatan gaib yang kuat.

Oleh masyarakat Minangkabau, mantra berfungsi macam-macam, beberapa fungsi mantra terkait dengan diri manusia itu sendiri. Diantaranya, berfungsi sebagai pemikat. Mantra ini disebut sebagai mantra pengkasih. Mantra ini digunakan untuk mempengaruhi pandangan dan hati orang lain sehingga menjadi tertarik atau suka kepada orang yang memakai mantra ini. Teks mantra pakasiah terdiri atas tiga bagian, yakni bagian pendahuluan, isi, dan penutup. Pendahuluan berupa pengucapan basmalah, sedangkan isi merupakan puji-pujian, serta penutup berupa pengucapan barakaik kulimah lailahailallah.

Bukakakkanlah pintu sarugo dunia si (sebutkan nama orang) kapado aku

Aku tau asanyo jadi

Nursaibah asanyo jadi

 

Berufungsi sebagai pelindung diri. mantra ini dikenal dengan istilah tulak bala. Terkadang, mantra ini digunakan bukan bertujuan untuk melindungi diri si pemakai saja, melainkan juga meminta perlindangan kepada Allah terhadap suatu kegiatan, proses pelaksanaan upacara adat masyarakat Minangkabau dengan menggunakan air sebagai medianya. Mantra tulak bala berfungsi sebagai penolak bala dan kesialan, mengobati penyakit, dan meminta keselamatan.

Dari mano tabiknyo api,

Dari dalam nuruha,

Kapalo nur Muhammad,

 

Dari mano tobiknyo aie,

Disikek nur Muhammad,

Turunlah angin sijampangin,

Ka panyapu awan dilangik,

 

Datang engkau di ruok batu,

Kambali engkau ka ruok batu,

Datang engkau di limbaguno,

Kambali engkau di limbaguno

 

Mantra di atas adalah jenis mantra tulak bala untuk meminta perlindungan agar diberi cuaca cerah tanpa hujan sepanjang acara atau kegiatan. Hujan memang tidak bisa dikategorikan sebagai bala atau bencana tetapi bagi sebagian orang terutama yang sangat berharap hari yang cerah, tentu sangat tidak menginginkan kegiatannya menjadi kacau atau rusak, sepi gara-gara hujan datang mengguyur.

Sementara mantra penglaris, digunakan sebagai bentuk permohonan agar usaha atau niaga yang sedang dijalankan mendapatkan kemajuan. Biasanya pemakaian mantra ini melalui media benda-benda.

Alau-alau anti alau

Alau-alau dari Makah

Ambo mamakai doa anti alau

Barokat kalimat Lailahailallah

 

Dari teks mantra di atas, maka mantra penglaris tersebut merupakan mantra penglaris yang berfungsi sebagai penghalau mantra jahat yang dikirimkan oleh orang lain untuk menghancurkan bisnis yang sedang dijalankan. Lirik ambo mamakai doa anti alau, menunjukkan bahwa selain sebagai pemikat, mantra penglaris ternyata dapat berubah fungsi sebagai mantra tulak bala apabila digunakan sebagai penghalau niat jahat.

Mantra-mantra sering kali memiliki struktur dan irama tertentu yang menciptakan efek estetis ketika diucapkan. Pengulangan kata dan frasa, serta penggunaan metafora dan simbolisme, sering digunakan untuk menciptakan efek ini. Selain itu, konteks di mana mantra diucapkan—baik itu dalam ritual adat, upacara pernikahan, atau acara-acara lainnya—juga berkontribusi terhadap pemaknaan nilai estetika mantra itu sendiri.

Dengan demikian, nilai estetika dalam teks mantra bukan hanya tentang bagaimana mantra itu terdengar atau bagaimana ia ditampilkan secara visual, tetapi juga tentang bagaimana ia dirasakan dan dipahami oleh masyarakat Minangkabau itu sendiri. Ini mencerminkan pandangan holistik masyarakat Minangkabau terhadap keindahan, di mana keindahan tidak hanya ada dalam apa yang bisa dilihat atau didengar, tetapi juga dalam apa yang bisa dirasakan dan dipahami.

*Dosen Sastra Minangkabau FIB Unand


Wartawan : Bahren
Editor : bahren

Tag :#Langkan #Kato#Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com