- Senin, 22 Desember 2025
“Tembak Patuih”: Mitos Edukatif Dalam Ungkapan Larangan Ulakan Tapakis
Di Nagari Ulakan Tapakis, Padang Pariaman, Sumatera Barat, saat hujan deras dan petir menggelegar, warga langsung ingat ungkapan larangan tua, "Indak buliah ba payung dalam rumah, ditembak patuih wak beko!" Penelitian lapangan di kedai Teh Talua Pasar Raba'a, tempat minuman telur ikonik Pariaman laris manis menangkap transkrip asli dari Pak Buyuang (laki-laki, 58 tahun, nelayan, warga Sunua Ulakan Tapakis).
Putri : "Tu ado ndak, Pak. Pantang-pantangan misalnyo pas cuaca badai indak buliah kalua rumah atau apo?"
Pak Buyuang : "Yo, kalau hari-hari badai hari rancak buruak Indak buliah ba payung dalam rumah ditembak patuih wak beko."
Terjemahannya:
Putri : Terus ada tidak, Pak, pantangan-pantangan, misalnya pas cuaca badai tidak boleh keluar rumah atau apa?
Pak Buyuang : Ya, kalau hari-hari badai, hari bagus-buruk, tidak boleh pakai payung di dalam rumah.
Ungkapan ini sebenarnya kearifan Minangkabau dalam bentuk ungkapan larangan sebagai mitos edukatif, gabungan tradisi oral (mulut ke mulut) dengan pengamatan alam turun-temurun.
"Tembak patuih" dalam bahasa Minang maksudnya ialah simbol petir sebagai "tembakan" supernatural dari alam, hukuman atas pelanggar tabu saat "hari rancak buruak" (cuaca ekstrem, bagus-buruk) khas pesisir Padang Pariaman yang berhadapan dengan Selat Malaka. Makna dari ungkapan larangan ini, yaitu payung tradisional dari bambu dan kain tebal tampak aman, tapi versi modern dengan rangka besi jadi konduktor listrik sempurna. Saat dibuka di rumah kayu panggung, uap basah dan logam tarik kilat melalui atap seng, ventilasi, atau kabel listrik berisiko tinggi di nagari yang rawan badai.
Mirip ungkapan larangan lain di Pariaman seperti ikan larangan Sungai di Munggai atau mitos-mitos cuaca lainnya yang terkait dengan perubahan ekstrem untuk pencegahan dari bahaya (badai di laut, karena rata-rata pekerjaan orang di sini adalah melaut), ini pengamatan turun-temurun yang dibalut cerita mistis supaya mudah diingat anak cucu. Di Ulakan Tapakis, ritual verbal ini dilestarikan lewat obrolan kedai Teh Talua, seperti sekolah adat tanpa buku teks.
Fungsi utama larangan ini, yakni sosial-edukatif, mengajari anak cucu untuk menghindari kelalaian saat badai, tanam rasa hormat alam (alam Minangkabau) sejak kecil. Pak Buyuang soroti konteks "hari rancak buruak" sebagai pengingat untuk manusia terhadap cuaca, cegah bermain payung di bale-bale (ranjang kayu) yang konduksi listrik. James Danandjaja dalam Folklor Indonesia (1990) menjelaskan:
"Pantangan-pantangan ini pada hakikatnya adalah peringatan untuk menjaga keselamatan hidup, yang dikemas dalam bentuk cerita mistis agar mudah diterima masyarakat tanpa penjelasan ilmiah panjang." Ilmiahnya, Indonesia alami ratusan ribu petir per tahun, benda logam indoor meningkatkan voltase hingga jutaan kali, masuk rumah lewat konduktor tersembunyi.
Bandingkan di Kota Padang sendiri, ungkapan larangan terkait cuaca badai lebih menekankan pantangan praktis seperti "indak buliah bataduah di bawah pohon gadang atau tiang listrik pas ujan patuih." (Susanti, salah satu warga kota Padang), atau mitos global seperti Zeus lempar kilat di Yunani, semua punya pesan sama: hormati kekuatan alam. Wawancara di kedai Teh Talua membuktikan tradisi oral efektif, cerita sambil 'ngopi' lebih melekat daripada tempelan poster peringatan.
Hal ini semua juga sesuai dengan imbauan BPBD dan BMKG untuk hindari konduktor luar ruang serta daerah aliran sungai rawan banjir kilat. Berbeda dengan "tembak patuih" mistis di Ulakan Tapakis yang fokus payung indoor, versi kota ini adaptif urban untuk mematikan listrik, jauhi DAS hulu, tapi sama-sama kearifan edukatif Minangkabau untuk menghindari bahaya saat musim hujan ekstrem Sumbar. Perbandingan ini menunjukkan folklore ungkapan larangan berevolusi dari oral mistis ke kota modern tanpa hilang fungsi sosialnya.
Kini saat berita bencana Sumatera yang viral di media sosial, pesan "tembak patuih" selaras dengan bebetapa tips modern: tutup payung di rumah, jauhi jendela, air, logam, matikan listrik saat badai. Urbanisasi Pariaman mengganti rumah tradisional dengan seng modern, namun adat tetap relevan mencegah kecelakaan listrik di musim hujan. Danandjaja menambahkan, "Folklor berfungsi sebagai 'kode etik alam' yang relevan lintas zaman, dari era pra-sains hingga modern." Campuran nostalgia Minang dengan informasi ini membuat ungkapan larangan jadi konten yang shareable di media sosial lokal, menghubungkan generasi tua dan muda.?
Dalam urbanisasi terdapat ancaman hilangnya ungkapan-ungkapan larangan seperti ini, tapi penelitian lapangan di Ulakan Tapakis menunjukkan potensi pelestarian folklor lewat media sosial. Generasi muda sekarang tak sekadar mengetahui tapi dapat memahami akar adat untuk patuhi larangan ini agar terhindar dari "tembak patuih". Adat Minang bukan dongeng usang, tapi survival guide hidup yang selamatkan jiwa di era badai ekstrem.
Tag :#Opini #Didaktika #Minangsatu
Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News
Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com
-
BANJIR DALAM MANUSKRIP SEBAGAI CATATAN PENGALAMAN KOLEKTIF MASYARAKAT
-
PENERAPAN AKUNTANSI MANAJEMEN PADA FURNITURE BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
-
BERMULA DARI LUHAK KE NEGERI ORANG MEMAKNAI SUMPAH PEMUDA ALA PERANTAU MINANGKABAU
-
PELATIHAN KETERAMPILAN SOLID HAIRCUT, SULAM DAN PEMBUATAN CREATIVE DIGITAL PORTFOLIO SEBAGAI UPAYA PEMBINAAN YOUNG TALENTPRENEUR PADA KELOMPOK KESETARAAN PAKET C DI NAGARI SUNGAI KAMUNYANG KABUPATEN 5
-
BERMULA DARI KIAS “KUSUIK SALASAI KARUAH JANIAH” HINGGA BEBERAPA BENTUK TURUNANNYA
-
“TEMBAK PATUIH”: MITOS EDUKATIF DALAM UNGKAPAN LARANGAN ULAKAN TAPAKIS
-
CHERRY CHILD FOUNDATION BERSAMA BERBAGAI KOMUNITAS SALURKAN BANTUAN KE WILAYAH TERDAMPAK BANJIR BANDANG DI PADANG
-
MENANAM POHON, MENUAI KESELAMATAN: KONSERVASI LAHAN KRITIS UNTUK KETAHANAN HIDUP KOMUNITAS.
-
MUSIBAH
-
KEMANA BUPATI TAPSEL