HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Rabu, 8 Februari 2023

REFLEKSI LAPAU DALAM KARYA SASTRA

Opini Muchlis
Opini Muchlis

REFLEKSI LAPAU DALAM KARYA SASTRA

O l e h : Muchlis Awwali

Dalam khazanah budaya Minangkabau, lapau merupakan salah satu institusi yang memiliki keunikan tersendiri, jika dibandingkan dengan institusi rumah gadang dan surau.  Di lapau segala sesuatunya boleh dibicarakan, topik pembicaraan dapat saja mengarah pada persoalan apa pun. Bahkan, persoalan-persoalan yang sudah, sedang, dan yang akan terjadi dibelahan dunia sana tidak luput dari cerita lapau. Meskipun lapau sebagai tempat jual beli,  tempat itu memiliki etika sosial yang harus dipahami secara bersama. Misalnya, seorang mamak rumah tidak akan duduk satu lapau dengan sumandonya. Ketika seseorang pernah dibayarkan makanan dan minumannya di lapau, suatu masa adakalanya dia juga membalasnya.  Kemudian, pengunjung yang buru-buru pergi karena tidak punya cukup uang untuk membayar makan dan minumannya, maka pemilik lapau akan arif atas tindakan tersebut. Walau semua itu tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi orang-orang palapau dan pemilik lapau sudah memahami aturan tersebut. Lapau adalah dunianya laki-laki. Yang hadir di sana adalah para remaja, dewasa, dan orang tua. Setiap lapau memiliki kelompok umur tertentu. Oleh karena itu, bagi seorang palapau, dia sudah paham lapau yang mana yang akan didatanginya. 

Dalam pemahaman masyarakat, orang yang suka bermain ke lapau dijuluki sebagai orang palapau. Bagi orang palapau waktu senggangnya sering dihabiskan di lapau, bahkan minum dan sarapan paginya pun di lapau.  Di lapau mereka bersenda gurau (maota) sambil menikmati minuman dan makanan yang tersedia. Pada moment-moment tertentu akan terdengar riuhnya suara tawa dari para pengunjung. Mereka saling beradu agumentasi dalam membahas suatu persoalan. Dari argumen itu menyebabkan adanya pro dan kontra dari orang palapau. Meskipun berazaskan demokrasi, Setiap pengunjung harus dapat menyesuaikan diri dengan kondisi pengetahuan pengunjung lainnya. Seperti kata ungkapan ‘nan tinggi diparandah, supayo samo jo nan randah, nan randah dipatinggi supayo samo jo nan tinggi’ merupakan etika yang harus dipegang oleh setiap orang palapau. Bagi pengunjung yang selalu bercerita tinggi ruok dari boto atau mangecek sarupo bilalai gajah, bacarito bak katiak ula (berkata tidak tentu arah, bercerita selalu bohong) akan membuat pengunjung lain menjadi jenuh mendengarnya. Kondisi ini menyebabkan lapau menjadi sepi, satu per satu pengunjung akan pergi dengan mengemukakan berbagai alasan. Lapau tempat maota biasanya memiliki karakter tersendiri, seperti menyediakan tempat duduk (balai-balai) yang cukup memadai dan memberi kenyamanan bagi setiap pengunjung. Kenyaman lain dari pemilik lapau adalah tidak ikut atas pro atau kontra dari pembicaraan yang sedang berlangsung di lapaunya. 

Umumnya, lapau tempat maota ramai dikunjungi pada jam-jam tertentu, karena  pengunjung sibuk dengan usahanya masing-masing. Masa aktif lapau tempat maota dibuka setelah shalat subuh dan sampai larut malam, lapau baru ditutup setelah para pengunjung membubarkan diri. Minuman yang akan disajikan di lapau, biasanya pemilik lapau sudah kenal dengan selera setiap pengunjungnya. Sehingga pemilik lapau tidak perlu bertanya tentang jenis minuman yang akan dipesan. Untuk memikat pengunjung, biasanya pemilik lapau menyediakan minuman dan menu kudapan yang berbeda dari lapau lainnya. 

Lapau dalam konteks budaya Minangkabau juga merupakan simbol perekonomian seseorang. Artinya, pengunjung lapau mesti memiliki sumber keuangan untuk membayar belanjanya. Pembayaran dengan uang receh (koin) akan menjadi bahan tawaan dan ejekan dari pengunjung lain. Seloroh yang sering dilontarkan adalah ‘lah bacukia pitih tabuangan ma’ (sudah diambil uang tabungan). Seloroh ini merupakan sindiran kepada seseorang yang menandakan kondisi keuangannya mulai menipis.   

  Sebagai tempat berkumpulnya laki-laki, lapau memiliki beberapa fungsi, antara lain; (1). Sebagai tempat menjalin silaturahmi, (2). Sebagai tempat menyalurkan ide-ide, gagasan-gagasan dan kritikan serta saran dalam pergaulan sosial masyarakat, (3). Sebagai media komunikasi dan berbagi informasi ditengah masyarakat secara langsung, (4).  Sebagai tempat untuk melestarikan nilai-nilai budaya, (5). Sebagai tempat mencari pekerjaan bagi lelaki Minangkabau, khususnya bagi mereka yang bekerja serabutan (Syafnila, 2022; 1). Kemudian, lapau juga berfungsi sebagai tempat permainan, seperti main domino, catur dan kartu.  Selanjutnya, lapau juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial bagi masyarakat bersangkutan. Dalam konteks ini lapau mempunyai kekuatan hukum sosial yang terwujud dalam bentuk pengucilan terhadap pelakunya. Biasanya orang-orang yang telah melakukan pelanggaran sosial di tengah masyarakat akan merasa malu berkunjung ke lapau. Apalagi kalau pelanggaran yang dilakukan berhubungan dengan perbuatan asusila, seperti kekerasan seksual. Maka si pelaku beserta keluarganya enggan berkunjung ke lapau, karena arang lah ta coreng di kaniang (malu yang tidak dapat disembunyikan).  

  Sebagai salah satu khasanah budaya, kehadiran lapau juga tergambar dalam karya-karya sastra yang berlatar budaya Minangkabau. Karena dari sudut pandang teori sosiologi sastra bahwa karya sastra itu diyakini menjadi salah satu dokumen sosial-budaya suatu masyarakat. Oleh karena itu, tidak mengherankan dalam karya sastra unsur budaya menjadi faktor penting dalam proses penceritaan. Dalam karya-karya yang berlatar budaya Minangkabau, lapau sering muncul sebagai tempat berlabuhnya berbagai macam penilaian terhadap tokoh utama dalam cerita. 

Hamka dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Wijck, menyoroti kebiasaan anak-anak muda kampung yang menjadikan lapau sebagai tempat berkumpul. Mereka menghabiskan waktu sorenya di lapau. ‘Gunjing, bisik dan desus, perkataan yang tak berujung pangkal, pun ratalah dan pindah dari satu mulut ke mulut yang lain, jadi pembicaraan dalam kalangan muda-muda yang duduk dipelatar lepau petang hari. Sehingga akhirnya telah menjadi rahasia umum  (Hamka, 2002;49). Dalam kutipan itu, Hamka menjelaskan bahwa kisah percintaan antara Zainuddin dan Hayati sudah menyebar dari mulut ke mulut melalui lapau. Mendengar gunjingan yang telah menjadi buah bibir orang sekampung, mamak Hayati merasa terhina dengan perilaku kemenakannya sehingga kemarahannya semakin memuncak setelah adanya pengakuan dari Zainuddin sendiri. Di samping itu, Hamka juga memberikan sinyal bahwa suatu perkara yang sudah sampai beritanya di lapau sangat sulit untuk ditutup-tutupi, karena lapau didatangi oleh banyak pengunjung yang saling berganti. Oleh karena itu, setiap masalah yang terjadi dalam suatu kaum atau keluarga harus segera diselesaikan agar tidak menjadi konsumsi publik.       

  Sementara itu dalam roman Kemarau, Navis menceritakan bahwa lapau merupakan  tempat pelarian dan menghabiskan waktu sambil bermain domino dan kartu. ‘Dan untuk membunuh rasa putus asa, mereka lebih suka main domino atau main kartu di lepau-lepau (Navis,1992; 1). Kemudian sambil bermain kartu, pengunjung juga menceritakan perangai orang-orang yang selalu menyindir pekerjaan mereka, sementara waktu kebutuhannya berasal dari sedekah masyarakat.  ‘Padahal sedekah kita diterimanya juga. Jadi kita telah memberinya makan untuk menghantam partai kita sendiri,’ kata Lenggang sutan mengeluh entah kepada siapa, disudut lepau. Ia tak ikut main kartu. Hanya duduk mengujur di balai-balai dan bersandar ke dinding (Navis, 1992; 58). Dalam kutipan ini, Navis juga menjelaskan mengenai perilaku penjaga tempat ibadah yang suka mengharapkan pemberian jemaah, tetapi perkataan nya selalu menyinggung perasaan orang lain. 

Sama halnya dengan roman Kemarau, lapau sebagai tempat menyampaikan informasi dan tempat permainan juga ditemukan dalam roman Warisan karya Chairul Harun. Dalam roman ini diceritakan bagaimana sikap pengunjung lapau ketika kedatangan Rafilus anak Bagindo Thahar di Kurai Taji. ‘Di lepau-lepau sambil main domino dan minum kopi ada juga yang memperbincangkan kehadiran Rafilus. Semua berpendapat bahwa Rafilus datang khusus untuk mengurus harta ayahnya. Ia tidak hak punya hak apa pun atas harta ayahnya itu. Kata seorang parewa sambil menghempaskan  domino  (Harun,1979;33). Kedatangan Rafilus di kampung ayahnya ditanggapi dengan berbagai pendapat, namun akhir dari semua pembicaraan di lapau akan bermuara kepada harta pusaka keluarga Bagindo Thahar. Apalagi keluarga Bagindo Thahar termasuk keluarga punah yang memiliki banyak harta warisan. Dalam roman Warisan, Chairul Harun menjelaskan kebiasaan buruk orang-orang kampung yang selalu mencampuri urusan keluarga orang lain, terutama menyangkut persoalan harta warisan. Persoalan yang dikemukakan Chairul Harun bukan lagi menjadi rahasia umum, sebab harta warisan akan memunculkan kerabat-kerabat baru, bahwa mereka juga berhak memperoleh bagian dari harta warisan tersebut. Biasanya pembicaraan ini dimulai dari lapau, segala informasi yang berkembang di lapau akan tersebar cepat kepada orang lain.     

Sebagaimana perkelahian yang terjadi antara kacak dan Midun dalam roman Sengsara membawa Nikmat karya Tulis Sutan Sati, yang cepat tersebar melalui infomasi di lapau-lapau. ‘Tidak lama antaranya, perkelahian  Kacak dengan Midun sudah tersiar keseluruh kampung.  Di lepau-lepau nasi dan pada tiap-tiap rumah orang memperkatakan perkelahian itu saja. Percakapan itu banyak pula yang dilebih-lebihi orang. Yang sejengkal sudah menjadi sehasta. Dari seorang bertambah jua’ (Sutan Sati, 2010; 13).    

Begitu juga isu yang ditujukan kepada Sutan Duano dengan Godam dalam roman Kemarau, yang berawal dari informasi di lapau. ‘Semua seisi lepau itu tertawa terbahak. “Sutan Duano dan Si Gudam maksud mamak? tanya seorang laki-laki seraya menarikkan kain sarungnya lebih tinggi. ‘Mengapa bertanya kalau sudah tahu’  (Navis 1992; 24). Padahal Sutan Duano tidak ada maksud menggoda Godam. Akan tetapi, sampai di lapau berita sudah menjadi lain, bahwa Sutan Duano telah menjalin hubungan cinta dengan Godam. 

Semua tuduhan di lapau terhadap Sutan Duano mulai reda, setelah ia diberitakan akan pergi ke Surabaya menemui istri dan anak-anaknya. Mendengar kabar tentang kesuksesan  keluarga Sutan Duano di Surabaya, maka masyarakat mulai takjub kepadanya. ‘Berita hangat buat kampung itu. Di lepau-lepau, di mesjid-mesjid, dan di rumah ronda, dimana orang orang laki-laki suka berkumpul, serta ditepian mandi perempuan, yang dibicarakan tentang berita itu saja. Mereka samua takjub bahwa Sutan Duano punya anak’ (Navis, 1992; 57). Dalam kutipan itu, kelihatannya Navis memberikan peringatan kepada orang-orang kampung bahwa tidak boleh menilai kehidupan seseorang sebelum memperoleh informasi yang jelas tentang dirinya. Malah setelah memutuskan untuk pergi ke Surabaya. Masyarakat mulai cemas terhadap kepergiannya tersebut, karena Sutan Duano sudah memberikan contoh yang baik dalam kehidupannya. Meskipun di awal-awal pekerjaannya, Sutan Duno menjadi bahan ejekan dan gunjingan disetiap tempat. ‘Laki-laki di lepau, di rumah ronda bahkan dipelataran mesjid juga yang mereka percakapkan Sutan Duano yang mengambil air danau di musim kemarau’ (Navis, 2092; 24). Namun berkat kegigihannya, orang kampung menjadi malu setelah melihat keberhasilan Sutan Duano dalam mengatasi kemarau panjang.  

Namun seiring dengan perjalanan waktu, keberadaan lapau dalam konteks khasanah budaya Minangkabau mulai mengalami kepunahan. Lapau yang dapat bertahan adalah lapau-lapau yang berdiri di tempat permanen serta ada pewarisnya. Sedangkan lapau yang lenyap begitu saja kadangkala dibangun di atas tanah pusaka istri, ketika istrinya meninggal dunia secara otomatis si suami tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan lapaunya. Posisinya sebagai orang datang memaksa ia harus keluar dari lingkungan keluarga istrinya. Falsafah ‘kabau mati kalawan pai’ merupakan tradisi yang tidak dapat dimungkiri oleh urang sumando di Minangkabau.


Tag :#Opini #Didaktika #Lapau #Sastra #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com