HOME EKONOMI INTERNASIONAL

  • Selasa, 24 Juni 2025

Presiden Turki Peringatkan Negara Islam Perihal Perjanjian Sykes-Picot

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan Foto: DW (News)
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan Foto: DW (News)

Jakarta (Minangsatu) - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memperingatkan negara-negara Islam untuk meningkatkan solidaritas dalam melawan Israel dan destabilisasi regional. Ia menyuarakan agar jangan sampai terjadi perjanjian Sykes-Picot baru di Timur Tengah. Apa itu dan bagaimana bahayanya?

"Kami tidak akan membiarkan terbentuknya tatanan Sykes-Picot baru di kawasan kami dengan batas-batas yang dibuat dengan darah," kata Erdogan pada Sidang ke-51 Dewan Menteri Luar Negeri Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Istanbul, Sabtu (21/3/2025), dilansir dari Anadolu Agency, Senin (23/6/2025).

Erdogan merinci, serangan Israel pada warga di Gaza Palestina menewaskan lebih dari 55.000 warga Palestina. 65 persen lebih di antaranya adalah perempuan dan anak-anak, Sedangkan 128.000 lainnya terluka. Ia menambahkan, sebanyak 2 juta warga Gaza menghadapi kondisi yang lebih buruk daripada kamp konsentrasi Nazi selama 21 bulan.

Erdogan menyerukan agar negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI/OIC) bersatu dan Suriah kembali ke OKI untuk mengatasi serangan Israel. Sementara itu, ia menyatakan yakin Iran bisa bertahan melawan serangan yang tengah berlangsung.

Perjanjian Sykes-Picot
Perjanjian Sykes-Picot Mei 1916 adalah konvensi rahasia selama Perang Dunia I antara Inggris Raya dan Prancis dengan persetujuan Kekaisaran Rusia, untuk memecah wilayah Kekaisaran Ottoman.

Dalam perjanjian ini, wilayah yang dikuasai Turki, Suriah, Irak, Lebanon, dan Palestina dibagi-bagi untuk jadi bagian kekuasaan Prancis dan Inggris, dikutip dari History.

Bagi-bagi Wilayah

Perjanjian Sykes-Picot bertujuan untuk mengamankan kepentingan Inggris dan Prancis, dengan jatah untuk Rusia.

Contohnya, Inggris butuh akses aman ke India melalui Terusan Suez dan Teluk Persia. Sedangkan Prancis punya beberapa investasi ekonomi dan hubungan strategis di Suriah, terutama di wilayah Aleppo, dikutip dari Encyclopaedia Britannica.

Dirancang sejak 1915, perjanjian ini salah satunya mengatur Inggris Raya harus memperoleh Mesopotamia selatan, termasuk Baghdad, dan juga pelabuhan-pelabuhan Mediterania di Haifa dan Acre. Sedangkan Palestina, dengan alasan sebagai tempat suci, harus berada di bawah rezim internasional.

Italia kemudian diberitahu soal perjanjian ini pada 1916 usai deklarasi perang dengan Jerman. Inggris Raya dan Prancis menjanjikan Anatolia selatan dan barat daya kepada Italia.

Namun, Italia kemudian ditinggalkan usai kaum nasionalis Turki menang atas Kekaisaran Ottoman. Sedangkan Rusia keluar dari perjanjian karena membelot saat perang.

Inggris semula masih membiarkan pasukan Arab memasuki Suriah pada 1918 dan mendirikan pemerintahan di Damaskus. Namun, pada 1920, Sekutu setuju membagi tanah Arab dan dengan perbatasan modern Irak, Israel dan wilayah Palestina, Yordania , Lebanon, dan Suriah.

Perjanjian Pemecah-belah
Arab kelak tahu perjanjian rahasia ini dan tersinggung karena bertentangan dengan janji-janji yang telah diberikan Inggris. Berdasarkan korespondensi 1915-1916, mereka sudah memperoleh kemerdekaan.

Batas-batas wilayah di perjanjian Sykes-Picot ini tidak resmi dipakai, tapi kelak memecah-belah negara-negara Timur Tengah hingga saat ini.

Penganut Pan-Arabisme menentang pemisahan wilayah yang sebagian besar berpenduduk Arab menjadi negara-negara terpisah. Cara ini dinilai sebagai pemaksaan imperialis.

Perjanjian ini menurut mereka juga membuat orang Kurdi dan Druze jadi minotas dan terkatung-katung di tanahnya sendiri. Perjanjian Sykes-Picot dianggap sebagai janji-janji yang bertentangan dengan janji sebelumnya yang disampaikan Inggris dan Prancis, ke negara-negara Arab.

Sumber: Detik

 


Wartawan : Redaksi
Editor : melatisan

Tag :#Erdogan

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com