- Selasa, 23 September 2025
Requisitoir JPU Kasus Pembunuhan Berencana Tanah Datar: Tuntut Pidana Mati

Requisitoir JPU Kasus Pembunuhan Berencana Tanah Datar: Tuntut Pidana Mati
Oleh : Roni Efendi (Pengajar hukum pidana Fakultas Syariah UIN Mahmud Yunus Batusangkar/ Mahasiswa Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unand)
Kasus pembunuhan berencana di Kabupaten Tanah Datar mendekati babak akhir. Senin, 22 September 2025, ruang sidang Pengadilan Negeri Batusangkar berubah menjadi panggung penantian publik. Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan requisitoir secara terisah terhadap dua terdakwa, Noval Julianto dan Bima Dwi Putra.
Masyarakat masih ingat betul betapa mengerikan peristiwa ini ketika pecah pada Februari lalu, seorang korban gadis remaja dihabisi dengan perencanaan matang, diperlakukan secara keji bahkan setelah nyawanya melayang, disetubuhi oleh terdakwa Noval lalu jasadnya dimasukkan ke karung dan dibuang demi menghapus jejak.
Perbuatan yang bukan saja mengoyak hukum, tetapi juga menampar nurani kemanusiaan. Publik sekarang menunggu jawaban hukum paling tegas kalau bukan pidana mati, lalu hukuman apa yang pantas?
Secara normatif, Pasal 340 KUHP jelas menyebut pembunuhan berencana dapat dijatuhi pidana mati juncto Pasal 55 KUHP tentang penyertaan, perkara a quo konstruksi hukum untuk menjerat Noval sebagai pelaku utama (pleger) dan Bima sebagai turut serta (medepleger) sudah bulat. Fakta persidangan mengungkap adanya mens rea (niat jahat dan kesengajaan) serta actus reus berupa perbuatan nyata yang merenggut nyawa korban. Kesatuan kehendak mereka tidak terbantahkan. Maka, ketika JPU menuntut pidana mati, itu bukanlah ekspresi emosional, melainkan implementasi lurus dari norma hukum yang berlaku.
Di sinilah letak nilai keadilan. Gustav Radbruch pernah mengingatkan bahwa hukum tanpa keadilan hanyalah kekuasaan tanpa moral. Apakah adil jika kejahatan sekotor ini hanya dibalas dengan hukuman penjara 20 tahun? Bagaimana dengan rasa aman masyarakat yang sudah terkoyak? Mari kita jujur: Ini bukan sekadar pelanggaran hukum biasa, ini adalah extraordinary crime dalam delik umum. Maka jawabannya pun harus extraordinary, Pidana mati hadir bukan untuk balas dendam, tapi untuk mengembalikan rasa keadilan yang direbut secara brutal.
Lalu bagaimana dengan kepastian hukum? Jangan salah, tuntutan pidana mati bukanlah amarah yang meledak-ledak. Ini justru wujud kepatuhan pada hukum. Pasal 340 KUHP telah menyediakan pidana mati sebagai opsi. Artinya, penegak hukum memang diberi kewenangan untuk menjatuhkan hukuman itu pada kasus pembunuhan berencana. Jika alat sudah tersedia secara normative, mengapa ragu untuk menggunakannya? Kepastian hukum menghendaki keberanian aparat untuk menegakkan pasal sebagaimana adanya.
Paradigma lain datang dari Utilitarianisme Jeremy Bentham, menurutnya hukum harus memberi the greatest happiness for the greatest number. Pidana mati, betapapun kerasnya, justru memberi kebahagiaan lebih luas karena menjamin rasa aman publik. Hukuman ini bekerja di dua ranah yaitu preventif efek jera dari pidana mati tak main-main. Calon pelaku lain akan berpikir seribu kali sebelum melakukan kebiadaban serupa. Kemudian, represif, hukuman mati menghapus risiko residivis. Bayangkan bila pelaku hanya dihukum 20 tahun, lalu keluar penjara dan mengulang kejahatan yang sama. Apakah masyarakat siap menanggung ancaman itu? Di titik ini, pidana mati bukan hanya hukuman, melainkan perlindungan paling nyata bagi publik.
Tentu, pidana mati tidak sepi dari polemik. Kaum abolisionis menolak keras dengan alasan hak hidup adalah hak asasi yang tidak bisa diganggu gugat. Mereka menilai hukuman mati mengabaikan peluang rehabilitasi bagi pelaku. Di beberapa negara, bahkan ada vonis mati yang kemudian terbukti keliru, sehingga menimbulkan trauma yudisial. Argumen semacam ini patut didengar, karena hak asasi manusia memang pilar penting dalam negara hukum. Namun, saya sekaligus Ahli yang dihadirkan Penuntut Umum di Sidang Pengadilan Negeri Batusangkar berdasarkan Surat Kepala Kejaksaan Negeri Tanah Datar Nomor: B-1392/I.3.17.3/Eoh.2/08/2025 tanggal 04 Agustus 2025 memiliki pendapat berbeda. Hak hidup adalah hak asasi yang bersifat derogable, mari kita balik pertanyaannya: bukankah hak hidup korban lebih utama untuk dihormati? Bukankah keadilan bagi keluarga korban jauh lebih mendesak ketimbang memberi ruang bagi pelaku yang sudah dengan sadar merampas nyawa?
Di sisi lain, kelompok retensionis justru melihat pidana mati sebagai senjata terakhir negara dalam melawan kejahatan paling serius. Negara wajib menunjukkan ketegasan agar hukum tak tampak ompong. Perspektif pragmatis pun sejalan bahwa pidana mati mungkin keras, tetapi kadang memang diperlukan untuk menjaga keteraturan sosial. Dalam konteks Indonesia, di mana angka kekerasan dan kejahatan berat masih tinggi, keberanian negara menjatuhkan pidana mati dalam kasus tertentu dianggap sebagai pesan keras bahwa hukum benar-benar bekerja.
Pertanyaan besar yang patut diajukan adalah apa yang akan terjadi jika negara gagal menjawab kasus-kasus keji semacam ini dengan hukuman yang setimpal? Publik semakin kehilangan kepercayaan terhadap hukum. Rasa frustrasi masyarakat bisa berkembang menjadi factor criminogen serta anggapan bahwa hukum hanya sandiwara, tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Jika itu yang terjadi, bahaya sosial yang muncul jauh lebih besar. Masyarakat bisa memilih jalannya sendiri dalam menuntut keadilan, dan itu jelas berbahaya bagi keberlangsungan negara hukum.
Mari kita tanyakan lagi hal paling mendasar, apakah masyarakat akan merasa aman jika pelaku kejahatan sekejam ini hanya mendekam di penjara? Rasa aman adalah kebutuhan paling mendasar, dan negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjaminnya. Pidana mati, dalam kasus tertentu adalah janji negara bahwa hukum masih punya taring. Jangan biarkan publik berpikir hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Jangan biarkan rasa aman masyarakat dijadikan eksperimen bagi wacana yang tidak pernah selesai.
Oleh sebab itu, tuntutan pidana mati terhadap Noval Julianto dan Bima Dwi Putra dalam kasus pembunuhan berencana di Tanah Datar bukan sekadar soal Pasal dan Ayat dalam KUHP. Ia adalah pernyataan tegas bahwa negara serius menegakkan keadilan yang terkoyak, memastikan kepastian hukum tetap berdiri tegak, dan menjamin kemanfaatan sosial bagi masyarakat luas. Meski pidana mati masih penuh perdebatan namunpada akhirnya memberi manfaat yang lebih luas, menjamin rasa aman, mengurangi potensi kejahatan serupa, dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap hukum.
Lantas, kita mau sampai kapan berdebat? Apakah kita akan terus sibuk berputar-putar dengan teori yang tak berujung, sementara kejahatan luar biasa terjadi di depan mata? Ataukah kita berani bersuara tegas, untuk kejahatan luar biasa, jawabannya memang harus luar biasa dan itu adalah pidana mati. (*)
Tag :#Opini #Pidana Mati
Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News
Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com
-
PEJUANG MUDA: HILIRISASI KOPI UNTUK DONGKRAK EKONOMI
-
GARUDA MUDA, DARI SEMIFINAL BERSEJARAH KE KUALIFIKASI YANG MEMBEKAS LUKA, BUKTI INKONSISTENSI PSSI
-
HMI DAN REPUTASI GLOBAL PERGURUAN TINGGI
-
MELUNCURKAN BUKU ATAU MENUNGGANGI KARYA?
-
MENGENANG BUNG HATTA SANG PROKLAMATOR, PADA PERINGATAN 80 TAHUN INDONESIA MERDEKA
-
REQUISITOIR JPU KASUS PEMBUNUHAN BERENCANA TANAH DATAR: TUNTUT PIDANA MATI
-
PEJUANG MUDA: HILIRISASI KOPI UNTUK DONGKRAK EKONOMI
-
PELATIHAN KETERAMPILAN SOLID HAIRCUT, SULAM DAN PEMBUATAN CREATIVE DIGITAL PORTFOLIO SEBAGAI UPAYA PEMBINAAN YOUNG TALENTPRENEUR PADA KELOMPOK KESETARAAN PAKET C DI NAGARI SUNGAI KAMUNYANG KABUPATEN 5
-
GARUDA MUDA, DARI SEMIFINAL BERSEJARAH KE KUALIFIKASI YANG MEMBEKAS LUKA, BUKTI INKONSISTENSI PSSI
-
HMI DAN REPUTASI GLOBAL PERGURUAN TINGGI