HOME OPINI OPINI

  • Kamis, 21 Agustus 2025

Mengenang Bung Hatta Sang Proklamator, Pada Peringatan 80 Tahun Indonesia Merdeka

DR. Gamawan Fauzi.
DR. Gamawan Fauzi.

Mengenang Bung Hatta Sang Proklamator, Pada Peringatan 80 Tahun Indonesia Merdeka

Oleh: DR. Gamawan Fauzi.

Tanggal 17 Agustus 1945, di Gedung Pegangsaan Timur Jakarta, dikumandangkan Kemerdekaan Indonesia.
Dalam naskah satu halaman tulisan tangan yang berkoreksi itu, tertulis di bawahnya, ‘atas nama Bangsa Indonesia Soekarno – Hatta’. Jika wilayah republik ini bersertifikat seperti tanah hak milik ( SHM ), maka yang mewakili kepemilikan dari 287 juta penduduk negeri ini adalah Soekarno dan Hatta.

Negeri ini luar biasa kaya. Di laut ada ikan, udang, cumi dan semacamnya yang berlimpah dan tak pernah kering untuk ditangkap penduduk negeri. Di darat ada sejumlah sumber daya alam galian mineral yang tak ternilai dan sudah diekploitasi berpuluh tahun lamanya serta menghasilkan uang tak terhitung banyaknya. Ada emas, perak, tembaga, batu bara, nikel, timah, bouksit, crome, minyak dan gas serta banyak lagi lainnya. Semua itu sebagian sudah dinikmati Rakyat Indonesia selama 80 tahun ini, dan sebagian dinikmati bangsa asing melalui kerjasama , dan yang tak kalah penting juga tak sedikit dinikmati segelintir orang kaya, naga-naga, konglomerat, dan pribadi pribadi yang dapat konsesi.

Semua itu tak mungkin diceritakan dan digali berapa banyak uang (cuan/hepeng/pitih/duit) yang dihasilkan hingga membuat sedikit orang jadi sangat sangat kaya dan amat sejahtera, tapi belum untuk seluruh rakyat, sesuai tujuan kemerdekaan seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mensejahterakan seluruh Rakyat Indonesia.

 

Bung Karno dan Bung Hatta. Dua sosok yang amat gigih berjuang dengan ilmu, pikiran, tenaga, dan segenap jiwa raganya hingga berulang-ulang diasingkan, ditawan atau dipenjarakan ingin agar semua rakyatnya sejahtera, cerdas dan hidup dalam damai.


Dua sosok ini, dan dibantu oleh para pejuang bangsa, seolah tak pernah memikirkan dirinya. Sebutlah sosok H. Agus Salim, yang saat menjadi Menteri Luar Negeri masih mengotrak rumah di sebuah gang sempit dan mengatasi closet yang mampet dengan tangannya sendiri. Atau kita bilang nama Muhamad Natsir, yang pergi bersidang dalam urusan negara masih memakai stelan jas yang bertambal atau Tan Malaka ‘Sang Madilog’ yang terus berkelana dari satu daerah ke daerah lain, dan dari suatu negara ke negara lain tanpa uang perjalanan dinas demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Begitu juga para pahlawan lain yang sepi dan tanpa pamrih. Sebagian dari perjuangan itu kemudian ditulis dalam syair-syair yang menggetarkan dan sarat makna perjuangan oleh seorang penyair ternama Chairil Anwar, yang mati dalam usia muda, judulnya 'Dari Karawang dan Bekasi’. Penggalan syair itu membuat bulu saya meremang pada saat saya hadir dalam sebuah acara kenegaraan di Jakarta beberapa tahun lalu.

Dari Karawang dan Bekasi.
Kami yang kini terbaring antara Karawang dan Bekasi ...
tidak bisa teriak Merdeka dan angkat senjata lagi ......
Kami sudah coba apa yang kami bisa,...

Tapi kerja belum selesai....
Kami bicara padamu dalam hening dimalam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami,
Menjaga Bung Karno,
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahril....

Tahun ini 80 tahun kemerdekaan Indonesia diperingati, Gedung-gedung pencakar langit meneguhkan kedudukan metropolitan, lampu hias berpijar menerangi kota, pawai pawai budaya, permainan rakyat menyemaraki peringatan itu.

Di sebuah komunitas kecil sudut kota Jakarta, saya diminta warga menjadi Inspektur upacara. Tak apa, saya pun tampil sebagai bukti kecintaan kepada bangsa ini di usia yang makin senja. Dalam upacara yang singkat dan hikmat itu, saya pun meminta peserta upacara untuk mengheningkan cipta, mengenang jasa jasa para pahlawan yang gugur mendahului kita.

Bacaan saya sebelumnya tentang sejarah kepahlawanan bangsa, mengingatkan kembali akan perjuangan ‘The Founding Fathers’ di tengah syahdunya alunan musik dengan partitur lagu perjuangan, membuat saya hanyut dalam rasa haru yang dalam.

Selepas upacara, saya membaca sebuah artikel tentang Bung Hatta. Konon, di akhir 70-an yang sepi, Bung Hatta duduk di depan meja kayu di rumahnya yang sederhana di Bilangan Jakarta Selatan. Tangan beliau mulai gemetar memegang kertas slip uang pensiunan yang kecil. Jumlahnya sekitar 70 persen hanya untuk membayar listrik. Sisanya amat kecil untuk membayar iuran PDAM, bensin dan kebutuhan lainnya.

Tapi beliau tak menyesal, beliau hanya berfikir bagaimana caranya untuk menutupi semua itu dengan cara yang halal dan sah. Hari-hari beliau memang penuh kesederhanaan. Kadang di meja makan hanya tersedia goreng tempe, sayur asem dan sedikit lauk. Tak jarang beberapa sahabat mengirim makanan buat beliau.

Kabar tentang beratnya kehidupan Sang Proklamator akhirnya sampai ke telinga Gubernur DKI, Ali Sadikin.
Tentu saja Gubernur yang peduli itu langsung memikirkan jalan untuk membantu sang Proklamator. Akhirnya Bung Hatta diangkat sebagai warga Kehormatan Jakarta, maka beban biaya air, listrik dan pajak tanahpun dibebaskan bagi bapak bangsa itu. Bung Hatta pun akhirnya bisa hidup lebih tenang untuk melanjutkan membaca buku yang ribuan banyaknya, karena beliau memang lebih memilih membeli buku dibanding membeli sepasang sepatu.

Renungan saya setelah menjadi Inspektur upacara pun terulang. Saya pun berkontemplasi sendiri. Pikiran saya menjelajahi ruang ruang yang lebih luas tentang Indonesia setelah Bung Hatta memproklamasikan Kemerdekaan ini 80 tahun lalu. Musim pun berubah, tahun berganti, jauh berjalan banyak yang dilihat, lama hidup banyak pula yang dirasakan. Beginikah Indonesia yang Bung Hatta impikan delapan dasawarsa yang lalu ?

Bung tentu senang bahwa di negeri yang merdeka ini sekarang terdapat sejumlah orang yang kaya dan bahkan kaya rasa, memiliki mobil mobil mewah, gedung gedung tinggi yang megah, rumah-rumah yang mewah dan harta melimpah ruah. Semua itu hanya mungkin dicapai akibat kemerdekaan, meskipun belum tentu ayah dan kakek mereka ikut berjuang mendirikan republik ini, karena perjuangan kebangsaan tidaklah berbanding lurus dengan kenikmatan kemerdekaan.

Mereka yang bermandi keringat, air mata dan darah kadang justru hidup susah seperti dialami banyak pejuang kita, seperti Bung Hatta itu.

Dalam suasana peringatan hari hari kemerdekaan ini, seyogyanya segenap elemen bangsa lebih banyak merenung dibanadingkan berjoget, lebih banyak berkontemplasi dibanding bersorak-sorai, dan lebih banyak memikirkan mereka yang tertinggal dalam deru pembangunan setelah kemerdekaan itu memasuki tahun ke delapan puluh.

Bagi yang sudah amat banyak mendapatkan berkah kemerdekaan, saatnya pula memikirkan apa yang bisa diberikan buat saudara saudara nya yang lain yang belum beruntung, bukan justru mengokohkan diri menjadi manusia yang berpaham ‘Serakahnomik’ seperti disindir oleh Presiden Prabowo Subianto belakangan ini.

Saat kemerdekaan di perjuangkan, semua rakyat Indonesia bahu membahu, gotong-royong dan saling membantu melenyapkan cengkeraman penjajah. Spirit semacam itu seyogyanya juga terjadi setelah bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan. Jangan justru yang pintar menipu yang bodoh, yang kaya memperkuda yang miskin dan yang kuat menganiaya yang lemah.

Bung Hatta telah menunaikan tugasnya yang mulia. Beliau sudah istirahat dengan tenang dan damai di alam sana. Beliau telah membuktikan baktinya yang tak terkira buat negeri ini. Beliau, seperti disebutkan oleh Presiden Indonesia kedua Soeharto, saat menyerahkan anugerah Pembangunan Parasamya Purnakarya Nugraha tahun 1982 di Padang. Dari Ranah Minang yang permai ini, telah lahir banyak tokoh tokoh pejuang seperti Syahrir, H. Agus Salim, Natsir. Dan Bung Hatta adalah seorang proklamator, seorang pejuang dan seorang muslim yang tidak pernah cacat.

‘Esa hilang, dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti’, maka bertepatan dengan peringatan delapan dasawarsa kemerdekaan Indonesia, bangsa ini memiliki seorang nahkoda baru. Seorang purnawirawan jenderal ternama yang mengetuai sebuah partai kuat pula. Beliau adalah Prabowo Subianto, seorang yang di mata publik terkesan sebagai seorang ksatria, seorang nasionalis tulen dan pemimpin pemberani, karena lahir dari korps pasukan khusus, pasukan elit negeri ini.

Tapi sejarah tak cukup mencatat riwayat, profil dan citra, sejarah ditoreh diatas karya, pikiran dan perbuatan. Sejarah juga mengajarkan, bahwa kadang kesan ketokohan sebagai sosok yang lugu, sederhana, rendah hati, namun dalam perjalanan waktu berubah menjadi kejam, licik dan penuh tipu daya dan muslihat.

Sejarah tidak pernah ditulis di awal cerita, melainkan di akhir perjalanan waktu. Karena itu pula, tentu bangsa ini akan menunggu dan berharap, lima tahun ke depan, negeri ini akan mencatat dan menorehkan karya dan hasil yang gemilang. Mari kita doakan bersama.

Jakarta, 19 Agustus 2025

DR. Gamawan Fauzi.


Tag :#Opini #Gamawan Fauzi.

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com