HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Sabtu, 11 Maret 2023

MERANTAU DALAM KARYA HAMKA

 Muchlis Awwali
Muchlis Awwali

MERANTAU DALAM KARYA HAMKA

O l e h: Muchlis Awwali*

Etnis Minangkabau dikenal sebagai salah etnis yang suka merantau. Secara historis tradisi merantau sudah mulai dilakukan sebelum datangnya kolonialisme di Minangkabau. Saat itu, merantau dilakukan dengan alasan kurangnya lahan garapan di wilayah darek. Bagi mereka yang tidak memiliki lahan garapan terpaksa mereka mencari lahan atau wilayah baru yang dekat dengan wilayah asalnya. Sebagaimana yang dikatakan Abdullah (dalam Hadler; 2010; xxxviii) bahwa keterbatasan untuk pertanian, maklumlah Sumatera Barat adalah daerah yang berbukit-bukit dan berlembah-lembah dan tarikan wilayah lain yang lebih menjanjikan tentu saja adalah faktor umum yang menyebabkan terjadinya perpindahan. Karena wilayah darek terletak di wilayah pegunungan, maka mereka mencari ke wilayah-wilayah pesisir, misalnya Padang. Karena alasan ini maka Padang menjadi tujuan bagi perantau yang berasal dari Solok, disebabkan jarak antara Solok dan Padang tidak berjauhan. Orang Solok yang merantau ke Padang umumnya berasal dari Selayo, Kinari, Paninggahan, Saning Bakar, Talang, Cupak, Kubung, Muaro Panas, dsbnya. Bagi orang Solok yang berasal dari Alahan Panjang dan Muara Labuh, maka wilayah rantau pantai Baratnya adalah Pesisir Selatan, seperti Bayang, Batang Kapas, Painan, Tarusan, Kambang, Salido, Balai Selasa, Pasar Baru, dsbnya. Meskipun, generasi kedepannya tidak pernah mengunjungi negeri asal nenek moyang mereka, tetapi mereka tetap mengatakan berasal dari Solok.

Menurut Naim (1979; 3) dari sudut pandang sosiologi merantau mengandung enam unsur pokok, yakni (1). meninggalkan kampung halaman. (2). Dengan kemauan sendiri, (3). untuk jangka waktu lama atau tidak, (4). dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman, (5). biasanya dengan maksud kembali pulang, (6) lembaga sosial yang membudaya. Dalam kutipan itu terlihat, bahwa merantau merupakan perpindahan suatu penduduk dari suatu ke tempat lainnya, dengan berbagai tujuan. Namun dalam konteks budaya Minangkabau, jika seseorang sudah keluar dari wilayahnya, maka mereka sudah dapat dikatakan pergi merantau, serta memiliki  adat yang berbeda dari negeri asalnya.  Melalui tradisi merantau muncul gagasan-gagasan baru, karena wilayah rantau merupakan tempat bertemunya berbagai macam etnis yang memiliki pengetahuan berbeda. Di samping itu, tuntutan budaya, letak geografis dan keterbatasan sumber daya alam juga menjadi motivasi untuk pergi merantau.

Begitu membudayanya tradisi merantau dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, maka tidak mengherankan tradisi ini juga terekam ke dalam karya-karya sastra berlatar Minangkabau. Salah satu contoh pengarang yang selalu membawa unsur merantau dalam karya-karyanya adalah Hamka. Adapun karya-karyanya yang mengandung unsur merantau, seperti Sabariah, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau Ke Deli, Di Jemput Mamak, dan Angkatan Baru.     

Dalam roman Sabariah diceritakan bahwa Pulai pergi merantau, disebabkan kesulitan hidup di kampung. Untuk mengubah suratan nasibnya, ia terpaksa pergi merantau. Namun sebelum pergi merantau Pulai menceritakan maksudnya kepada ibu dan istrinya Sabariah. Setelah mendapat izin dari kedua perempuan tersebut, barulah Pulai melanjutkan niatnya untuk pergi merantau. “Pada hari Senin pagi-pagi, berjalanlah Pulai. Sudah tinggal korong dan kampung, sudah tinggal tempat tepian mandi, sudah hilang rupa Sungai Batang. Tidaklah lama dia sampai di ranah Ujung Gunung lalu mencari penghidupan di sana”. (Hamka; 2019: 8). Meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi keberuntungan tetap saja tidak berpihak pada  Pulai. Setelah mendapat berita tentang keluarganya, Pulai memutuskan untuk pulang ke kampungnya menemui ibu dan istrinya Sabariah, karena merasa terhina dengan perlakuan keluarga istrinya. Kemudian, Pulai membunuh istrinya dengan sebilah pisau, setelah menyampaikan pesan terakhirnya Pulai pun bunuh diri. Tindakan Pulai ini merupakan suatu sindiran atau kritikan pada masyarakat Minangkabau yang selalu merendahkan kehidupan menantunya yang miskin.

Dalam roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Pandeka Sutan ayahnya Zainuddin pergi  merantau disebabkan tindakan kriminal pembunuhan yang dilakukan kepada mamaknya, Datuk Mantari Labiah. Ketika Landrad bersidang di Padang Panjang, Pandeka Sutan dihukum 15 tahun. Mula-mula Belanda mengirimnya ke penjara Cilacap, kemudian dikirim lagi ke Makasar. Setelah habis masa hukumannya, ia tidak mau pulang ke kampung halamannya. Padahal Pendeka Sutan merupakan pewaris tunggal harta pusaka keluarganya. Pendeka Sutan, akhirnya memutuskan untuk tetap tinggal di Makasar, kemudian ia menikah dengan Daeng Habibah, ibunya Zainuddin. Sementara itu, Aziz suaminya Hayati bekerja di Padang, kemudian mereka merantau ke Surabaya.  

 Merantau dengan tujuan mencari kehidupan ini, juga digambarkan Hamka dalam karya-karyanya yang lain, seperti roman Merantau ke Deli dan Di Jemput Mamak. Dalam roman Merantau ke Deli, diceritakan Leman memutuskan pergi merantau ke Deli, karena saat itu Deli mengalami perkembangan yang pesat dibidang perkebunan. Pihak swasta maupun pemerintah berlomba-lomba membuka lahan baru. Bagi Leman, pembukaan lahan ini merupakan kesempatan emas untuk berdagang, ia pun berangkat ke Deli. “Di antara pedagang-pedagang yang banyak datang dalam kebun ini adalah anak  muda dari Minangkabau, namanya si Leman” (Hamka, 2017; 6). Jatuhnya pilihan Leman untuk berdagang, disebabkan usaha perdagangan lebih menjanjikan jika dibanding dengan pekerjaan lain. Kenyataannya, dunia dagang memang merupakan pekerjaan yang sangat diminati oleh perantau Minangkabau untuk merubah nasibnya.

Berkat kegigihan serta dukungan modal dari Poniem, usaha Leman mengalami kemajuan.  Keberhasilan Leman dalam berdagang sudah menyebar sampai kampungnya. “Nama Leman telah terdengar ke kampungnya, bahwa ia telah kaya sejak beristri orang Jawa” (Hamka, 2017, 39). Dalam kutipan itu, Hamka menjelaskan kebiasaan orang-orang di kampung selalu mencari informasi tentang para perantaunya. Bagi mereka yang berhasil akan menjadi buah bibir bagi setiap orang. Namun jika gagal, mereka akan bernasib, seperti batu jatuah ka lubuak, kok hilang ndak ado ka mancari, kok hanyuik ndak ado ka maminteh. Nasib ini pernah dialami Leman ketika usahanya belum berkembang, tetapi setelah Leman kaya, kerabatnya makin bertambah. ” Kaum kerabat Leman datanglah keperantauan, seorang demi seorang, yang satu mendakwakan Leman mamaknya. Yang seorang mengatakan Leman adalah saudaranya sepersusuan, yang lain mengatakan bertali darah. Padahal selama ini Leman tak tahu, entah banyak familinya entah tidak” (Hamka, 2017: 40). Begitu juga ketika pulang ke kampung, Leman dan Poniem disambut meriah oleh orang-orang yang mengaku masih kerabatnya. “Bertambah lama halaman itu bertambah ramai. Perempuan-perempaun tua datang mendekati Leman, mencium sekujur tubuhnya, ada yang menangis. Sudah lama kampung engkau tinggal, masih hidup saya engkau dapati, lah besar badan engkau kiranya” (Hamka, 2017: 51). Rupanya Hamka menyindir kebiasaan buruk masyarakat yang bermulut manis ketika berhadapan dengan perantau yang sukses, meskipun sebelumnya mereka tidak saling kenal. Ungkapan, gulo taserak samuik tibo merupakan kebiasaan buruk masyarakat yang selalu berpihak mereka yang kaya.   

Begitu juga dengan Musa, ia memutuskan pergi merantau karena tidak mampu bersaing dengan saudara-saudara istrinya. Sebelum berangkat menuju rantau, Musa meminta keluarga Ramah sudi berkumpul agak sebentar. Pertemuan itu dilaksanakan setelah selesai shalat Isya. “Mereka terkejut lagi setelah mendengar dari mulutku sendiri, bahwa pertemuan malam itu merupakan upaya dariku untuk meminta diri, sebab dua hari lagi akan berangkat bersama istriku, merantau menuju tanah Deli” (Hamka, 2017; 18). Keputusan Musa membawa istrinya pergi merantau sudah bulat, begitu juga dengan Ramah tekadnya untuk mendampingi suaminya hidup di rantau tidak dapat ditawar-tawar lagi. Meskipun akan menumpang biduak tiris pandayuang bilah, tetapi semua itu sudah diperhitungkan Ramah.

            Sementara itu, dalam roman Di Bawah Lindungan Ka’bah. Hamka menjelaskan bahwa kepergian Hamid ke Padang Panjang, bukanlah untuk mencari penghidupan. Akan tetapi, tujuan Hamid meninggal kota Padang karena ingin melanjutkan sekolah, “Saya, tidak berapa bulan setelah tamat sekolah, berangkat ke Padang Panjang, melanjutkan cita-cita ibu saya, karena kedermawaan Engku Ja’far”. (Hamka, 2001; 23). Setelah menyelesaikan sekolahnya di Padang Panjang, Hamid kembali ke Padang. Mak Asiah, ibunya Zainab menyuruh Hamid datang ke rumahnya. Sebenarnya Mak Asiah minta tolong pada Hamid membujuk Zainab mau menikah dengan kemenakan Engku Ja’far. Mendengar, Zainab dijodohkan dengan kemenakan ayahnya membuat Hamid gugup, karena Hamid juga mencintai Zainab.  Namun sebagai orang yang tahu membalas budi, akhirnya Hamid memenuhi permintaan Mak Asiah. Hamid menyampaikan permintaan tersebut, namun Zainab menolak permintaan ibunya, karena ia juga menaruh hati pada Hamid. Hilang sudah harapan Hamid mencintai Zainab.

Untuk mengobat perasaan dan membunuh rasa cinta pada Zainab, Hamid memutuskan pergi dari Padang menuju Mekah “Saya tumpangi oto yang akan berangkat ke Siantar. Setelah saya sampai di Medan.Tiada lama saya di Medan, saya menuju Singapura, mengembara ke Bangko, berlayar terus memasuki tanah-tanah Hindustan, dan dari Karachi berlayar menuju Basrah, masuk ke Irak, melalui Sahara Nejd dan akhirnya sampailah saya ke Tanah Suci” (Hamka, 2001,45-47).

Sama haknya dengan Hamid, Syamsiar dalam roman Angkatan Baru juga pergi merantau untuk menuntut pengetahuan “Sudah dua bulan pulang ke kampung karena persekolannya di Padang telah tamat’ (Hamka, 2016; 1). Lain halnya dengan Hasan, ia pergi merantau karena tidak dapat melanjutkan sekolahnya karena ketiadaan biaya. Meskipun demikian, Hasan mencoba peruntungannya untuk menjadi guru di Aceh. “Dengan membawa sehelai diploma, ditinggalkan kampungnya, ia berangkat menjadi pekerjaan menjadi guru, melalui Tapanuli, sampai ke Medan, terus ke Aceh” (Hamka, 2016; 21). Sama halnya dengan Syamsiar, Hasan memutuskan kembali pulang ke kampung karena gajinya tidak mencukupi untuk biaya hidupnya di perantauan. Tidak berapa lama ia di kampung, Hasan berkenalan dengan Syamsiar. Perkenalan mereka berawal dari sebuah acara keagamaan yang diadakan di kampung Syamsiar. Akhir dari perkenalan itu, Hasan menikahi Syamsiar.

Namun pernikahan mereka tidak berlangsung lama, karena Hasan menceraikan Syamsiar. Berbulan-bulan lamanya Syamsiar menjanda,status itu membuat mamaknya merasa malu. Pada suatu hari datanglah saudagar kaya dari Sumatera Timur yang ingin meminang Syamsiar, meskipun saudagar tesebut sudah punya istri dirantau. Namun atas permintaan ninik mamak lamaran itu, akhirnya diterima, sesudah menikah Syamsiar dibawa pula oleh suami merantau “Syamsiar dipinangnya pula sebab maksudnya akan dibawanya merantau” (Hamka, 2016; 79).          

Sebagai salah seorang pengarang yang berlatar Minangkabau, Hamka memiliki pengetahuan yang luas tentang wilayah rantau. Pengalaman hidup dan banyaknya wilayah rantau yang beliau dikunjungi membuat karya-karyanya kaya dengan dokumen budaya berbagai macam etnis. Sehingga dapat dikatakan bahwa karya-karya Hamka merupakan catatan etnografi pada zamannya. Artinya Hamka tidak bercerita, seperti tukang kaba bercerita tentang rantau.

*Penulis adalah Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand

 


Tag :#Opini #Didaktika #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com