- Selasa, 21 Oktober 2025
Ilusi Kebebasan; Membaca Ulang Ruang Digital Dan Relasi Terselubungnya
Ilusi Kebebasan; Membaca Ulang Ruang Digital dan Relasi Terselubungnya
Oleh: Tri Wahyuni Oktanita
Berdasarkan data Statista, per Februari 2025, Indonesia berada di posisi ketiga di asia pasifik dengan 143 juta pengguna aktif di media sosial. Setiap pengguna internet di Indonesia menghabiskan waktu 7 - 8 jam sehari di ruang digital.
Hal tersebut menggambarkan bagaimana internet beralih dari kebutuhan sekunder menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat. Netizen sebagai pengguna media sosial bukan hanya penonton pasif melainkan pekerja yang tidak digaji dalam industri raksasa ini.
Aktivitas swipe, like dan comment, membuat konten hingga berinteraksi menjadi bentuk kerja yang mendukung platform besar seperti instagram , tiktok, youtube dan x. Meskipun asumsi menempatkan pengguna sebagai objek yang dikendalikan, keberadaan pengguna juga sangat aktif menentukan tingkatan interaksi pengguna yang juga dikenal sebagai engagement.
Di era digitalisasi yang berkembang pesat, ruang tidak lagi sebatas dimensi fisik. Melalui media sosial, forum daring dan platform digital telah menghadirkan ruang baru bagi manusia untuk berinteraksi, belajar dan juga bekerja. Keberadaan ruang digital membawa manfaat bagi kehidupan modern saat ini dan memperluas jangkauan komunikasi da akses informasi tanpa ada batas geografis.
Ruang digital juga dikenali sebagai medium untuk bebas menyampaikan pendapat dan mengekspresikan diri namun dibalik itu semua apakah kita sadar bahwasanya ruang yang seolah olah memberikan kebebasan ini mempunyai relasi ekonomi dan ideologis yang seringkali tak terlihat ?
Pemikiran radikal Dallas W. Smythe tentang industri media juga berpendapat serupa. Bahwasanya pengguna menjadi objek yang dijual dan secara tidak sadar menjadi pekerja dengan cara memberikan engagement untuk sistem kapitalis media. Waktu dan perhatian penguna dengan bermacam motivasi untuk menonton dimonetisasi dalam rantai komodifikasi.
Engagement yang dihasilkan dijual kepada pengiklan yang ingin menargetkan audiens dan kepada perusahaan riset yang membeli data pengguna. Platform besar bertindak sebagai perantara yang memfasilitasi pertukaran ini.
Netizen sebagai pekerja tidak menerima upah secara finansial, namun upah dengan bentuk dopamin yang dihasilkan dalam hiburan yang disuguhkan di ruang digital.
Mengapa kita rela melakukan kerja sukarela ini dan bahkan bisa menghabiskan waktu berjam jam sehari? Situasi ini relevan dengan konsep yang dikemukakan louis althuser bertahun tahun yang lalu perihal interpelasi. Konsep interpelasi althusser sering dikaitkan dengan ideological state aparatuses (isa).
Dalam konteks modern, media digital dapat dilihat sebagai analogi isa, karena ideologi merupakan komponen kunci media yang menjadi bagian dari cara negara dan sistem menjaga agar masyarakat tetap mengikuti nilai nilai kapitalis modern.
Platform media sosial berperan sebagai isa untuk memproduksi ideologi yang bergerak secara halus. Memanggil dan membentuk identitas kita sebagai individu yang unik dan perlu mengekspresikan diri.
Dengan fitur monetisasi, platform memanggil untuk menjadi kreator atau influencer yang dapat membangun branding diri. Ajakan untuk mengunggah foto terbaik terasa lebih personal. Tiktok menghadirkan elemen baru yang diberinama streak dengan tujuan agar pengguna dapat terus menggunakan aplikasi setiap harinya tanpa jeda. Ikon api ini akan terus menerus menyala apabila kedua pengguna berkomunikasi dengan menggunakan pesan komentar maupun reaksi.
Layanan aplikasi ini banyak diminati oleh generasi z, terutama untuk tantangan jaga api. Di kalangan pengguna, hiburan ini menyenangkan. Sebagai alat pengukur kekompakan dalam hubungan.
Sekilas platform digital ini memberikan kesan kebebasan kepada pengguna. Namun kebebasan ini merupakan ilusi semu. Pengguna disuguhkan dengan kesan sudah memilih, namun justru algoritma sudah menentukan berdasarkan data interaksi, preferensi dan kecenderungan emosi.
Kita sebagai pengguna menyerap panggilan ini dan dengan sukarela menjalankan peran sebagai netizen yang aktif berkonten, membagikan dan berinteraksi. Keinginan untuk mengaktualisasikan diri dan merasa memiliki kendali atas kebebasan berekspresi di ruang digital menjadikan kita sebagai pengguna yang menjalankan logika kerja platform digital. Relasi eksploitatif tersamarkan di balik partisipasi, dan ilusi kebebasan.
Meskipun terjebak dalam sistem ini, pengguna bukanlah subjek yang sepenuhnya pasif. Proses komunikasi di ruang digital tidak selalu bersifat satu arah. Stuart hall figur kunci dalam cultural studies menjelaskan proses komunikasi massa memiliki 2 momen yang terpisah. Encoding tugas si produsen membungkus makna ke dalam teks media dan decoding tugas khalayak menginterpretasikan pesan yang disampaikan oleh encoder (pembuat pesan).
Ia juga menekankan bahwa publik tidak selalu menerima makna pesan yang disampaikan sesuai dengan yang diinginkan oleh si pembuat pesan.
Kapitalisme yang dilakukan oleh platform raksasa membuat kita disuapi terus-menerus dengan pesan yang di encode oleh kekuatan dominan. Namun kita sebagai netizen berhak untuk kritis dengan menolak pesan- pesan kekuatan dominan dan mengambil posisi negotiated atau bahkan oposisional sebagai upaya menentang narasi dominan dan memperjuangkan makna yang lebih adil dan setara bagi semua pihak.
Dinamika interpelasi, eksploitasi dan perlawanan yang terjadi di ruang digital tidak terjadi secara terpisah atau kebetulan. Semua itu terjadi akibat sistem global yang besar yaitu neo-imperalisme digital.
Dominasi platform raksasa seperti meta, google dan tiktok berbasis di negara-negara adidaya seperti amerika serikat dan china menciptakan kolonialisme baru. Korporat raksasa ini tidak hanya menguasai infrastruktur global, tetapi juga sebagai perpanjangan tangan logika kapitalis negara asalnya. Mereka bertindak sebagai penguasa ruang digital yang menyewakan lahan kepada miliaran pengguna di seluruh dunia, termasuk 143 juta pengguna Indonesia.
Kerja sukarela yang kita lakukan dan konten yang kita ciptakan tidak hanya menjadi komoditas pengiklan, bahkan lebih dalam lagi dan menjadi sumber daya bagi ekonomi data global.
Data dari penggunaan media digital setiap jamnya seperti preferensi, emosi, jaringan sosial dan perilaku kita disalurkan ke pusat data dan algoritma di negara maju. Data ini dijadikan nilai ekonomi kemudian dihimpun oleh perusahaan asing.
Memperkaya mereka dan memperkuat hegemoni ekonomi dan teknologi mereka. Sementara negara - negara lain seperti Indonesia menjadi ketergantungan struktural. Kita tidak hanya kehilangan nilai ekonomi dari data yang kita punya tetapi juga kendali atas ruang digital tempat kita mengekspresikan diri dan berinteraksi.
Dengan demikian, perlawanan kecil yang dilakukan tidak hanya sekedar perlawanan terhadap koorporasi atau pemerintah, tetapi juga sebagai bentuk pembebasan di ruang digital. Terjadi tarik menarik antara menjadi subjek yang dikendalikan oleh algoritma dengan mempertahankan budaya serta cara berpikir kritis yang mulai tergerus.
Oleh karena itu demokrasi akan sangat bergantung pada bagaimana kita mampu menyeimbangkan dan membangun tata kelola digital yang terbuka bagi semua, tidak hanya tunduk pada logika algoritma dan menghormati keragaman pengetahuan yang hidup di sekitar kita.
(Penulis Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi UNAND - Peneliti NGO Rancak Publik)
Tag :#Ilusi Kebebasan
Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News
Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com
-
DIMANA MUSEUM KOTA BUKITTINGGI?
-
"ANAK DARO" DIKLAIM KOPI KERINCI JAMBI OLEH ROEMAH KOFFIE, POTENSI PENCAPLOKAN BUDAYA MINANG PICU KONTROVERSI
-
FWK MEMBISIKKAN KEBANGSAAN DARI DISKUSI-DISKUSI KECIL
-
VERRY MULYADI DAN 'CHALLENGE' JADI KETUA PSSI SUMATERA BARAT
-
SANKSI BERAT BAGI OLAHRAGA INDONESIA
-
PENERAPAN AKUNTANSI MANAJEMEN PADA FURNITURE BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
-
DIMANA MUSEUM KOTA BUKITTINGGI?
-
"ANAK DARO" DIKLAIM KOPI KERINCI JAMBI OLEH ROEMAH KOFFIE, POTENSI PENCAPLOKAN BUDAYA MINANG PICU KONTROVERSI
-
MEMBUMIKAN KOPI MINANG: DARI SEJARAH 1840 HINGGA GERAKAN MENANAM KAUM
-
FWK MEMBISIKKAN KEBANGSAAN DARI DISKUSI-DISKUSI KECIL