HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Sabtu, 16 Oktober 2021

Filsafat Dan Ilmu Memaklumi

Opini Dinovia Fannil Kher
Opini Dinovia Fannil Kher

Filsafat dan Ilmu Memaklumi

Dinovia Fannil Kher*

 

“Saya lahir dengan pengetahuan bahwa apel itu adalah buah-buahan”, sebuah practical joke yang dilontarkan seorang guru didalam kelas memberikan gambaran bahwa teknologi dengan berbagai bentuk kemudahan dan kecanggihan yang ditawarkan menciptakan gap yang cukup jauh antara generasi terdahulu dan generasi sekarang yang lebih dikenal dengan sebutan Gen-Z. Generasi yang ‘lahir’ dengan pengetahuan mengenai IT dan seolah-olah tanpa perlu diperkenalkan, memiliki kemahiran, menyatu dengan alami dan sangat mumpuni dalam mengoperasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan gadgets, mobile phones, koneksi internet, berselancar didunia maya, mahir menggunakan berbagai urban terms sehingga dunia tidak hanya moving forward tetapi juga moving fast forward.

 

Perbedaan yang cukup signifikan ini seringkali menimbulkan kesalahpahaman antara dua generasi yang berlatar belakang yang berbeda. Aspek kehidupan yang berbeda dengan tolak ukur yang juga telah bergeser terkadang memberikan percikan antar generasi. Sering ditemukan, millenials, gen-z dan gen-alpha tidak lagi berada pada titik temu yang sama. Isu paling nyata yang dapat dilihat salah satunya adalah tata krama berbahasa.

 

Generasi setelah era 2000an memiliki model berbahasa yang terbilang cukup bertolak belakang dengan model berbahasa generasi pendahulunya. Urban dictionary menjadi sangat populer sehingga hal-hal yang dulunya mungkin di anggap ‘tidak pantas’ sudah seolah-olah menjadi sesuatu yang wajar dan diperbolehkan. Tidak jarang, generasi pendahulu melontarkan keluhan atau sekedar ketidaksukaan terhadap model komunikasi ‘anak sekarang’ yang dianggap sering di cap ‘tidak beretika’. Disisi lain, milenials, dan generasi setelahnya, menganggap ‘sosok tua’ sebagai figur ketinggalan zaman yang tidak mampu bersaing dengan percepatan era.

 

Tidak berlebihan rasanya jika disebutkan bahwa ‘anak-anak sekarang’ seolah-olah tidak memiliki lagi kepekaan dalam berinteraksi dengan orang yang lebih tua. Tidak tanggung-tanggung, orang tua cenderung dianggap sebagai faktor penghambat sehingga sering sekali generasi muda tidak bersedia ‘membimbing’ orang tua dalam keterbatasannya memahami teknologi dan cenderung tidak bijaksana dalam menyikapi.

 

Jelas, bagaimanapun juga, generasi pendahulu adalah aktor utama yang harus memainkan peran dalam mengarahkan gerak riak hidup generasi sekarang yang terkadang seolah-olah kehilangan filter sehingga apapun menjadi hal yang mempengaruhi. Akan tetapi, menjadi bijak dalam bertindak tentu saja syarat wajib sebelum menjatuhkan judgment pada tingkah laku yang di cap ‘tidak baik atau tidak lagi menghormati’. Dalam hal ini diperlukan ‘ilmu memaklumi’.

 

Salah satu rumpun ilmu tertua adalah filsafat. Secara sederhana, filsafat yang sering berada pada wilayah abu-abu karena jumlah pendukung dan penentangnya bisa dikatakan imbang, merupakan dasar dari segala ilmu yang bermula dari naluri alami manusia untuk mempertanyakan segala sesuatu. Pernah disebutkan bahwa filsafat adalah science that breeds knowledge, atau ilmu yang melahirkan pengetahuan. Ketika manusia mempertanyakan tentang keberadaan alam semesta, disitulah ilmu mengenai tata surya, fisika bermula. Ketika manusia mempertanyakan bagaimana cara mengatur negara yang baik, disitulah muncul ilmu ketata negaraan. Ketika seorang filsuf bernama Ibnu Sina mempertanyakan hal-hal medis, ia melahirkan ilmu kedokteran. Singkatnya, pengetahuan yang dinikmati pada saat sekarang ini berawal dari filsafat yang mempertanyakan segala sesuatunya.

 

Apakah yang diajarkan filsafat dan bagaimana ini bisa berhubungan dengan menyikapi jurang antara generasi dulu dan sekarang? Salah satu cabang kajian filsafat disebutkan adalah epistemologi. Dikatakan bahwa, orang-orang yang memiliki pola pikir epistemic cenderung tidak berorientasi hasil akan tetapi menelisik proses yang dilalui sehingga sebuah hasil diperoleh. Singkatnya, filsafat mengajarkan manusia untuk memikirkan sebab sebelum memberikan judgment terhadap akibat yang sudah ada.

 

Tidak berlebihan rasanya, jika dikatakan bahwa filsafat merupakan salah satu cabang ilmu yang penting, karena disinilah sisi-sisi kemanusiawian di asah dan dipertajam untuk menjadi manusia yang lebih peka dan tidak tergesa-gesa dalam membuat keputusan. Memang benar, anak-anak zaman sekarang adalah sosok-sosok yang sama sekali berbeda, yang terkesan ‘bebas’ dan menyerap segala bentuk budaya. Tidak sedikit yang melihat mereka sebagai sosok hedon dan materialistis, cenderung menggunakan bahasa yang ‘kasar’, dan seringkali dianggap sangat berorientasi kepada duniawi. Sebagaimana tadi dijelaskan sebelumnya, filsafat adalah ilmu yang memandang ‘proses’ sebelum menjatuhkan penilaian terhadap ‘hasil’. Jika hasil yang kita peroleh sekarang adalah anak-anak yang mengalami erosi nilai, pertanyaannya adalah proses apakah yang telah mereka lalui? Apa saja yang mereka temui? Apa yang mereka ikuti? Mereka baca? Mereka lihat? Mereka dengar? Pendidikan seperti apa yang mereka peroleh? Dan bagaimana sosok-sosok ‘tua’ menjadi steering comittee dalam mereka berkegiatan? Jika jawaban yang diperoleh atas jawaban-jawaban sebelumnya ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka maklum saja, gen-z dan gen-alpha sedang tumbuh dan berkembang berdasarkan standar kebenaran mereka yang jelas-jelas banyak bertolak belakang dengan apa yang sudah dipercayai dari dulunya.

 

Generasi sekarang tidak akan mampu memaklumi keterlambatan generasi tua apabila sisi soft skill nya tidak pernah diasah, tidak pernah diajari, tidak pernah ditunjukkan, tidak pernah diberikan contoh. Jika seorang guru berkomentar bahwa salah seorang siswanya tidak ‘sopan’ dalam mengirimi pesan singkat, dan kemudian khalayak ramai mengeluhkan dan buru-buru memberikan penilaian yang terkadang bersifat sangat menghakimi, semestinya, pertanyaan pertama yang di lontarkan adalah ‘sudahkah si siswa di ajari cara berkirim pesan singkat kepada yang lebih tua?, sudahkah ia diarahkan secara gamblang?”, anak-anak baru akan mampu memahami konsep abstrak ketika ia sudah dewasa, ketika ia berada pada usia sekolah, ia hanya akan memahami hal-hal yang sifatnya nyata, karena itu contoh asli itu perlu.

 

Pada sebuah survery sederhana yang dilakukan, ditemukan bahwa penggunaan urban terms dan istilah-istilah baru yang dianggap tabu bagi generasi sebelumnya tidak di ‘rasakan’ sama oleh generasi sekarang. Maka maklum saja jika standar ‘sopan’ tidak lagi sama. Apa yang dianggap tidak sopan oleh seorang sosok tua, dianggap biasa oleh anak-anak zaman now.

 

Sekarang, tugas besarnya adalah, jika memang banyak yang merasa bahwa anak-anak di era menuju 5.0 telah kehilangan norma, nilai dan bahkan moral yang mestinya masih tetap dijunjung, temukanlah apa yang menjadikan mereka begitu. Pahami prosesnya, ganti faktor penentunya. Lucu sekali bagaimana kuatnya doa ibu-bapak menginginkan anak-anaknya untuk menjadi sosok shalih dan shaliha tapi anak-anak tidak pernah di expose dan diperkenalkan secara mendalam dengan agamanya, tidak penah di ajak ke surau, tidak pernah diajar mengaji, shalat bukanlah suatu kewajiban. Aneh sekali jika para orangtua berharap anak-anaknya bertutur lemah lembut, tapi pada saat yang sama dibersarkan dengan teriakan dan hardikan. Berlebihan jika orangtua berharap anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi bijaksana, akan tetapi mereka tidak pernah dirangkul untuk berbagi cerita dan keluhan dan memposisikan diri sebagai pendengar yang baik serta memaklumi rumitnya proses mencari identitas. Bagaimanapun juga, orang tua tetap bertanggung jawab dalam proses pembentukan generasi muda. Jika semua tetap menginginkan generasi cerdas yang tidak melupakan sisi-sisi manusiawi dan kepekaan berorientasi kepada kebaikan dan berkarakter relijius, tidak peduli seberapa canggih teknologi dimasa mendatang, menerapkan apa yang telah diajarkan filsafat kepada kita semua bisa jadi adalah sebuah solusi yang menjanjikan.

*Dosen Pendidikan Bahasa Inggris dan Mahasiswa S3 IKB FBS UNP


Tag :#Opini #Didaktika #Dinovia Fannil Kher

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com