HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Sabtu, 31 Desember 2022

Balada Negeri Pujangga

Balada Negeri Pujangga
Balada Negeri Pujangga

BALADA NEGERI PUJANGGA[1]

Oleh Hasanuddin Tan Patih[2]

 

Tatkala semesta dicipta dengan satu kata

Alam pun terbentang tujuh petala

Titah jatuh khalifah bertahta

Dan kita pun berguru kepada alam raya

Begitu fatwa ninik-ninik kita

 

Alam raya ...

Inikah tanda?

Begitu Ibrahim bertanya dan terus ke generasi pujangga 

Begitu tanda-tanda berangkai dipandu wahyu Sang Pemiliknya

Kukuh sudah sandi buek kita, adat basandi syarak, budaya yang berketuhanan bukan sebaliknya

 

Ninik kita …

Sungguh mereka sang Pujangga

Menata hidup dengan periksa rasa dan kata

Bukan mahir bermain kata tapi arif membangun bijaksana

Begitu kata kaya makna kita terima

 

Begitu samudera terbentang dan layar pun terkembang

Tak seinci pun ranah yang tak terjelang

Dijemput syarak lalu dikembang sampai ke seberang

Terus membenah penjajah pun dihadang

Republik multikuktur ini pun dikarang dalam perang

 

Tapi memang.

Para cerdik cendikia banyak yang bilang

Demokrasi sofistikasi itu hanya ada di Minang

Negeri pujangga rahimnya memang

Pendiri bangsa hitunglah sekarang

 

Sebutlah Hatta, Sjahrir, Tan Malaka

Belum lagi Yamin, Agus Salim, Hamka dan banyak lainnya

Mereka tidak sekadar teriak merdeka

Merusuk menjeriau mempersatukan bangsa

Meletak pondasi beralas filosofi bhinneka tunggal ika

 

Jangan lupa pula pada para pewaris Bundo

Sebutlah Rahmah el Yunusiyah dan Siti Manggopoh

Rohana Kuddus juga Rasuna Said dan barisan Sabai nan Aluih

Mereka tidak sekadar berdendang berkesah-keluh

Melainkan memanggul senjata atau memainkan mata pena

 

Tapi apa daya, begitu merdeka kue dibagi di pusat kuasa

Kritik Hatta prihal “Demokrasi Kita” dalam goresan pena

Menghantar penerbitnya Hamka ke penjara

Puncak kritik memuara protes mewujud dalam PRRI-Permesta

Akhirnya ditumpas keras penguasa sesama anak bangsa

 

Ini sebuah tragedi dan ironi yang sesunguhnya ...

Darah bersimbah menghantar pujangga meregang nyawa

Sisanya berduyun eksodus tua muda membentuk diaspora

Sembunyi dan tutupi jati diri sehingga tak dikenal mereka siapa

Merundukkan kepala dan menyamarkan nama menjadi niscaya

 

Hari bertukar musim pun berganti

Berkali air gedang cukup menguras air mata dan menyayat hati

Orde patah tunas baru pun tumbuh mengganti

Namun, fakta negeri Pujangga ketinggalan kereta tak bisa diingkari

Mengapa tidak, itu dua tiga dasawarsa atau segenerasi

 

Era silih berganti tetapi rantai terpaut di kaki

Kepala ditegak berdiri palu pun sudah menanti

Bak lurah tak berbatu dan bukit pun tak bertepi

Katanya, pewaris Pujangga tak pandai lagi berdemokrasi

Bahkan sebagian kotanya dicap paling intoleransi

 

Wahai ....

Mana generasi negeri yang agung?

Mana pewaris diplomat yang ulung?

Mana penerus sejati Bundo Kandung?

Kan kalian biarkankah negeri ini terus dirundung?

 

Hei ...

Ayo bersuara dengan karya

Ini negeri para Pujangga

Ini negeri Bapak Pendiri Bangsa

Juga bagi para pendiam, tetaplah bergerak dalam diam

Goreskan pena gelorakan kebangkitan tuliskan gagasan dengan kalam

 

Balimbiang, Oktober 2022

 

[1] Puisi ini ada dalam buku Minangkabau Dalam Batin Penyair, Satu Pena Sumbar, 2022; dibacakan pertama kali oleh Refdinal Muzan, Penyair dan Guru Hebat dari Agam, https://youtu.be/RX6Cr48Ue8Q

[2] Penulis adalah Doktor Kajian Budaya dan Sastra Minangkabau, Universitas Andalas.


Tag :#Hasanuddin#TanPatih#Pujangga#Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com