HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Jumat, 10 Maret 2023

Tuturan Makian Dalam Bahasa Minangkabau

OPini Diah Noverita
OPini Diah Noverita

Tuturan Makian dalam Bahasa Minangkabau

Oleh: Dr.Diah Noverita, M.Hum*

 

Makian adalah salah satu cara berbahasa yang berkonotasi yang dimiliki oleh setiap penutur bahasa. Setiap penutur bahasa untuk mengungkapkan uneg-uneg yang acap kali membuat tidak nyaman di dalam hati, biasanya menggunakan berbagai kata makian. Memaki adalah sebuah aktivitas linguistik yang melibatkan kata-kata tabu (Stapleton dalam Vingerhoes et.al. 2013: 288); Rosidin (2010: 5) mengatakan makian atau kata-kata kotor digunakan untuk mencaci-maki, mengatai-ngatai, menjelek-jelekkan, menghujat dan sebagainya. Kata-kata makian dapat berbentuk kata-kata kasar, sindiran halus, dan adakalanya disertai tindakan atau bentrokan fisik. Kata-kata makian ini akan muncul dari mulut seseorang, apabila orang itu merasa disakiti, dikecewakan, ditipu mentah-mentah dan adakalanya karena tidak menepati janji yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Fungsi makian ini bagi orang yang mengucapkannya sebagai ekspresi untuk melepaskan ketegangan dari segala situasi yang memberatkan hati dan pikirannya. Biasanya, setelah memaki individu itu akan merasa lega dan puas karena kejengkelannya telah tertumpah kepada orang yang dimakinya itu. Orang yang memaki akan merasa menang, kalau orang yang dimakinya itu kalah. Artinya, orang yang dimakinya tidak lagi membalas atau menjawab kata-kata makian yang dilontarkan dan akan menjauh dari orang yang dimakinya. Bagi orang yang terkena makian, ucapan itu dapat dimaknai sebagai bentuk perlawanan. Kadangkala makian yang diiringi dengan bentrokan fisik dapat terjadi lagi di hari berikutnya atau dilakukan di tempat lain. Fungsi makian lainnya bisa jadi sebagai bentuk kerinduan, perkenalan di komunitas baru, bentuk penolakan dengan seseorang, dll

Ahli sosiologi Donna Eder dan ahli sosiolinguistik Kristin Hasund (Tannen, 2002: 184-187) mengungkapkan bahwa pemakaian kata-kata makian, hinaan, ejekan, dan tuturan sejenisnya di antara wanita-wanita kelas pekerja atau di bawahnya sangat lazim. Penggunaannya sebagai simbol keakraban. Kata-kata makian mempunyai kedudukan yang sentral secara verbal di dalam komunikasi sebagai salah satu sarana untuk menjalankan fungsi emotif bahasa (Wijana, 1996). Ranah makian ini bisa saja ditemui dalam lingkungan sosial, hubungan bisnis, arisan, politik, pertemanan, antar saudara dan keluarga, dan hubungan percintaan.

Sekilas kalau kita mengamati kondisi politik dan sosial budaya masyarakat Indonesia sekarang ini harusnya kita malu, karena sebagian masyarakat Indonesia naluri arogannya menyampaikan aspirasinya sangat kuat. Hal ini dapat kita lihat sehari-hari di kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Dikalangan intelek seperti dewan perwakilan rakyat juga saling memaki antar sesamanya  di dalam sidang. Mahasiswa menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah juga dengan cara memaki melalui demo-demo yang dilakukan dan slogan-slogan kasar yang tidak terhormat.

Setiap masyarakat bahasa, tentu mempunyai cara masing-masing untuk mengekpresikan kebencian dan ketidaksukaannya terhadap seseorang dan situasi yang sedang dihadapinya. Di beberapa daerah bahasa makian memiliki beragam bentuk kata, seperti di etnis Jawa,  disebut acu ‘anjing’, ada juga penyebutan kata tetekmu, matamu mana?,  sontoloyo, dll. Masyarakat Minangkabau misalnya, mempunyai cara tertentu untuk memaki seseorang. Situasi pemakaian bahasa Minangkabau yang lebih bersifat informal sangat memungkinkan banyaknya muncul kata-kata makian. Masyarakat Minangkabau sering mengaitkan kata-kata makian dengan nama orang tua, panggilan jelek, unsur seks, anggota tubuh, sistem kepercayaan, nama hewan, unsur kematian, dan ungkapan-ungkapan tabu yang bersifat mistik.

Untuk mengetahui makian dalam bahasa Minangkabau, perlu memahami budaya dan sikap masyarakat Minangkabau yang secara tidak langsung memperlihatkan tingkat intelektual, lingkungan pergaulan, tekanan ekonomi, tuntutan pekerjaan, dan kondisi psikologis. Kata-kata makian sering diungkapkan oleh seseorang atau sekelompok orang yang berlatarbelakang pendidikan budi pekerti yang tidak kuat dan dari lingkungan keluarga yang tidak harmonis. Tidak adanya suasana dan lingkungan yang kondusif, memicu seseorang atau sekelompok orang untuk bertutur dengan cara-cara yang tidak pantas. Tuturan yang tidak pantas atau tidak etis disebabkan karena tuntutan hidup yang tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan. Situasi yang tidak nyaman orang akan cepat naik darah, memaki sesukanya dan kalau perlu mengamuk lalu pergi begitu saja.

Bahasa makian secara kebahasaan dalam ranah bahasa Minangkabau dapat diklasifikasikan atas beberapa kategori. Bahasa makian ada yang berbentuk kata-kata spontan, langsung, makian yang santai tetapi pedas pilihan katanya, makian yang diselingi gelak tawa, makian yang berbentuk kata-kata kasar, makian yang berbentuk kata-kata yang cenderung dihaluskan, makian yang berbentuk satu kata, makian yang menggunakan kata-kata halus yang diselingi dengan ungkapan, sindiran, dll. Makian dengan menggunakan kata-kata kasar, biasanya sering diucapkan oleh penutur bahasa yang tingkat pendidikannya relatif rendah. Lazimnya penutur kata-kata kasar ini sering ditemui di terminal bis, di kalangan preman pasar, kelompok pedagang kaki lima, anak-anak putus sekolah yang berkeliaran di pinggir jalanan,  dan orang-orang yang sedang sres berat. Ciri-ciri kata-kata kasar yang mereka ucapkan adalah tuturan langsung tanpa basa-basi, menggunakan intonasi keras dan tinggi, lafal yang cepat, pilihan kata yang negatif, dan sangat ekspresif. Ekspresi orang yang memaki sangat agresif, dengan wajah yang beringas berteriak-teriak, dan melakukan bentrokan fisik, seperti memukul, menendang, menjambak rambut dan bisa saja mengejar orang yang dimaki sambil membawa senjata tajam. Biasanya orang yang memaki lupa kalau kata-kata kasar yang diucapkannya itu berefek negatif terhadap dirinya sendiri maupun kepada orang yang telah dimakinya. Kata-kata kasar yang diucapkan oleh orang yang memaki akan meninggalkan bekas luka di hati orang yang dihina, dan biasanya sulit untuk dilupakan, seperti ungkapan mulutmu harimaumu, mulutmu dapat menjadi pisau atau gula.  

Pada masyarakat Minangkabau, sosok hewan sering dijadikan bahan makian yang paling pas untuk melampiaskan kemarahan kepada seseorang. Aktivitas fisik ketika memaki biasanya suara yang keras, nada tinggi, membanting pintu, atau barang/benda, mata yang melotot, dll. Bentuk kemarahan yang menyamakan orang yang dihina dengan sejenis hewan merupakan perwujudan puncak kemarahan yang tidak terkontrol lagi. Biasanya jenis hewan yang sering disederajatkan dengan orang yang dimaki adalah hewan mamalia yang buas dan dianggap menjijikkan, seperti anjiang ’anjing’, kondiak ’babi’, buayo darek ’buaya darat’, kuciang aia ’kucing air’, kapuyuak ’kecoa’. Anjiang ’anjing’ dan kondiak ’babi’ terlontar dari mulut orang yang memaki, karena rasa jijik dan muak terhadap tingkah laku seseorang yang tidak baik. Standar penilaian prilaku yang tidak baik biasanya seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak senonoh, tidak beradab, dan tidak memperhatikan rambu-rambu kesopanan. Perbuatan yang tidak senonoh itu sama persis halnya seperti perilaku seekor anjing. Jenis hewan seperti buayo darek ’buaya darat’ dan kuciang aia ’kucing air’ dianalogikan dalam hubungan percintaan terhadap laki-laki yang sering dicap playboy, yaitu laki-laki yang suka mempermainkan perempuan. Dikalangan perempuan, sering juga terdengar perilaku yang tidak baik, diungkapkan dengan ayam kampus, lonte, jangak, sampalah masyarakaik. Simbol-simbol hewan untuk mengungkapkan kata makian kasar dianggap sebagai manusia yang berstrata paling rendah, hina, jelek, kotor dan tidak menggunakan akal sebelum bertindak. Penggunaan simbol-simbol hewan ini bertujuan untuk menurunkan derajat orang yang dimakinya atau orang yang dibencinya itu dengan menyamakan derajatnya dengan hewan.

Bahasa makian yang cenderung dihaluskan biasanya diucapkan dalam suasana emosi yang masih terkontrol. Individu masih menyadari akibat buruk dari ucapan kasar yang diucapkannya kepada orang yang dimakinya itu. Biasanya kata-kata makian yang diucapkan tidak terlalu kasar, hanya berupa sindiran halus. Sindiran halus diucapkan masih dengan mimik muka yang manis, intonasi suara yang datar, dan tidak agresif, dan biasanya dalam bentuk pertanyaan (cimeeh) . Misalnya, makian dengan maksud terbalik, seperti tuturan berikut ini:” Ndeehh, baru tibo jam sagiko?? Lah barangik den tagak disiko dari tadi”!  “Bisuak ulang liak yo! “Waduuuh, baru datang sekarang? Sudah digigit nyamuk saya berdiri di sini dari tadi”!”Besok ulang lagi ya”!

Ada juga tuturan makian kasar dengan teriakan di pasar dalam transaksi jual beli tawar menawar harga barang. Biasanya penjual merasa kesal dengan pembeli yang terlalu cerewet menawar harga sembako serendah-rendahnya, sehingga keluarlah kata-kata makian seperti ini: “Lah malaleh tapak kaki den manjojo, kau ago juo lai!!! Sudah melepuh telapak kaki saya berjualan, kamu tawar juga lagi!!. Makian yang berteriak ini tidak perlu dibalas dan hanya perlu meninggalkan tempat jualan tersebut, supaya tidak terjadi pertengkaran mulut antara penjual dan pembeli. Begitulah beberapa ragam bahasa makian bahasa Minangkabau yang ada disekitar kita, dan perlu kita memahami pantas atau tidak pantasnya untuk berada di posisi ini, yang justru dapat berdampak “sumbang salah” dalam pergaulan hidup sehari-hari.

*Dosen Sastra Minangkabau FIB Unand


Tag :#Opini #Didaktika #Diah Noverita #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com