HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Jumat, 27 Oktober 2023

TAIMPIK NAK DIATEH, TAKURUANG NAK DI LUA

Lindawati
Lindawati

TAIMPIK NAK DIATEH, TAKURUANG NAK DI LUA

  Negatif atau Positif

Oleh Lindawati

 

Orang di luar Minang bahkan juga ada orang Minang yang mengunakan ungkapan Taimpik nak di ateh, takuruang nak di lua ‘Terhimpit hendak di atas, terkurung hendak diluar.’ untuk menyatakan sifat orang Minang yang negatif. Peribahasa ini dipahami sebagai  peribahasa yang  menyatakan sifat curang, tidak sportif atau licik. Peribahasa ini dipakai untuk menyatakan sifat dan sikap orang yang tidak ikhlas menerima keadaan tertekan, terkalahkan, dan serba kekurangan. Mereka dengan usaha yang tidak fair berusaha membalikkan keadaan sehingga menjadi berada pada posisi atas (pemenang atau penguasa). Apakah memang selalu begitu makna peribahasa ini?

Struktur sintaksis peribahasa Minangkabau beragam-ragam bentuknya. Salah satu nya berstruktur anomali. Peribahasa Taimpik nak di ateh, takuruang nak di lua.‘Terhimpit hendak di atas, terkurung hendak diluar.’ termasuk kedalam kategori peribahasa yang anomali. Peribahasa itu dikatakan anomali karena pada peribahasa itu ditemukan pelanggaran terhadap keselarasan kategori atau makna elemen pembentuknya. Konstruksi dasar yang berstruktur taimpik diateh, takuruang dilua, jika dipahami sebagai pernyataan mengenai hubungan antara suatu benda dengan tempat, maka terlihat adanya kejanggalan. Kalau sesuatu yang terhimpit tidak mungkin berada di atas dan sesuatu yang terkurung tidak mungkin berada di luar.           

Dalam bentuk dasar itu, peribahas di atas bermakna orang akan tersiksa jika berada di luar atau di atas aturan yang berlaku dalam masyarakat. Jika sesorang tidak patuh atau tidak mentaati  aturan yang sudah disepakati sebagai pedoman tindak dalam masyarakat, maka orang itu akan merasakan akibat negatif yaitunya merasa tersiksa, tidak bebas, dan setidaknya malu.

Sebagai contoh dalam masyarakat, pada sebuah gang disepakati untuk goro bersama membersihkan jalam sepanjang gang itu. Jika salah seorang anggota gang itu tidak ikut bergoro sesuai dengan kesepakatan, dia akan tersiksa dan pasti merasa malu. Akibatnya, setidaknya selama orang bergoro dia tidak berani keluar. Normalnya, orang secara sosial akan tersiksa jika keluar atau membangkang dari aturan yang ada.

Dalam bentuk turunan, peribahasa itu dituturkan sebagai Taimpik nak di ateh, takuruang nak di lua ‘Terhimpit hendak di atas, terkurung hendak di luar’. Orang sering memaknai peribahasa itu secara negatif. Sesungguhnya, peribahasa Taimpik nak di ateh, takuruang nak di lua ‘Terhimpit hendak di atas, terkurung hendak di luar’ tetap bermakna positif. Peribahasa ini mengajarkan tentang semangat juang atau keoptimisan.  Seseorang, keluarga, masyarkat, dan bahkan sebuah bangsa harus berjuang untuk keluar dari keterhimpitan dan keterkurungan dalam berbagai hal. Orang yang miskin harus punya harapan, berusaha dan berupaya, dan  berkeyakinan bisa ‘kaya’. Orang bodoh harus  rajin belajar dan punya keyakinan bisa pintar.  Pokoknya,  peribahasa ini berisi ajaran agar setiap orang punya semangat dan keyakinan dapat mengupayakan dirinya keluar dari segala tekanan dan kurungan. Orang  tidak boleh meyakini adanya kehinaan dan  kemiskinan turunan atau bawaan. Ajaran ini bersumber dari ajaran Islam yang dinyatakan alquran. Dalam salah satu ayat alquran dinyatakan bahwa “ Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan satu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri (Surat Ar-ra’d: Surat ke 13 Ayat ke 11).  Dari ayat itu dapat ditangkap bahwa manusia dapat mengupayakan perubahan nasibnya. Inilah dasar utama yang membuat orang Minang punya keoptimisan dapat mengupayakan segala sesuatu untuk menjadi lebih baik di masa depan dalam segala hal. Hamka menegaskan pula bahwa adalah hak setiap orang untuk mencapai kemuliaan (Hamka dalam bukunya Lembaga Hidup: 22/23). Dalam mencapai atau mencari tempat yang lebih baik itu juga ada panduannya, harus mengikuti prosedur yang benar. Upaya tidak boleh dilakukan secara sembarangan (asal  seruduk, asal mbat, menghalallkan segala cara). Bagaimana cara yang bermartabat dalam memperoleh semua yang diinginka itu juga dinukilkan dalam peribahasa Minangkabau. Peribahasa itu berbunyi: Nak pandai rajin baguru, nak kayo kuek mancari, nak mulie batabua urai ‘Supaya pintar rajin belajar, supaya kaya rajin bekerja, supaya mulia bermurah hati.   

 


Tag :#Opini #Didaktika #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com