HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Rabu, 3 Mei 2023

SUNTIANG: PENANDA IDENTITAS PEREMPUAN MINANGKABAU

Opini Suntiang
Opini Suntiang

SUNTIANG:

PENANDA IDENTITAS PEREMPUAN MINANGKABAU

 Tienn Immerry*

 

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memengaruhi gaya hidup banyak orang, termasuk masyarakat Minangkabau. Keinginan untuk dapat melakukan suatu hal dengan alasan lebih praktis dan tidak merepotkan berdampak pada beberapa fenomena dalam pakaian adat Minangkabau, tidak terkecuali fenomena terhadap suntiang. Suntiang adalah tutup kepala atau hiasan kepala yang digunakan oleh anak daro (pengantin perempuan). Secara penampilan, penggunaan suntiang memiliki nilai estetika tersendiri karena terlihat indah dan megah dan menjadi penanda identitas perempuan Minangkabau.

Dalam bahasa Minangkabau, perempuan disebut dengan istilah padusi/parampuan. Dari sumber tertulis, dalam buku Kato Pusako (Indo, 1999) padusi dapat dibedakan berdasarkan perilaku dan perbuatannya yaitu parampuan, simarayuan, dan mambang tali awan. Berbeda dengan sumber tertulis tersebut, informan utama untuk komik kaba Sabai Nan Aluih (2015) menjelaskan perempuan/gadis Minangkabau dikategorikan empat macam, yaitu gadih alang-alang, gadih lawah-lawah, gadih rancak di labuah, dan gadih pusako. Dari tujuh kategori tersebut, jelas bahwa perempuan Minangkabau yang memiliki konotasi baik adalah parampuan dan gadih pusako.

Parampuan

PARAMPUAN (Padusi)

Sipaik-sipaik baiak parampuan:

Mamacik taratik jo sopan

Mamakai baso jo basi

Tahu pulo dihereang gendeang

Mamakai raso jo pareso

Manaruah malu jo sopan

Manjauahi sumbang jo salah

Muluik manih baso katuju

Kato baiak kucindan murah

Baso baiak gulo di bibie.

                                    (Indo, 1999)

Gadih Pusako

Nan iyo ko gadih pusako

Namonyo gadih pusako ko

Gadih sabantuak bungo cangkeh

Kutiko tampuak lai bagatah

Wakatu badaun rimbun

Babungo di ujuang rantiang

Ditanai daun nan banyak

Bumi bulek alam bapaliang

Jikok iradaik mangandaki

Kok lareh bana nan masak

Kok jatuah dihoyak angin

Gadang ketek sato mancari

Tuo jo mudo mangampuangan

Kok tajajak ka pasa rami

Bagaluik kilo jo timbangan

Awak ketek harago maha

Mamintak mangkonyo dapek

Batanyoan mangkonyo ado

Itu yang patuik anak pakai

                        (Komik kaba Sabai Nan Aluih, 2015)

Parampuan dan gadih pusako adalah sosok atau individu yang berkualitas dan memiliki karakter serta sikap hidup yang dibentuk oleh rujukan budaya yang jelas serta mempunyai ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas. Dia dapat menempatkan dirinya dalam berbagai peran.

Meskipun parampuan dan gadih pusako adalah yang terbaik, semua perempuan/gadis Minangkabau biasanya akan mengenakan suntiang saat menikah. Suntiang menjadi penanda identitas perempuan Minangkabau dan akan menjadi warisan budaya nusantara yang memiliki fungsi dalam masyarakat. Merton membagi dua jenis fungsi, yaitu fungsi manifest dan fungsi latent (Ratna, 2010). Identitas perempuan Minangkabau dapat dilihat melalui  fungsi manifest dan latent dari suntiang.

Manifest atau fungsi nyata, disadari sepenuhnya oleh masyarakat yang bersangkutan. Ada dua manifest suntiang. Pertama, suntiang adalah perhiasan di kepala. Pada saat perempuan menggunakan suntiang berarti dia telah berubah status dari seorang gadis menjadi seorang istri. Masyarakat yang melihat perempuan Minangkabau menggunakan suntiang menyadari bahwa dia telah melepas masa lajangnya dan mulai memasuki tahap kehidupan berkeluarga. Kalau seorang perempuan telah berkeluarga hendaknya ia berhati sabar, menurut perintah dan nasihat suami. Sifat dan perilaku perempuan Minangkabau yang baik dan terpuji tampak dari  sifat parampuan  dan gadih pusako.  Kedua, suntiang memperlihatkan keindahan secara visual dengan segala ornamen yang melengkapinya. Begitu pula dengan seni yang ditawarkannya. Pembuatan suntiang adalah sebuah keahlian membuat karya yang bermutu. Hal ini dapat dilihat dari segi kehalusan dan keindahan ornamen suntiang. Secara tidak langsung, suntiang menawarkan estetika kepada masyarakat Minangkabau dan masyarakat suku bangsa lainnya di Indonesia. Ajaran adat Minangkabau lebih memuliakan budi yang ada pada manusia. Budi dalam pengertian; usaha dan tatacara yang selaras dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.

Latent atau fungsi tersembunyi, tidak disadari, tidak dimaksudkan oleh masyarakat yang bersangkutan. Latent suntiang dari ragam Suntiang Pisang Saparak dan Suntiang Gurai menggambarkan status sosial perempuan Minangkabau yang menggunakannya. Hal ini dapat dilihat dari ukuran suntiang. Tidak semua perempuan Minangkabau tempo dulu dapat menggunakan suntiang ketika menikah karena keluarganya tidak mampu memiliki suntiang yang terbuat dari emas. Sebaliknya perempuan dengan status sosial lebih tinggi dapat menggunakan suntiang dengan ukuran yang bahkan lebih tinggi atau lebih lebar atau pun kombinasi keduanya, perlambang status sosial yang lebih tinggi. 

Suntiang masa kini, fungsi latent-nya adalah menjadi penanda identitas perempuan Minangkabau. Telah disebutkan dalam tulisan tentang suntiang sebelumnya (Dahlan, 2023), meskipun ada enam ragam suntiang yang digunakan di beberapa daerah di Minangkabau (pisang saparak, gurai, kombinasi pisang saparak-gurai, pisang sasikek, pudiang, dan kembang goyang) tetapi suntiang kembang goyang yang identik dengan perempuan Minangkabau. Suntiang masa kini pun dapat digunakan oleh seluruh perempuan Minangkabau tanpa melihat status sosialnya karena bahan pembuat suntiang bukan lagi emas seperti zaman dahulu. Penanda identitas perempuan Minangkabau tidak merujuk kepada bahan material pembuatan suntiang melainkan kepada ragam suntiang sebagai penanda.

(*Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Bung Hatta)

 

 


Tag :#Opini #Didaktika #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com