HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Senin, 13 Maret 2023

REFLEKSI MATRILINEAL DALAM CERPEN DI JEMPUT MAMAK

 Muchlis Awwali
Muchlis Awwali

REFLEKSI MATRILINEAL DALAM CERPEN DI JEMPUT MAMAK

O l e h: Muchlis Awwali*

            Etnis Minangkabau dikenal sebagai salah satu etnis yang menganut sistem matrilineal  terbesar di dunia. Bagi para peneliti, terutama peneliti asing, sistem matrilineal Minangkabau memiliki daya tarik tersendiri untuk menjadi bahan kajian mereka. Hal ini pernah menjadi pertanyaan bagi Hadler (2008; 4), bagaimana suatu matriarkat bertahan di Sumatera Barat sementara di mana-mana di Asia, sistem itu dirongrong habis oleh kebijakan-kebijakan negara kolonial dan nasional. Pertanyaan itu muncul disebabkan sistem matrilineal di Minangkabau tidak pernah mengalami pasang surut, meskipun dua kekuatan kolonial pernah menduduki dataran tinggi Minangkabau. Namun, kekokohan etnis Minangkabau mempertahankan sistem matrilineal tidak pernah tergoyahkan.

            Selain sistem matrilineal, ada satu identitas penting yang dilekatkan pada etnis Minangkabau, yakni Islam. Kedua unsur ini saling terkait, tidak dapat dipisahkan, apabila ingin meneliti tentang Minangkabau. Kedatangan Islam ke Minangkabau tidak serta merta dapat mengubah sistem matrilineal, karena sistem itu sudah berurat berakar dalam kehidupan masyarakatnya. Meskipun demikian, Islam akhirnya mendapat tempat istimewa di Minangkabau. Bahkan, Islam menjadi label sebagai orang Minangkabau. Orang yang berasal dari Minangkabau dapat saja dikatakan tidak orang Minangkabau, jika ia keluar dari agama Islam (murtad). Begitu juga pada harta pusaka, Islam memberikan pedoman dalam sistem pewarisannya. Meskipun Islam lebih cenderung menganut sistem patrilineal, tetapi Islam telah mengisi ruang-ruang kosong dari sistem matrilineal, sehingga kekurangan yang terdapat dalam sistem matrilineal disempurnakan oleh Islam.

Menurut M. Radjab (1969; 17), ada 8 ciri dari sistem matrilineal di Minangkabau, yakni. (1). keturunan dihitung dari garis ibu, (2). suku terbentuk menurut garis ibu, (3). tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami), (4). pembalasan dendam merupakan kewajiban seluruh suku, (5). kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak ditangan ibu, tetapi jarang sekali dipergunakan, (6). yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya, (7). perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya, (8). hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya. Dalam kutipan itu terlihat, bahwa perempuan memiliki kedudukan yang istimewa dalam sistem matrilineal Minangkabau. Namun, kekuasaan tetap berada di tangan laki-laki, sebagaimana dikatakan Tanner (dalam Nurti, 2013; 12) bahwa kedudukan perempuan di Minangkabau sama dengan laki-laki terutama dalam upacara perkawinan. Pemikiran yang disampaikan Tunner barangkali terjadi pasca kemerdekaan sampai tahun 60-an. Namun sebelum era kemerdekaan, laki-laki lebih mendominasi kekuasaan dalam suatu keluarga atau kaum, termasuk dalam acara perkawinan. Kekuasaan itu berangsur-angsur  suram ketika masyarakat Minangkabau mulai beralih dari konsep keluarga besar menjadi keluarga inti. Ungkapan mamak mamijak batang nan lah rabah membuktikan bahwa peranan laki-laki dalam perkawinan hanya dibutuhkan pada saat-saat tertentu, sementara itu, perempuan bertanggung jawab penuh dibutuhkan pada setiap moment (mulai perencanaan pesta hingga selesai)

Sebagai suatu identitas, ketiga unsur itu juga memberikan warna lokal bagi pengarang yang berasal dari Minangkabau, terutama pada periode Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Lokalitas Minangkabau mendominasi karya-karya yang diterbitkan pada saat itu. Persoalan matrilineal selalu menjadi sumber inspirasi bagi pengarang berlatar Minangkabau. Dialektika yang dibangun sistem matrilineal membuka peluang munculnya berbagai macam dinamika yang dapat memicu terjadinya konflik internal dalam kaum. Kondisi ini memunculkan dilema-dilema yang menarik bagi pengarang dalam proses penceritaannya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa pengarang berlatar Minangkabau menjadi penentu dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. Sebagaimana dikatakan Hadler (2008;1) bahwa merekalah yang menjadi penentu sastra dan budaya Indonesia. Di bidang politik, sistem matrilineal Minangkabau ikut melahirkan para intelektual bertaraf nasional dan internasional baik sebelum dan sesudah kemerdekaan. Kejayaan itu tercabut setelah terjadinya peristiwa pergolakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) antara tahun 1958-1961. Label pemberontak yang dilekatkan kepada rakyat Sumatera Barat membuat mereka mulai terpinggir dalam dunia politik.

Salah satu karya yang merefleksikan sistem matrilineal di Minangkabau adalah cerpen Di Jemput Mamak karya Hamka. Melalui tokoh Musa, Hamka menceritakan berbagai masalah yang dihadapi Musa ketika berhadapan dengan sistem matrilineal. Ramah, istri Musa merupakan kemenakan yang patuh pada perintah mamaknya. Kepatuhan ini diperlihatkan Ramah ketika mamaknya menyodorkan Musa sebagai suaminya. ‘Aku yang diterima mamaknya menjadi suaminya’, (Hamka, 2017; 10). Dalam kutipan itu, rupanya Hamka menjelaskan bagaimana tanggung jawab mamak mencarikan pasangan hidup kemenakannya. Tanpa ada penolakan, Ramah langsung menerima tawaran mamaknya untuk menjadi istri Musa.

Setelah menikah, Musa menetap di rumah Ramah, karena salah satu ciri-ciri sistem matrilineal di Minangkabu adalah matrilokal. Dalam konteks ini, matrilokal juga berarti bahwa Musa harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku dalam kaum Ramah. Namun, seiring perjalanan waktu, kehidupan Ramah tidak seberuntung nasib kedua saudara perempuannya. Akan tetapi, Ramah tetap setia pada suaminya. “Istriku tetap menghidangkan nasi dengan kasih sayangnya, walaupun hanya sambal dan ikan kering bakar yang dia hidangkan. Namun kemanakah aku akan mennyembunyikan makan, Tuan? Bukankah tudung saji dan dulang harus diatur di ruang rumah. Di ruang yang satu kelihatan ikan pangat dan yang satu lagi ada rendang hati.” (Hamka;2017; 11). Dalam kutipan itu, Hamka menyindir dan mengkritik kebiasaan buruk suatu keluarga yang suka manyisiahkan atah jo bareh. Hal ini merupakan suatu kenyataan yang tidak terbantahkan dalam pola kehidupan keluarga besar. Bagi anggota keluarga yang tidak mampu bersaing, biasanya memilih untuk keluar dari rumah atau pergi merantau.

Sebelum berangkat menuju rantau, Musa meminta keluarga Ramah sudi berkumpul agak sebentar. Pertemuan itu dilaksanakan setelah selesai shalat Isya. “Mereka terkejut lagi setelah mendengar dari mulutku sendiri, bahwa pertemuan malam itu merupakan upaya dariku untuk meminta diri, sebab dua hari lagi akan berangkat bersama istriku, merantau menuju tanah Deli”  (Hamka, 2017; 18). Setelah sampai di rantau, kemiskinan tetap menjadi teman setia Musa. Pendapatannya sebagai tukang kasur hanya cukup untuk makan sehari. Akan tetapi, semua itu tidak mereka hiraukan, karena kemerdekaan dan kebebasan telah mereka peroleh di rantau. Awal munculnya masalah dalam keluarga mereka, ketika Musa mengabarkan kepada mertuanya bahwa Ramah sudah hamil empat bulan. “Keadaan paling sulit yang aku hadapi adalah ketika istriku hamil. Setelah ia mengandung empat bulan, aku kabarkan pada mertuaku bahwa kami akan pulang” (Hamka, 2017, 19). Keputusan itu disampaikan Musa, karena kehidupan mereka di rantau masih dalam keadaan miskin, namun apa yang diinginkan Musa tidak direstui istrinya, karena larangan untuk datang melihat anaknya dapat menambah fitnah di kampung.

Apa yang dikhawatirkan Musa, akhirnya terjadi juga, setelah anak Musa berumur empat bulan mertuanya pulang ke kampung. Kepulangan mertuanya ke kampung membuat Musa lebih merdeka dan bahagia dalam hidup berumah tangga. Namun, kebahagian itu tidak berjalan lama, karena muncul fitnahan mereka suka bertengkar dan  berkelahi. Anaknya penuh kudis, dan badannya tidak berbalut kain lagi. Fitnahan yang dilontar orang kampung membuat persukuan mereka sering berselisih “Bertemu pihak persukuanku dengan persukuan istriku dan terlontar banyak kata-kata sindiran” (Hamka, 2017.25). Dalam sistem matrilineal Minangkabau, orang sesuku dipercaya berasal dari nenek moyang yang sama, meskipun mereka tinggal diwilayah berbeda. Meruncingnya persoalan antara Musa antara Ramah, disebabkan masing-masing suku berkewajiban membela anggota sukunya.

Perseteruan itu berakhir dengan suatu keputusan keluarga bahwa Ramah harus dijemput, karena ia sudah tertumpang biduak tirih pandayuang bilah. “Mereka tidak senang hati. Mufakat telah diputuskan bahwa kemenakan mereka , istriku dan anakku, akan mereka jemput, harus dipemput. Apakah dijemput dengan lunak, tentu dengan lunak, dan kalau terpaksa dengan keras, tentu dengan keras” (Hamka,2017; 26). Rupanya dalam kutipan itu, pengarang menjelaskan bahwa kesengsaraan yang dialami oleh salah seorang anggota keluarga merupakan tanggung jawab bersama. Biasanya dalam kondisi seperti itu berlaku falsafah ndak aie talang dipancuang, ndak ameh bongkah diasah. Maksudnya tujuan harus dicapai meskipun dalam kondisi kurang mampu. Mengenai biaya penjemputan Ramah diperantauan sudah dimufakatkan dengan menggadai atau menjual harta pusaka. “Lalu dari mana uang buat ongkos menjemput itu akan dicari. Mufakat memutuskan pula, sawah yang bundar di Bandar Buat harus digadai atau dijual kepada orang yang mampu untuk ongkos menjemput. Sebab meskipun sawah tersebut merupakan harta tua yang harus dijaga dan dimuliakan, kehidupan anak kemenakan yang merantau bertahun-tahun adalah sebuah rasa malu besar yang tidak bisa hilang” (Hamka, 2017; 28).

Dalam kutipan itu, dijelaskan bahwa salah satu fungsi harta pusaka di Minangkabau adalah sebagai penutup rasa malu kaum, dan dapat dimanfaatkan sebagai pambangkik batang tarandam, “Untuk apa harta benda dan sawah banyak, jika sekiranya yang akan memakannya telah hilang, tidak tentu rimbanya dirantau orang, dibawa oleh suaminya” (Hamka, 2017; 26). Ketika mamak Ramah datang menjemput, Musa sedang pergi menjajakan kain kasurnya. Perdebatan antara Ramah dan mamaknya, didengar Musa dari cerita tetanggganya, seorang perempuan tua berasal dari Mandailing. “Merdeka dengan suami mu, Apa maksudmu itu. Bukankah engkau bersuku, bersanak kerabat, bermamak bernenek. Sudah lupakah engkah bahwasanya suami disembah lahir, tetapi nenek mamak disembah batin. Manakah yang lebih kekal suami daripada suku. Orang yang tidak tentu bapaknya saja dipertahan oleh sukunya, apalagi engkau” (Hamka, 2017; 29). Keputusan Ramah mempertahankan keutuhan rumah tangganya mendapat sanggahan keras dari mamaknya.

 Meskipun, Ramah bersikeras mempertahankan sikapnya, tetapi semua itu tidak dihiraukan mamaknya. Malah mamaknya memberi ultimatum pada Ramah, bahwa ia harus pulang. ‘Tidak engkau mesti pulang, jawab mamaknya pula. Walau apa pun yang terjadi. Ibumu telah tua. Harta pusaka tua turun-temurun mesti dibagi dan diwarisi dengan adil. Tidak usah banyak bicara. Engkau harus pulang. Kalau tidak tentulah kaum kerabat kita tidak akan senang. Bukan adat bukan lembaga, seorang perempuan mengingkari mamaknya, karena menuruti suaminya. Balas mamaknya” (Hamka, 2017; 30-31). Dalam kutipan itu, dijelaskan bahwa kemenakan harus seperintah mamak, meskipun kemenakannya sudah bersuami. Mendengar perkataan mamaknya, Ramah tetap bersikukuh mempertahankan sikapnya sebagai seorang istri.

Mendengar keputusan kemenakannya, akhirnya ia menawarkan kepada Ramah untuk ikut membawa suaminya pulang, tetapi tidak tinggal di kampung. Meski berbagai asalan dikemukakan Ramah, tetapi mamaknya tidak surut selangkah pun, bahwa Ramah harus dibawa pulang. ”Tidak engkau harus ikut pulang. Sekali lagi aku katakan padamu, engkau mesti ikut pulang. Harus kata mamaknya memaksa. Bagaimana kalau suamiku tidak bisa.Itu sudah kami perkirakan juga. Sekurang-kurangnya dialah yang mengantar engkau pulang, tetapi dia tidak boleh tinggal di kampung. Itulah alasan mamakmu yang diutus kemari. Biar suamimu tidak pulang, engkau saja pulang dengan anakmu, dan aku kemari yang menjemputmu, jawab mamaknya” (Hamka, 2017, 31).

Dalam cerpen Di Jemput Mamak, Hamka menggambarkan dua bentuk pola pikir masyarakat Minangkabau dalam menghadapi perkembangan zaman. Pertama, pola pikir yang berorientasi pada nilai tradisional, kedua, pola pikir yang berorientasi pada kehidupan modern. Nilai tradisonal diwakili oleh mamak Ramah, sedangan pola kehidupan modern diwakili oleh keluarga Musa. Mamak Ramah berusaha mempertahankan sistem keluarga besar, meskipun kemenakannya sudah bersuami. Sementara itu, Musa ingin keluar dari sistem keluarga besar.  Tindakan mamak Ramah menjemput kemenakannya diperantauan merupakan bentuk tanggung jawab seorang mamak kepada kemenakannya, apalagi kehidupan kemenakannya itu melarat. Padahal di kampung masih banyak harta pusaka yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Di sisi lain, gunjingan orang kampung kepada suatu kaum yang rela membiarkan anggota kaumnya  hidup melarat. Perasaan malu kepada orang kampung inilah yang membuat mamak Ramah bersikeras menjemputnya di perantauan.  Sementara itu, Musa ingin hidup secara mandiri tanpa bantuan dari keluarga besar, tetapi dibidang perekonomian Musa gagal membahagiakan istrinya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tidakan yang diambil mamak Ramah tidak dapat disalahkan, begitu juga dengan keputusan yang diambil Musa dapat juga dibenarkan, tergantung dari sudut mana penilaian dilakukan. Oleh karena itu, masyarakat Minaangkabau tidak bisa meninggalkan sistem keluarga besar, meskipun ada upaya membentuk keluarga inti. Amin…!!!.

(*Penulis adalah Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand)


Tag :#Opini #Didaktika #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com