HOME VIRAL KONTEKS

  • Sabtu, 31 Desember 2022

Puisi Esai: Marah!

Marah!
Marah!

MARAH (MAKNAILAH SEJARAH)!*

Oleh Hasanuddin Tan Patih**

 

I.

Pagi itu,

Ruang kelas itu masih biasa

Tak ada derik derap langkah apalagi teriak resah seperti itu biasanya

Namun tetiba ada bisik-bisik lalu menjadi berisik, dan itu tak biasa

Mahasiswi bertengkuluk[1] bertanya-tanya, “Ada apa?”

 

Bisik makin berisik,

Lama-lama bisik akan jadi kedengaran, pikirnya menelisik

Tapi, akankah himbau juga akan kelampauan?,[2] batinnya berbisik

Benar saja, seorang teman sekelas celetuk, jelas tak lagi berbisik

"Ini persoalan bangsa yang bineka, tapi ternyata ada yang belum menerima bahwa negara ini berdasar Pancasila”, katanya mendelik.

 

Tak disangka,

Tatkala Mahasiswi bertengkuluk masih penasaran dalam tanda tanya

Semua telunjuk tanpa periksa dan rasa tertuju kepadanya

"Dia berasal dari sana", kata mereka

"Ya, jika tak sudi silahkan hengkang ke planet lain" sambung yang lainnya.

 

Mahasiswi itu searching kilat di telepon genggam cerdasnya

Tak lama, yang dicarinya berseliweran bak kumbang di musim bunga

Satu dua ditangkap, dicerna, dan dia pun tertunduk tak berdaya

Apa hendak dikata, pidato Puan menghiasi laman-laman berita

Masyarakat kampungnya telah dicap belum mendukung negara Pancasila[3]

 

Mahasiswi itu tercekat,

Tersebab kata sekerat para sahabat tega menghujat

Tetiba dia berdiri dan berupaya berteriak sangat kuat

 

“Siapa bilang Nagari kami tak mendukung Negara Pancasila?

Kalian buka, ayo baca yang keempat dari kelima sila

Itu sistem Nagari[4] kami, kami sumbang untuk Negara Kita

Rakyat berdaulat berwakil mufakat dengan hikmat yang bijaksana!”

 

Esok hari dan hari-hari berikutnya

Pidato singkat itu jadi ramai dipolemik di berbagai media massa

Tidak sekadar pro dan kontra

Tetapi juga ada yang menyeret ke ranah yustisia[5]

Namun, "Bukankah itu hanya selisih sederhana antara induak bako dengan anak pisang?”[6] kata pembelanya

 

Begitu sederhana?

Ya, mungkin memang harus dibuat begitu sederhana!

 

 

II.

Dua tahun berlalu

Ruang kelas PMM[7] hening tidak biasanya begitu

Para Mahasiswi tertunduk murung pagi itu

Begitu pilu lebih bak tersayat sembilu

Dan tak ada yang berani coba beri bujuk rayu

 

Ada apa gerangan?

Tetiba saja sahabat se-Nusantara mereka enggan salaman

Berita media massa membuat mereka sesenggukan

Seseorang berujar dengan dada berguncang, "Kita terancam!”

“Sebab survey Setara Institut tempatkan tiga kota di Minang paling intoleran”[8]

 

Seorang mahasiswi bertengkuluk bertanya setengah merintih

"Adakah kalian di kota ini diberi stereotipi, dibully, atau didiskriminasi?"

Sahabat se-Nusantaranya menggeleng dan serentak berdiri

Mahasiswi bertengkuluk pun ikut berdiri dan berbicara dari hati:

“Kota ini memberi kalian garansi, sebab ini rahimnya pejuang demokrasi,[9] Kalian bebas berekspresi dalam endahnya bahasa dan mulianya budi”

 

“Mari ke library” ajak si Mahasiswi sesungguh hati

 

Di rak paling pojok reot berdiri sebuah lemari

Sederet buku kecil dekil nyaris tak tersentuh jari

Si Mahasiswi  meraihnya dan mengurai setumpuk bukti

Bahwa tradisi demokrasi Nagari ini mencapai sofistikasi[10] setara negara kota di Yunani

Jauh sebelum Negara-bangsa ini berdiri

 

Katanya, “Bila Socrates, Plato, dan Aristoteles lahir di Athena

Minangkabau lahirkan Yamin, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka

Agus Salim, Hamka dan masih banyak lainnya

Mereka tidak sekadar teriak-teriak merdeka

Tetapi merajut bineka membangun tunggal ika”

 

“Di jajaran pewaris Bunda juga tak kalah banyaknya

Ada Rohana Kudus, Rahmah el Yunusiyah, Rasuna Said, dan lainnya juga

Tak terkecuali Siti Manggopoh yang digelari sang Singa Betina

Mereka tidak sekadar berdendang atau berkeluh-kesah

Tapi memanggul senjata atau menikam dengan mata pena”

 

“Maknailah sejarah”, gemuruhnya

 

Sahabat se-Nusantara mereka terkesima

Hati kecilnya bertanya, “Ada apa dengan ini bangsa?

Bukankah Kita bermula dari bhinneka lalu bersatu menjadi tunggal ika?

Bahwa Yamin merumus Ikrar Pemuda, Kita satu nusa bangsa dan bahasa?

Standar moralitas apa mengukur toleransi tapi justru nyaris membelah bangsa?

 

Kini, disini...

Putra-putri Republik yang lebih tujuh dasawarsa berdiri

Bak mozaik atau taman bunga yang asri

“Aneka warna inilah keindahan asasi, bineka karena masing-masing menjaga utuhnya jati diri, harmoni karena satu sama lain saling hormat dalam rajutan toleransi,

Bineka bukan kesewarnaan dan itu yang seringkali salah dimengerti”

 

Gadis bertikuluk matanya berkaca riang tak terkira

Sahabat sebangsanya aneka warna dibuatnya terkesima

Benar, inilah mahasiswa merdeka berbaur se Nusantara

Mereka berkepal dan teriak lebih keras dari pejuang bangsa

“MERDEKA!, MERDEKA!, MERDEKA!”

 

“Maknailah sejarah!”

 

                                                   Padang, November 2022

 

*  Puisi ini salah satu dari sepuluh puisi esai Satu Pena Sumbar peraih Penghargaan SATUPENA Indonesia 2022 (Baca juga: https://minangsatu.com/sepuluh-penulis-puisi-esai-sumbar-mendapat-penghargaan-satu-pena-indonesia_23354)

**  Penulis adalah Doktor Kajian Budaya dan Sastra Minangkabau, Universitas Andalas.

 

 

[1] Tengkuluk adalah selendang yang biasa dipakai sebagai penutup kepala bagi perempuan dewasa Minangkabau.

[2] Petatah Minangkabau, “bisik sudah kedengaran, himbau sudah kelampauan”. “Bisik sudah kedengaran” bermakna rahasia privat telah berkembang menjadi rahasia umum, sedangkan “imbau sudah kelampauan” bermakna suatu ujaran sudah sangat terang benderang maksudnya.

[4] Nagari adalah kesatuan sosial politik tertinggi di Minangkabau tradisional. Struktur masyarakat nagari minimal terdiri dari empat suku atau marga matriclan. Setiap suku atau marga matriclan dipimpin oleh seorang pangulu. Para pangulu mewakili warga kaumnya duduk dalam lembaga kerapatan pangulu (suatu Majelis Permusyawaratan Pangulu) di tingkat nagari. Lembaga kerapatan itu adalah pelaksana kekuasaan yang sejatinya ada di tangan rakyat (yang notabene adalah anak kemenakan mereka). Pimpinan pemerintahan, yakni Wali Nagari, dipilih oleh kerapatan penghulu secara musyawarah untuk mufakat. Setiap nagari adalah otonom, selayaknya sebuah negara. Tahun 1911 Westenenk mencatat ada 541 nagari di Minangkabau. Artinya, ada sejumlah 541 negara-negara kecil yang hidup secara berdampingan, dinamik, dan harmoni dalam Alam Minangkabau (Ke dalam terdiri atas beragam satuan sosial, budaya, dan politik pemerintahan yang berbeda sedangkan keluar ia adalah satu yakni Minangkabau; bhineka tunggal ika). (lihat Westenenk. 1918. "De Inlandsche Bestuurshoofden ter Sumatra's Westkust", KT 2: 673-693, 828-846 [accessed May 15 2021]. Compare to: Kato, Tsuyoshi. 1989. Different Fields, “Similar Locusts: Adat Communities and the Village Law of 1979 in Indonesia.” Indonesia, No. 47: 89-114;

[6] "Induak bako" adalah konsep yang menunjuk kepada kerabat kaum matrilineal dari seorang ayah, sedangkan "anak pisang" adalah konsep tentang posisi anak dari saudara laki-laki dalam stelsel matrilineal Minangkabau.


Wartawan : htp
Editor : Hasanuddin

Tag :#Hasanuddin#TanPatih#Puisi#Marah#Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com