HOME SOSIAL BUDAYA KOTA PADANG

  • Sabtu, 27 Agustus 2022

Mahasiswa Inbond PMM 2022 Dari Berbagai PT Di Indonesia Mendapatkan Pengenalan Budaya Minangkabau

Kegiatan Pengenalan Budaya Minangkabau bagi 239 Peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) dari PT Indonesia di UNAND (27-08-2022)
Kegiatan Pengenalan Budaya Minangkabau bagi 239 Peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) dari PT Indonesia di UNAND (27-08-2022)

Padang (Minangsatu) - Sebanyak 239 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang mengikuti Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) ke Universitas Andalas mendapatkan pengenalan Budaya Minangkabau dari pakarnya, yakni Dr. Hasanuddin, M.Si. Datuk Tan Patih. 

Pengenalan tersebut dilaksanakan pada Sabtu (27/08/2022) di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Andalas Kampus UNAND Limau Manis. Bertindak sebagai penyelenggara adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pembelajaran di Luar Kampus, Universitas Andalas. Kegiatan tersebut dibuka oleh Ir. Amrizal Anas, MP (Ketua Pokja Kerja Sama) dan dimoderatori oleh Ely Ratni, S.Pt., MP.

Dalam paparannya, Hasanuddin yang adalah Dosen Sastra dan Budaya Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas itu menyampaikan bahwa Minangkabau adalah komunitas etnik matrilineal terbesar di dunia. Wailayah kultural etnik itu meliputi pantau Barat Sumatera dari Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat sampai Bengkulu. Ke Timur wilayah Minangkabau itu meliputi sebagian Provinsi Riau dan Provinsi Jambi dan termasuk Negeri Sembilan di Malaysia. 

“Oleh sebab itu, defenisi Minangkabau tidak sama dengan Sumatera Barat dan juga dengan Padang. Sebab, Sumatera Barat adalah kesatuan wilayah administratif yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 61 Tahun 1958. Provinsi Sumatera Barat didiami oleh etnik Minangkabau dan Mentawai serta beberapa komunitas etnik migran. Padang, adalah Ibukota provinsi Sumatera Barat.”

Hasanuddin menyatakan bahwa Minangkabau adalah salah satu kontributor bagi khasanah kebinekaan Indonesia yang demokratis. Kontributor tersebut tidak hanya sebagai faktor pembeda tetapi juga menyumbang banyak tokoh dalam proses pengonstruksian Indonesia sebagai Negara Kesatuan. Sebab, suku bangsa ini menyumbang tiga dari empat The Founding Fatehrs Indonesia, yakni: Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka di samping Sukarno (yang bukan Minangkabau).

Kekhasan Minangkabau selain pada ciri matrilineal adalah filosofi, karakter egalitarian, multikulturalis, demokratis, adaptif, inklusif, dan akomodatif.

“Falsafah hidup Orang Minangkabau adalah ‘Alam Terkembang Jadi Guru’. Falsafah itu menurunkan karakter egalitarian karena alam mengilhamkan bahwa setiap unsurnya (air, api, angin dan tanah) adalah otonom dan setara. Demikian pula, setiap individu dan kelompok dalam masyarakat, masing-masing adalah otonom dan semuanya ada dalam kesetaraan. Eksistensi masing-masing ditentukan oleh kemampuan mempertahankan kesetaraan. Individu atau kelompok yang tidak mampu mempertahankan kesetaraan dikatakan sebagai ‘orang kurang’ atau pecundang. Konsep itu dinamai ‘harga diri’ dan menjadi etos persaingan atau kompetisi satu sama lain.” 

“Namun, kompetisi tanpa batas bisa menimbulkan konflik. Hal itu tidak sejalan dengan falsafah alam terkembang jadi guru yang juga mengajarkan ‘harmoni’. Untuk itu, diperlukan mekanisme kontrol sosial yang dinamai ‘budi’ yang berisi ajaran tentang tenggang rasa, sikap hormat, dan kerja sama antar individu atau kelompok dalam masyarakat dalam membangun kehidupan dan peradaban yang harmoni. Sebagaimana halnya kerja sama api dengan air yang membuahkan awan, lalu angin membawa awan ke tempat yang tinggi, lalu menjadi hujan membasahi bumi sehingga bumi menjadi hidup dari matinya, seperti diterangkan dalam Al Quran, Surah Fathir ayat 9”. 

Lebih jauh, Ketua Perkumpulan Sarjana Budaya Bahasa Sastra Minangkabau (PSBBSM) Indonesia itu menyatakan bahwa falsafah alam juga menurunkan nilai multikulturalis, karena secara faktual alam menunjukkan bahwa ‘kepala sama hitam tetapi pikiran berlain-lain, lain padang lain belalangnya lain lubuk lain ikannya, termasuk manusia: lain daerah lain bahasa, adat, dan budayanya. Semua itu adalah sunnatullah atau hukum alam. Keberagaman itu wajib dipelihara karena keberagaman atau kebinekaan adalah ibarat mozaik atau taman bunga, yang kebermaknaannya bukan pada kesewarnaan tetapi pada aneka warna. 

Menurutnya, dalam dinamika keberagaman yang egalitarian, maka keniscayaan selanjutnya adalah demokrasi. Demokrasi tidak saja di antara individu yang berbeda tetapi juga di dalam diri individu itu sendiri. Representasi demokrasi adalah perbedaan, oleh sebab itu seseorang disarankan untuk mampu ‘berjalan surang (seorang diri) mesti dahulu, berjalan berdua seyogianya di tengah’. “Sepertinya ungkapan itu irrasional. Akan tetapi, maknanya adalah manakala hanya ada satu ide semestinya seseorang menciptakan ide oposisi sebagai lawan imajiner untuk dikalahkan (didahului). Begitu juga, manakala ada dua ide oposisional, maka seseorang mesti mengambil kebaikan di tengah sebagai sintesis,” jelasnya. 

“Nilai demokrasi Minangkabau tidak diragukan dan telah disumbangkan bagi keindonesiaan. Hal itu tercermin dalam sila keempat Pancasila, yakni Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’. Sistem demokrasi demikian riilnya ada dalam sistem pemerintahan nagari yang original, yang menempatkan para penghulu sebagai perwakilan suku/ matriclan dan diberi kewenangan menetapkan keputusan secara arif bijaksana melalui musyawarah mufakat”, lanjutnya.

Dijelaskan lebih lanjut, sistem nilai lain yang menandai Budaya Minangkabau adalah sikap inklusif, yang direalisasikan melalui perilaku adaptif dan akomodatif. Orang Minangkabau sangat inklusif. Dalam rangka menanamkan karakter inklusif itu, setiap anak muda diwajibkan merantau karena di kampung dianggap belum berguna. Di perantauan mereka mau tidak mau berinteraksi dengan berbagai orang dengan latar belakang yang sangat beragam dan dituntut untuk cerdas beradaptasi. Falsafah alam mereka mengajarkan, ‘dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung’. 

“Sejalan dengan sikap adaptif adalah akomodatif, yakni sikap terbuka terhadap orang dengan latar belakang suku dan adat berbeda menjadi bagian dari komunitas bahkan kerabat mereka. Sikap itu masih utuh di dalam tradisi ‘malakok’ atau ‘mengaku mamak atau induk/ ibu’”, paparnya. 

Dengan karakter budaya demikian, Hasanuddin mempertanyakan, “Dapatkah dipertanggungjawabkan secara akademik, sosio dan kultural tudingan bahwa Orang Minangkabau itu ekslusif, intoleran, dan radikal seperti kita dapati di media sosial akhir-akhir ini?” Pertanyaan itu dijawab ‘Tidak’ oleh mahasiswa yang berasal dari berbagai latar budaya Nusantara tersebut.

Dalam sesi diskusi mahasiswa yang di antaranya berasal dari perguruan tinggi di Pulau Jawa, Bali, NTB, NTT, Sulawesi, bahkan Papua itu antusias bertanya. Beberapa pertanyaan yang diajukan adalah tentang sistem perkawinan, merantau, fungsi pengulu, agama leluhur, dan strategi kebertahanan budaya Minangkabau menghadapi berbagai pengaruh dan intervensi eksternal. 

Menjawab itu Hasanuddin menjelaskan bahwa perkawinan dalam masyarakat matrilineal adalah untuk kepentingan perempuan maka inisiatif lazimnya datang dari kerabat mempelai perempuan. Pada daerah tertentu, kerabat perempuan menyediakan sebentuk ‘uang jemputan’ yang kemudian akan dikembalikan dalam bentuk lain oleh kerabat mempelai laki-laki.

“Sesungguhnya budaya Minangkabau sudah nyaris ‘porak poranda’ juga. Akan tetapi, pondasi dan tiang-tiangnya masih bertahan sekalipun menghadapi 200 tahun intervensi eksternal, yang dimulai sejak adanya Pemerintahan Hindia Belanda sampai sekarang. Kuncinya adalah inklusifitas tetapi tidak kehilangan jati diri. Petuah Minangkabau menyatakan: ‘masuk kandang kambing membebek tapi jangan jadi kambing, masuk kandang harimau mengaum tapi tidak jadi harimau”, tukasnya. 

Akhirnya Hasanuddin yang merupakan Dekan Fakultas Ilmu Budaya periode 2017-2021 itu mengucapkan Selamat Datang di Ranah Minangkabau. “Silahkan menikmati alam Minangkabau yang salah satu nagarinya (Pariangan) tercatat sebagai Desa Terindah di Dunia, dan salah satu makanannya (rendang) juga tercatat sebagai makanan terenak di dunia”, tutupnya. (*)
 


Wartawan : Hasanuddin Dt Tan Patih
Editor : Benk123

Tag :#pnm

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com