HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Selasa, 6 Agustus 2024

PILKADA Dan Pemertahanan Bahasa

Opini Bahren
Opini Bahren

PILKADA dan Pemertahanan Bahasa

Oleh: Bahren*

            Tidak lama lagi, Provinsi Sumatrera Barat dan beberapa Kabupaten/Kota yang ada di wilayah ini akan mengadakan sebuah perhelatan politik yang cukup besar yaitu Pemilihan Guberneur dan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Beberapa partai dan calon kepala daerah pun telah mulai gencar mengampanyekan diri dan partai mereka. Mulai dari mengkampanyekan program kerja, kisah sukses partai hingga kampanye keberhasilan dan sosok calon yang diusung. Semua kata-kata manis serta persuasif muncul dimana-mana hampir merata di berbagai wilayah yang akan mengadakan helat politik ini.

            Menariknya, ajang kampanye ini secara tidak langsung juga memiliki efek kepada penggunaan jargon, istilah, bahkan adagium berbahasa daerah (Bahasa Minangkabau). Ini menjadi pertanda bahwa pada masa-masa akan dilaksanakan Pemilihan Gubernur atau Kepala Daetah ikut memberi andil dalam pemertahan Bahasa, meskipun tidak permanen dan bersifat sementara. Penggunaan bahasa Minangkabau dalam mengkampanyekan progam, partai maupun calon dianggap sebagai media yang sangat strategis untuk menggaet calon pemilih.

            Berbagai macam ragam dan jenis bahasa pun digunakan dalam kegiatan kampanye para calon tersebut. Mulai dari bahasa Minangkabau biasa, bahasa gaul, bahasa kias, bahasa campuran hingga petatah petitih atau adagium yang setiap orang Minang. Hal ini sekaligus menjadi petanda bahwa kekuatan bahasa mampu menjadikan seseorang menjadi kepala daerah.

            Sebagai contoh, ada kampanye calon yang menggunakan kata-kata “basamo mangko manjadi” artinya dalam hal ini calon secara tidak langsung diusung oelh beberapa parta, calon mengajak untuk membangun kota secara bersama-sama, atau calon mengingatkan kepada kita bahwa untuk membangun kota mereka tidak bisa sendiri tetapi kebersamaanlah menjadikan segala  sesuatunyang diinginkan dan diimpikan bisa menjadi kenyataan.

            Ada lagi yang menggunakan kata-kata yang lebih menekankan sifat kedaerahan yang kental dan sangat caufinisme dengan kata “jikok ado nan diawak, manga nan lain”. Walaupun ungkapan tersebut bersifat sangat kedaerahan, namun dengan keyakinan para calon hal tersebit bisa saja menjadi semacam ajakan untukm memilih putra asli mereka karena mereka lah yang paling paham dengan situasi dan kondisi daerah mereka. Walupun secara kebahasaan ini juga bisa menjadi pemicu orang tidak memilihnya karena ada semacam paksaan dengan adanya kata manga nan lain (mengapa yang lain), seolah-olah pengusung atau calon mengatakan beliau lah yang paling pantas.

            Bukan hanya peserta dan partai peserta pemili yang menggunakan Bahasa Minangkabau untuk kampanye dan mengkampanyekan diri pada PILKADA dan PilGub pihak penyelenggara pun ikut menggunakan Bahasa Minang dalam pemilu. “Pemilu badunsanak”  digunakan penyelenggara dalam setiap kali pemilu diadakan. Hal ini mengindikasikan bahwa siapaun pilhan kita, partai manapun yang mengusung dan jadi pilihan para pemilih, kita sebagai orang Minangkabau tetaplah badunsanak (bersaudara/berkerabat). Penggunaan kata badunsanak pada tagline penyelenggara pemilu di Sumatera Barat mengidentifikasikan bahwa pemilu hanyalah kegiatan rutin dan mesti kita lalui sekali lima tahun, sementara itu persaudaraan akan abadi selamanya. Denag kata lain kita tidak boleh bercerai berai karena beda pilihan dan partai ketika PILKADA dan PilGub.

            Tertepas dari semua itu, kita juga patut bersyukur dengan adanya PILKADA dan PilGub ini telah ikut andil dalam pemertahanan bahasa dengan penggunaan kata-kata berbahasa Minangkabau dalam kegiatan kampanye partai maupun calon yang ada.

 *Dosen Sastra Minangkabau FIB Unand

 


Tag :#Opini #Didaktika #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com