HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Jumat, 10 Maret 2023

Minangkabau Menggugat

Orasi Ilmiah Herry
Orasi Ilmiah Herry

Minangkabau Menggugat

Oleh: Dr. Herry Nur Hidayat, S.S.M.Hum. 

Assalamualaikum. Selamat pagi. Salam sejahtera.

Perkenalkan, saya Herry Nur Hidayat. Salah satu staf pengajar di Prodi Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.

Selamat ulang tahun FIB Unand ke 41 tahun 2023. Tema ulang tahun ini adalah Basamo Mako Manjadi, dengan silaturahmi dan kebersamaan kita tingkatkan daya saing sivitas akademika FIB Unand.

Bapak, Ibu, dan Saudara.

Dalam kesempatan ini, perkenankan saya bercerita tentang kondisi Minangkabau saat ini menurut pandangan saya. Kondisi Minangkabau yang sedang dalam keadaan “tidak baik-baik saja”. Oleh karenanya, saya memberi nama tulisan ini, MINANGKABAU MENGGUGAT.

Mohon maaf jika dianggap ekstrim. Akan tetapi, gugatan ini bukan tanpa alasan. Melalui kajian terhadap film-film Indonesia dalam kurun waktu 1953 hingga 2018, saya melihat kondisi Minangkabau yang “tidak baik-baik saja” ini.

Sebagai pembuka, saya akan bercerita singkat tentang alasan kajian saya terhadap film bermuatan Minangkabau. Saya gemar nonton film jadi agar penelitian saya menyenangkan, saya mengkaji film. Film bermuatan Minangkabau pertama yang saya tonton adalah Salah Asuhan. Terima kasih Bapak Pramono yang mengenalkan saya pada film ini. Reaksi saya saat itu, “Oh begini Minangkabau dalam film.” Saya juga berterima kasih pada Bapak Dony Eros yang mengenalkan saya pada mini seri Saiyo Sakato. Beberapa judul film kemudian saya tonton yang pada akhirnya saya bereaksi, “Kok begitu?” Dan setelah menonton Tabula Rasa, reaksi saya, “Hmm?” Pertanyaan-pertanyaan itulah yang kemudian menjadi awal penelitian saya.

Bapak, Ibu, dan Saudara.

Kita mengetahui bahwa Minangkabau adalah salah satu sumber penciptaan karya seni, terutama film. Berdasar catatan penelusuran saya, tidak kurang dua puluh judul film bermuatan Minangkabau dalam hampir seabad industri perfilman Indonesia. Sedikit? Ya, karena saya membedakan antara film berlatar Minangkabau (Sumatera Barat) dengan film bermuatan Minangkabau. Saya melepaskan diri dari definisi yang pertama.

Saya ambil contoh, film Cinta Tapi Beda dan Tabula Rasa. Film Cinta Tapi Beda, meskipun menampilkan latar tempat kota Padang dan Bukittinggi, jika kita memperhatikan ceritanya, film-film ini tidak menunjukkan muatan keminangkabauan. Sebaliknya, film Tabula Rasa. Meskipun latar tempat bukan di ranah Minangkabau, cerita di dalamnya sarat dengan pengetahuan keminangkabauan. Di dalamnya terdapat muatan merantau, kuliner, representasi bundo kanduang, bahkan kehidupan transetnik.

Fenomena demikian, tidak jarang melahirkan kritik bernuansa etnisitas terhadap sebuah film. Hal ini disebabkan penonton tidak memahami perbedaan pengertian latar dengan konten/isi/muatan. Sementara, pengetahuan yang umum dikenal dan diterima khalayak berpotensi membangun sentimen yang cenderung bersifat chauvinis. Hal ini senada dengan pernyataan Aumont, dkk. (1992) bahwa sinema memiliki kekuatan memprovokasi peningkatan chauvinisme melalui muatan-muatannya. Metz (1991) menyebut film dapat “menggerakkan” khalayak, has the power to draw crowds.

Lalu, apa maksudnya Minangkabau sedang “tidak baik-baik saja”.

 

Bapak, Ibu, dan Saudara.

Saya coba menguraikan secara singkat. Oleh karena kajian saya film, saya akan menguraikannya melalui film.

Film Merantau (2009) dianggap sebagai tonggak kebangkitan muatan lokalitas (Minangkabau) dalam industri film Indonesia. Merantau disebut mengangkat unsur keminangkabauan yang cukup kental (ica, 2009), terutama silek. Akan tetapi, silek dalam film MR ini hanya ditampilkan secara visual pada awal kisah. Selanjutnya, adegan pertarungan yang ditampilkan bukan lagi silek melainkan mixed martial art. Pernyataan saya ini dibenarkan oleh guru kita Mak Katik Musra Dahrizal. Bahkan, Gubernur Sumatera Barat saat itu, Irwan Prayitno, menyebut film Merantau ini kurang mengangkat filosofi silat dan tradisi merantau orang Minangkabau (Indah, 2009). Jelas bahwa kemunculan silek dalam film ini hanya sekadar pembangun genre film laga (action).

Dalam film Surau dan Silek (2017), silek menjadi pusat pengisahan film. Namun, silek dalam film ini justru dibangun sebagai cabang olah raga, bukan sebagai bagian dari kehidupan tradisi Minangkabau. Demikian pula representasi surau dalam film ini. Surau direpresentasikan tidak sebagai surau yang erat hubungannya dengan kehidupan tradisi Minangkabau. Surau dalam film ini ditampilkan sekadar sebagai tempat ibadah. Surau dan silek tidak ditampilkan sebagai sebuah kesatuan yang merepresentasikan salah satu tahap kehidupan orang Minangkabau.

Selanjutnya film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2013) yang membangun kesan Minangkabau yang etnosentris, diskriminatif, dan antimultikultural. Saya menemukan dua kajian terhadap film TKV ini yang menyimpulkan bahwa film ini menunjukkan Minangkabau adalah etnik yang demikian. Saya sengaja tidak menelusuri lebih lanjut apakah peneliti adalah orang Minangkabau atau bukan, tetapi yang jelas pengetahuan peneliti terhadap Minangkabau perlu diperdalam lagi. Di samping itu, kajian tersebut mendasarkan diri pada teori multikultural ala Barat (Western). Kymlicka (dalam Bowen, 2005) menyatakan bahwa kategori multikultural Barat tidak cocok diaplikasikan untuk negara-negara di Asia. Secara umum, multikultural ala Barat mencakup kelompok minoritas, kelompok pribumi, imigran, dan negara (state). Dalam hal ini, Bowen (2005) menggarisbawahi praktik adat sebagai salah satu aspek kehidupan multikultur di Indonesia. Adat dipahami sebagai norma, nilai, dan praktik berbasis lokalitas. Tidak terkecuali di Minangkabau.

Dibangunnya kisah romantis antara Zainuddin dan Hayati dalam film ini membentuk kedua tokoh tersebut sebagai tokoh protagonis. Sementara itu, tokoh Datuak mamak Hayati, oleh penonton dianggap sebagai tokoh antagonis karena menghalangi kisah kasih keduanya, menolak pinangan Zainuddin kepada Hayati karena dianggap sebagai bukan orang Minangkabau yang miskin, menyebut Zainuddin indak basuku dan indak baradaik, terakhir mamak Hayati menerima pinangan Azis yang kaya. Pertanyaannya, Apa yang salah dengan lakuan mamak Hayati?

Tampak jelas adanya kesalahan interpretasi (sengaja atau tidak?) terhadap indak basuku dan indak baradaik yang dalam film ini. Suku dan adaik dalam film ini diterjemahkan secara leksikal sebagai ‘suku’ dan ‘adat’. Padahal, pengertian suku dan adat bagi orang Minangkabau tidaklah sesederhana itu. Saya tidak perlu menguraikannya karena hadirin adalah orang Minangkabau. Sadar atau tidak, baik sutradara maupun penonton telah membangun wacana antimultikultur masyarakat Minangkabau.

Singkatnya begini. Dalam konteks ke-suku-an, anak yang lahir dari ibu bukan Minangkabau dianggap bukan orang Minangkabau, indak basuku. Dalam konteks kehidupan transetnik yang berhubungan dengan perkawinan, di Minangkabau terdapat istilah malakok. Saya juga tidak perlu menguraikan apa itu malakok. Lalu, Zainuddin anak Pandeka Sutan yang beribu Bugis tersinggung dan marabo karena pinangannya yang ditolak. Dia menyalahkan Minangkabau yang menganggapnya tidak bersuku, tidak beradat, tidak berbudaya. Jadi, siapa yang patut disebut antimultikultur? Zainuddin atau mamak Hayati?

***

Bapak, Ibu, dan Hadirin.

Film sebagai karya seni adalah sebuah representasi, bukan refleksi. Sudut pandang yang berbeda akan menghasilkan karya yang berbeda pula. Sebuah representasi tidak akan mampu menghadirkan sesuatu secara utuh dari semua sudut pandang sesuai harapan khalayak penikmat. Hall (2003) menegaskan bahwa representasi adalah produksi makna dari konsep-konsep dalam pikiran melalui bahasa. Di dalam representasi ini terkandung kemungkinan hubungan analogi, imitasi, penandaan, dan simbol.

Di sisi lain, film adalah produk industri yang dinilai lebih berdasarkan kriteria ekonomis daripada artistik. Film adalah artikulasi budaya dan produk industri, hiburan populer untuk khalayak massa, representasi dari realitas, subversi realitas, dan bangunan wacana (Everett, 2005). Akan tetapi, sebagai sebuah representasi, film tetap membutuhkan pemaknaan agar pesan di dalamnya dapat diterima secara jelas dan utuh. Kebenaran dalam sebuah penafsiran tetap terbatas pada konteks dan konvensi yang berlaku meskipun bersifat subjektif.

Muatan keminangkabauan yang ditampilkan dalam film menunjukkan tindak standarisasi. Sistem matrilineal, merantau, kuliner, serta bahasa adalah ladang yang subur terutama bagi pelaku industri. Kemunculan muatan lokalitas (Minangkabau) dalam sebuah film mengandung kemungkinan bukan sekadar usaha konservasi atau revitalisasi tradisi, karena dalam konteks industri, kebudayaan juga dipandang sebagai komoditas yang menguntungkan.

Kita harus memahami bahwa proses produksi kesenian akan selalu berada dalam ketegangan kemurnian budaya dan industri komersial. Alih-alih dipandang sebagai sebuah fenomena budaya, industri budaya adalah produk barang dan jasa yang bersifat ekonomis. Orientasi industri budaya adalah konsumsi massal dan reproduksi. Orientasi ini tentu saja mengarah pada standardisasi serta teknik dan mekanisme distribusi (kuantitas), bukan pada proses produksi (kualitas). Pengulangan dan duplikasi adalah salah satu cara membentuk ketidaksadaran kebutuhan konsumen. Di dalam film, pengulangan materi yang sama adalah wujud upaya membentuk standar keminangkabauan, dalam hal ini visualisasi ikon-ikon Minangkabau.

Salah satu contoh konkretnya, tampilnya secara berulang citraan visual ikonis atap gonjong akhirnya menjadi andalan dan standar sebagai wujud hadirnya etnik Minangkabau dalam film. Filosofi dan idealisme keminangkabauan justru tidak dimunculkan. Beberapa film bahkan hanya menampilkan ikon-ikon visual hanya sebagai peralihan gambar adegan (insert) yang bukan dan tidak termasuk dalam bangunan penceritaan. Dengan kata lain, beberapa unsur etnik Minangkabau tersebut dapat digantikan dengan unsur-unsur etnik lainnya dan tidak akan berpengaruh pada bangunan cerita. Atap gonjong, pakaian, dan kesenian yang dipahami penonton sebagai unsur etnisitas Minangkabau diperlakukan sebagai bangunan latar dan pelataran oleh sutradara untuk “menghadirkan” Minangkabau dalam filmnya disamping sebagai alat pembangun wacana.

 

Bapak, Ibu, dan Saudara.

Kajian saya terhadap pengisahan film Indonesia bermuatan Minangkabau menunjukkan perbedaan transformasi naratif muatan keminangkabauan pada tiap-tiap film. Transformasi naratif inilah yang pada akhirnya menunjukkan keminangkabauan sebagai muatan etnisitas atau hanya sekadar bangunan pengisahan, terutama latar sebagai wujud bagian dari dunia industri.

Melalui kajian transformasi naratif tersebut saya peroleh tiga karakteristik muatan etnik Minangkabau dalam film Indonesia pada tiga era yang berbeda. Pertama, era awal pertumbuhan industri perfilman Indonesia (1950-an). Film bermuatan Minangkabau pada era ini menunjukkan narasi keminangkabauan yang dibangun tampak masih mencari pola kehadirannya di dalam film. Minangkabau adalah wujud etnisitas dalam usaha meleburkan diri menjadi bagian dari Indonesia. Hal ini berhubungan erat dengan masa awal kemerdekaan RI. Kedua, era tahun 1970-an hingga 1990-an. Film bermuatan Minangkabau pada era ini menunjukkan etnisitas Minangkabau sebagai bagian dari Indonesia. Film-film bermuatan Minangkabau pada era ini mengangkat isu budaya nasional, pembangunan karakter nasional dan kebangsaan. Film-film pada era ini juga menunjukkan karakteristik film nasional. Ketiga, era mulai tahun 2000-an yang menunjukkan karakteristik film sebagai produk industri. Minangkabau sebagai muatan film-film era ini menunjukkan perbedaan representasi ideal Minangkabau. Minangkabau ditampilkan hanya melalui pengetahuan yang diketahui penonton. Dalam era industri ini, Minangkabau tampaknya “dijual” karena memiliki daya ekonomis yang cukup tinggi. Di sisi lain, film Minangkabau pada era ini menunjukkan karakteristik dan pernyataan bahwa Minangkabau adalah bagian dari dunia dan budaya global. Isu-isu yang diangkat jelas menunjukkan universalitas dengan menampilkan unsur-unsur etnisitas Minangkabau. 

 

Bapak, Ibu, dan Saudara.

Tidak sedikit pula film yang membangun representasi berbeda tentang Minangkabau. Perbedaan tersebut ditampilkan tentu bukan tanpa alasan. Hal ini tentu saja karena pertimbangan (jumlah) penonton. Dalam hal ini, sutradara menampilkan citraan visual yang diminati (preferred) penonton. Kesadaran ini menjadi salah satu faktor penting dalam sebuah proses kreatif. Tidak perlu heran jika Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dominan akan dramatisasi kisah Hayati dan Zainuddin, serupa kisah Hamid dan Zainab dalam Di Bawah Lindungan Kabah, atau aksi laga yang mendominasi Merantau. Dari sudut pandang sutradara, perbedaan tersebut bisa disebut sebagai kreativitas dan strategi sutradara. Sutradara secara sadar melakukan perubahan untuk mengenalkan Minangkabau kepada penonton bukan Minangkabau.

Menurut Parama Wirasmo (dalam Yustriani & Rahman, 2019), film dibuat untuk mencari penonton. Semakin banyak ditonton, semakin bagus. Tidak mengherankan jika pada umumnya sutradara masih mempertahankan genre roman yang tetap diminati sejak dekade tahun 2000-an. Hal ini terjadi pada film bermuatan Minangkabau yang diproduksi tahun 2000-an. Mengutip Seno Gumira Ajidarma, Barker (2011) menyebut bahwa meskipun sebuah film dianggap bermutu rendah, apabila penonton senang, maka film itu indah bagi mereka.

***

 

Bapak, Ibu, dan Saudara.

Tak bisa kita pungkiri, tampilnya representasi Minangkabau sebagai muatan film merupakan salah satu bentuk usaha mengenalkan etnisitas Minangkabau. Di satu sisi jika dipandang dari aspek industri, representasi Minangkabau dalam film memang “melemahkan” etnisitas Minangkabau. Kekuatan dan dominasi dunia industri mengolah dan merepresentasikan Minangkabau dalam tampilan yang berbeda dan tendensius. Representasi demikian inilah yang mendominasi film-film bermuatan Minangkabau yang rilis pada mulai tahun 2000-an. Minangkabau sengaja dibangun dalam visualisasi yang indah, unik, eksotis, uncharted.

Di sisi lain, muatan tersebut ditampilkan sebagai usaha “menguatkan” Minangkabau. Peran sutradara dalam menghadirkan Minangkabau melalui bahasa kamera dapat dipandang sebagai wujud kesadaran etnisitas yang kuat. Pengolahan citraan visual yang muncul akan membangun kebanggan Minangkabau (Fauziyyah & Irman, 2019; Ophelia, 2018; Wibisena & Iqbal, 2021). Di samping itu, pembangunan ekonomi yang mengarah pada sektor industri kreatif berbasiskan budaya bisa menciptakan dan memperkenalkan serta lebih memamerkan karakter budaya dan etnisitas di Indonesia. Dalam konteks bangunan narasi keindonesiaan, Barker (2011) menegaskan, produser dan sutradara sangat mempertimbangan keberterimaan film mereka oleh penonton di seluruh Indonesia. Pertimbangan komersial memang tidak bisa dihindari, tetapi mereka yakin akan keniscayaan membangun bangsa sebagai satu entitas karena penonton mereka adalah sebuah bangsa. Perbedaan maupun perubahan standar norma etnik Minangkabau yang muncul dalam film dapat pula diinterpretasikan untuk menyesuaikan khalayak penonton yang bukan hanya orang Minangkabau.

Dalam hubungannya dengan perbedaan representasi Minangkabau tersebut, saya menemukan pola bangunan wacana pertentangan dunia tradisi dan modern dalam film-film bermuatan Minangkabau yang dirilis mulai tahun 2000-an. Kesemuanya merepresentasikan perubahan sosial yang terjadi di Minangkabau ditengah pesatnya pertumbuhan ekonomi dan teknologi. Sayangnya, dalam pertentangan tersebut dunia tradisi Minangkabau direpresentasikan mengalami kekalahan, paling tidak ada negosiasi di dalamnya. Yudha dalam Merantau tewas, Hamid dan Zainab dalam Di Bawah Lindungan Kabah meninggal, Hayati meninggal dan Zainuddin patah hati dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Johar menerima murid silek untuk berkompetisi dalam Surau dan Silek, Laila mengabaikan pranata adat untuk menikah dengan Liam dalam Liam dan Laila, Mak dan Parmanto terpaksa berdamai dengan modernisasi dunia kuliner dalam Tabula Rasa.

 

Bapak, Ibu, dan Saudara.

Industri budaya memang terlihat ramah lingkungan, mempekerjakan pekerja berkeahlian tinggi, berupah tinggi, dan kreatif. Industri budaya juga menghasilkan eksternalitas positif, berkontribusi pada kualitas hidup, dan meningkatkan citra dan prestise daerah setempat (produk lokal). Fakta inilah membuat mereka semakin menarik bagi pembuat kebijakan untuk lebih mengembangkannya (baca: eksploitasi). Pengembangan daerah adalah slogan yang selalu terdengar dalam proses investasi industri. Penataan daerah agar lebih maju, modern, dan tertata menjadi alasan masuknya investasi industri. Dirangkulnya pemerintah daerah adalah wujud mobilisasi sinergi laten kuasa industri. Perekrutan tenaga kerja lokal yang tidak terampil pada akhirnya digantikan tenaga kerja berketerampilan tinggi yang lebih banyak berasal dari luar daerah. Pada akhirnya, kekayaan daerah dieksploitasi atas nama kemajuan. Oleh karena itu, kita perlu mewaspadai istilah industri kreatif berbasis budaya.

Namun demikian, terlepas dari wacana yang dibangun dalam film bermuatan Minangkabau, film-film ini adalah wujud kesadaran akan beragamnya etnik di Indonesia. Representasi konflik sosial di dalam film juga akan menumbuhkan kesadaran perbedaan etnisitas adalah hal yang wajar. Sebagai bentuk representasi, film bermuatan Minangkabau adalah gambaran terbatas atas kondisi dan dinamika sosial di Minangkabau khususnya, Indonesia pada umumnya.

Tampaknya, khalayak penikmat film di Indonesia masih cenderung menerima pola perulangan yang menjadi anggapan umum bagi kekhasan orang etnis tertentu (stereotype). Jika dibandingkan, khalayak lebih menerima gambaran orang Minangkabau yang pelit, orang Jawa yang mengalah, orang Batak yang keras kepala seperti contoh yang digambarkan dalam salah satu sinetron, Suami-Suami Takut Istri (2007). Khalayak penikmat lebih menerima film karya Djajakusuma Malin Kundang Anak Durhaka (1971) daripada cerpen Malin Kundang Ibunya Durhaka karya A.A. Navis. Oleh karenanya, pembicaraan terhadap etnisitas di Indonesia tidak bisa lepas dari pemahaman stereotip. Meskipun berbeda, kedua hal tersebut sering kali dianggap sama. Beberapa hal yang telah dianggap sebagai identitas etnik Minangkabau antara lain bahasa, merantau, kuliner, sistem matrilineal, dan rumah gadang. Pemahaman tentang karakter orang Minangkabau yang kikir, mau menangnya sendiri, cerdik cenderung licik, dan pedagang sukses adalah stereotip.

Harus diakui, penonton bukan Minangkabau (Indonesia) akan lebih mudah menerima pengisahan  dan visualisasi Minangkabau dalam bentuk demikian. Pengetahuan terhadap stereotip Minangkabau adalah horison harapan penonton Kesengajaan salah interpretasi dan representasi terhadap norma dan tatanan sosial Minangkabau pada akhirnya “dapat dimaklumi” dalam konteks ini. Memang, Minangkabau ditampilkan sebatas sebagai simbol-simbol budaya melalui unsur-unsur ikoniknya dan semua representasi tersebut membangun Minangkabau sebagai wujud imajinasi dari sudut pandang sutradara yang berlatar belakang ekonomis. Minangkabau yang demikian ini saya sebut sebagai “Minangkabau Terbuka”, Minangkabau kreatif, Minangkabau yang Indonesia. Sebagai produk industri, “Minangkabau terbuka” dapat dipandang sebagai Minangkabau yang telah diolah untuk dijual. Dari sudut pandang penonton, “Minangkabau terbuka” ini dibangun dari pemahaman mereka, yaitu penonton Indonesia.

 

Bapak, Ibu, dan Saudara.

Ya. Minangkabau sedang galau. Mau tetap di tengah, ke kanan, atau ke kiri? Lalu, akankah kita juga harus ikut galau?

Saya berpendapat, tak perlu ikut galau menghadapi kegalauan Minangkabau dan mendengar gugatan Minangkabau. Kita hanya perlu arif menyikapinya. Yang kita perlu lakukan adalah menguatkan pengetahuan keminangkabauan untuk mengimbangi perubahan. Perubahan apa? Perubahan perilaku kita karena Minangkabau tidak akan pernah berubah. Saya mengutip pernyataan senior, kolega, sekaligus guru saya, Prof. Oktavianus. “Nilai dan norma itu tetap. Yang berubah adalah perilaku manusia.” Dan selalu saja, korbannya adalah kambing, kambing hitam. Ya, kambing hitamnya adalah zaman dan teknologi. Teknologi diciptakan untuk mempermudah hidup manusia, bukan sebaliknya.

Lalu apa perangkatnya (tools)? Tak lain adalah literasi. Tugas kita sebagai salah satu ujung trisula (bukan tombak) literasi. Alim ulama, niniak mamak, cadiak pandai. Tak akan pula berhasil apabila ketiganya berjalan tidak seiring. Sinergi ketiganya sesuai tema ulang tahun FIB sekarang, basamo mako manjadi. Jangan kita menjadi malin kundang yang lupa dan durhaka pada ibu Minangkabau. Malin kundang yang pergi merantau tak kembali. Atau Malin kundang yang tak lagi mengenal ibu Minangkabau yang rusak diekspoitasi. Tak patut pula kita menyalahkan zaman dan teknologi tanpa meneruskan pengetahuan keminangkabauan kepada anak dan kamanakan.

Demikian. Semoga bermanfaat. Sehat selalu dan terima kasih.

Wassalamualaikum.

*Dosen Sastra Minangkabau FIB Unand

[*] Naskah Orasi Ilmiah dalam rangka Dies Natalis FIB Unand ke-41, 7 Maret 2023.


Tag :#Opini #Didaktika #Orasi Ilmiah #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com