HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Selasa, 20 Juni 2023

Minangkabau Dalam Film Indonesia: Sebuah Catatan Singkat (6)

Opini
Opini

Minangkabau dalam Film Indonesia: Sebuah Catatan Singkat (6)

Oleh: Herry Nur Hidayat*

 

Untuk kesekian kalinya, karya Hamka diangkat ke layar lebar. Tenggelamnya Kapal van der Wijck adalah salah satu karya besarnya. Cerita ini awalnya dimuat secara bersambung di majalah Pedoman Masyarakat pada tahun 1938 dan diterbitkan sebagai roman (novel) pada tahun 1939. Pada tahun 2013, Sunil Soraya mengangkat cerita novel ini sebagai sebuah film dan menyutradarainya.

Pada bagian ini, saya akan menguraikan pengamatan saya terhadap muatan keminangkabauan dalam film Tenggelamnya Kapal van der Wijck ini.

Tenggelamnya Kapal van der Wijck (Sunil Soraya, 2013)

Alih wahana novel Buya Hamka, Tenggelamnya Kapal van der Wijck (2013), bisa dianggap sebagai puncak visualisasi Minangkabau dalam film Indonesia melalui sinematografinya. Film ini disutradarai Sunil Soraya dan diproduksi oleh Soraya Intercine Films Seperti halnya bentuk ekranisasi karya Hamka sebelumnya yaitu film Di Bawah Lindungan Ka’bah (2011), film ini tampaknya juga mencoba setia pada cerita novel aslinya.

Film ini berkisah tentang kehidupan tokoh Zainuddin. Keinginannya melihat kampung halaman ayahnya, Batipuh, membuatnya berangkat dari Makasar, tanah kelahiran ibunya. Di Batipuh, Zainuddin bertemu dengan Hayati. Akan tetapi, menurut adat Minangkabau, Zainuddin dianggap orang tak bersuku dan tidak beradat. Penolakan ini membuatnya pergi ke Padangpanjang dan di sinilah dia bertemu Muluk. Setelah pinangannya kepada Hayati ditolak dan Hayati menikah dengan Azis, Zainuddin bersama Muluk merantau ke Jawa. Di Batavia, Zainuddin berhasil menjadi seorang penulis novel. Kecakapannya menulis membuatnya ditawari mengelola sebuah surat kabar di Surabaya. Di sinilah Zainuddin kembali bertemu Hayati dan Azis. Karena perilakunya, Azis dipecat dari pekerjaannya dan menanggung banyak hutang. Azis bunuh diri menanggung malu setelah sebelumnya menyerahkan Hayati kepada Zainuddin. Oleh karena dendamnya, Zainuddin menolak menerima Hayati kembali dan mengirimnya pulang ke Padang menumpangi kapal Van Der Wijck. Akan tetapi, kapal mengalami kecelakaan dan tenggelam. Meskipun bisa diselamatkan dari kecelakaan, Hayati meninggal.

Poster film Tenggelamnya Kapal van der Wijck (sumber: filmindonesia.or.id )

 

Film Tenggelamnya Kapal van der Wijck ini tampak mengandalkan tampilan visual rumah gadang dan rangkiang dengan atap gonjongnya sebagai penanda keminangkabauan. Di samping turut membangun latar tempat cerita, tampilan visual rumah gadang juga turut membangun suasana serta bangunan tokoh-tokoh di dalamnya. Menariknya, rumah gadang dalam film ini ditampilkan memiliki fungsi sosial bagi masyarakat Minangkabau. Terdapat adegan perundingan keluarga besar Hayati ketika menerima lamaran dari Azis dan Zainuddin untuk Hayati dan pelaksanaan upacara pernikahan Hayati dengan Azis.

Film ini tampak berusaha merepresentasikan rumah gadang sebagai bangunan adat yang memiliki fungsi domestik sebagai rumah tinggal dan pelaksanaan upacara-upacara adat keluarga. Rumah gadang dalam budaya bermukim masyarakat Minangkabau tidak hanya sebagai tempat kediaman keluarga, tetapi juga sebagai lambang identitas suatu kaum, pusat kehidupan dan kerukunan, seperti tempat bermufakat dan melaksanakan berbagai upacara.

Meskipun hanya sekilas, kemunculan surau dalam film Tenggelamnya Kapal van der Wijck menggambarkan pentingnya surau dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau. Terdapat sebuah adegan saat Zainuddin mencoba berbaur dengan pemuda-pemuda Batipuh yang tengah berdiskusi di surau. Akan tetapi, niat Zainuddin ditolak karena dia dianggap sebagai pendatang dan bukan orang Minangkabau. Bagi laki-laki Minangkabau, surau adalah salah satu tempat yang harus dilalui dalam proses kehidupannya. Surau merupakan tempat berkumpulnya laki-laki yang tidak memiliki tempat di rumah gadang. Dalam sejarah perkembangannya, surau bukan hanya berfungsi sebagai tempat ritual keagamaan Islam semata, tetapi juga memiliki fungsi sosial sebagai tempat laki-laki Minangkabau menghabiskan malam. Surau merupakan tempat sosialisasi bagi pemuda dan solusi bagi laki-laki lajang, sebagai dampak dari sistem sosial matrilineal sekaligus tempat bertemunya adat dan Islam sebagai bahan pembelajaran.

Beragam wujud pakaian khas Minangkabau juga muncul dalam film ini. Suntiang, saluak, tingkuluak, deta, dan galembong tampil menjadi salah satu indikator keminangkabauan. Perlu digarisbawahi bahwa kemunculan pakaian khas Minangkabau tersebut tidak hanya membangun tokoh, tetapi juga menjadi unsur penting dalam cerita dan penceritaan. Kesemuanya muncul dalam bentuk keunikan etnik Minangkabau jika akan disandingkan dengan etnik lain. Kemunculannya bukan hanya sekadar pembangun latar cerita.

Sebagai contoh, dalam adegan pernikahan Hayati tampak para mamak dan penghulu mengenakan pakaian khas penghulu Minangkabau. Ciri khas yang tampak pada data tersebut adalah saluak dan baju hitam longgar yang dikenakan tokoh. Jika disesuaikan dengan latar cerita (Batipuh), saluak tersebut adalah saluak batimbo. Baju hitam longgar yang dikenakan tokoh berbahan beludru atau satin yang ditaburi benang emas sebagai ukiran. Baju hitam ini tidak berbuah (kancing), lengannya lebar yang panjangnya hanya sedikit di bawah siku. Baju ini tidak bersaku, leher lepas tidak berkerah, hanya dibelah sampai dada tanpa memakai buah (Ibrahim, dkk., 1985).

Dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini juga ditampilkan acara bainai sebelum upacara pernikahan. Acara malam bainai dilakukan pada malam hari baralek di rumah masing-masing pihak marapulai ataupun anak daro. Bainai adalah memerahkan kuku pengantin dengan daun inai yang telah dilumatkan. Upacara ini dilakukan pada waktu malam hari sebelum marapulai dijemput untuk dibawa ke rumah anak daro. Pada malam itu dari rumah anak daro datang pula utusan yang membawa baju adat lengkap ke rumah marapulai.. Di beberapa wilayah, inai juga menjadi kelengkapan pelaminan. Daun pacar cina yang sudah digiling dengan campurannya diletakkan di suatu wadah kecil yang ditempatkan di depan pelaminan di tempat duduk calon mempelai.

Di samping citraan visual tersebut di atas, beberapa muatan keminangkabauan juga ditampilkan secara nonvisual. Wacana tentang Minangkabau juga dibangun melalui beberapa unsur tersebut. Adapun uraiannya akan saya sampaikan pada bagian selanjutnya. (bersambung)

*Dosen Sastra Minangkabau FIB Unand

 

 


Tag :#Opini #Didaktika #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com