HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Rabu, 8 Maret 2023

Minangkabau Dalam Film Indonesia: Sebuah Catatan Singkat (3)

Opini
Opini

Minangkabau dalam Film Indonesia: Sebuah Catatan Singkat (3)

Oleh: Herry Nur Hidayat*

 

Pada bagian sebelumnya, kita telah sampai pada pembicaraan terhadap film Salah Asuhan. Berikut ini, saya menguraikan muatan keminangkabauan dalam film Para Perintis Kemerdekaan (Asrul Sani, 1977). Kembali mengadaptasi novel, pada tahun 1977 Asrul Sani menyutradarai film Para Perintis Kemerdekaan yang diadaptasi dari novel karya Hamka Di Bawah Lindungan Ka’bah. Film ini meraih penghargaan sebagai Film Terbaik pada FFI 1981. Dalam filmnya ini, Asrul Sani merombak cerita novel sebagai bentuk interpretasinya terhadap karya Hamka ini. Bisa dikatakan, kesetiaannya pada cerita novel hanya terbatas pada tokoh dan penokohan dalam cerita. Asrul Sani membangun alur melalui sudut pandang yang berbeda.

Description: ../../poster/Para_Perintis_Kemerdekaan_(1977;_obverse;_wiki).jpg

Poster film Para Perintis Kemerdekaan  (sumber: filmindonesia.or.id).

 

Cerita dibuka dengan peristiwa pengadilan Haji Jalaluddin yang dituduh menghasut jamaahnya untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Cerita bergulir mengisahkan Halimah. Halimah adalah istri Sidi Marajo yang karena tidak setuju dengan perilaku istrinya mengikuti pengajian-pengajian, Sidi Marajo menuduh Halimah sebagai istri yang durhaka. Atas pertimbangan Kadi Haji Makmur, Halimah dijatuhi hukum nusyuz, tidak diberi nafkah tetapi tidak diceraikan. Pengaduan dan keberatannya kepada Kadi Haji Makmur tidak diterima. Oleh karenanya, Halimah mulai mempertanyakan hukum agama Islam yang membuatnya menderita.

Hamid adalah anak Haji Ahmad, seorang tokoh seperjuangan Haji Jalaluddin yang meninggal karena sakit hati ditindas oleh Belanda. Oleh Haji Jakfar, Hamid disekolahkan hingga sekolah menengah MULO di Padang. Kemudian Hamid meneruskan belajar ke surau Haji Wali di Padangpanjang. Bersama Fakhruddin dan Zainuddin, Hamid ikut serta dalam pergerakan perlawanan terhadap Belanda melalui penerbitan sebuah majalah.

Sementara itu, Halimah mengadukan nasib yang dialaminya kepada Haji Wali melalui surat. Haji Wali mengutus Hamid dan Fakhrudin menyelesaikan kasus tersebut. Di sinilah titik pertemuan tokoh Hamid dan Halimah. Hamid menyarankan agar Halimah mengajar Zainab menjahit untuk mencukupi kebutuhannya.

Oleh karena kasus Halimah, Haji Wali mengumpulkan para ulama terkemuka di Minangkabau untuk membahasnya. Pada akhirnya, mereka menyimpulkan hukum yang dijatuhkan kepada Halimah tidak kuat dasarnya. Hukum itu dijatuhkan oleh karena pengaruh pemerintah Belanda agar tidak banyak yang mengikuti pengajian-pengajian. Sementara itu, di waktu yang sama, Halimah berniat untuk murtad dari agama Islam karena ingin lepas dari ikatan perkawinan dengan Sidi Marajo. Akan tetapi, niat tersebut diurungkannya bersamaan dengan keputusan para ulama. Kemudian Halimah aktif dalam pergerakan perempuan untuk meninggikan derajat perempuan dan mengembangkan diri. Kegiatannya dicurigai sebagai gerakan yang menghasut hingga akhirnya dia ditangkap, diadili, dan dihukum penjara.

Sementara itu, Hamid dan Zainab ternyata saling mencintai. Ibu Hamid telah mencegah Hamid agar tidak meneruskan perasaannya. Hamid diminta untuk meneruskan perjuangan ayahnya melawan pemerintah Belanda. Oleh karena itu, saat Zainab dipinang oleh Wahab, Hamid menyarankan agar Zainab menerimanya. Pernikahan Zainab dan Wahab dilaksanakan tepat sebelum Haji Jakfar meninggal.

Zainuddin memilih jalan perlawanan yang berbeda yaitu peperangan. Sementara Hamid dan Fakhruddin berjuang dengan provokasi kebangsaan melalui tulisan-tulisan di majalah. Oleh karena pergerakan perlawanan semakin gencar, tokoh-tokoh perlawanan mulai ditangkap dan diasingkan. Setelah Zainuddin gugur, Fakhruddin menyarankan agar Hamid meninggalkan Indonesia dan menambah pengalaman untuk kembali meneruskan perjuangan. Hamid akhirnya bersedia melarikan diri. Melalui Malaka, dia kemudian berlayar ke Makkah.

Citraan visual yang menunjukkan unsur keminangkabauan dalam film Para Perintis Kemerdekaan ini tidak banyak ditemukan. Hal ini dapat dihubungkan dengan tema cerita yang mengangkat perjuangan perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda. Minimnya citraan visual bukan berarti minimnya keminangkabauan dalam film ini. Menilik latar waktu cerita (tahun 1920-an), tampaknya sutradara mencoba mengangkat peran dan kedudukan Minangkabau (Sumatera Barat) dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia pada masa kolonial Belanda.

Atap gonjong, sebagai ciri ikonik Minangkabau, muncul dalam wujud atap sebuah gubug di tengah perkebunan. Gubug ini muncul sebagai tempat adu balam. Menurut Arisman (2011) tidak diketahui mulai kapan dan bagaimana adu balam ini mulai dilakukan di wilayah Minangkabau. Kegiatan ini, tampaknya hanya semata-mata kegiatan hobi pelepas lelah laki-laki Minangkabau setelah seharian beraktivitas. Hal ini ditegaskan Permana (2016) bahwa kegiatan ini telah ada sejak lama di Minangkabau dan menjadi ajang silaturahmi.

Pakaian tradisional Minangkabau dalam Para Perintis Kemerdekaan ditampilkan melalui beberapa tokoh dan dalam sebuah adegan arak-arakan pengantin. Beberapa tokoh yang menyandang status sosial sebagai aparat pemerintahan tampak mengenakan saluak sebagai tanda kedudukan dan status sosialnya. Pakaian pengantin dan pengiringnya menunjukkan pakaian tradisional, diantaranya saluak, suntiang, dan tingkuluak. Di samping itu, dalam arak-arakan tersebut juga tampak alat musik tradisional talempong pacik. Talempong telah dikenal menjadi identitas kedaerahan Minangkabau. Talempong adalah alat musik pukul berbentuk gong kecil yang terbat dari campuran kuningan, timah, dan tembaga. Dari berbagai bentuk dan ragamnya, talempong pacik dimainkan dengan cara dipacik ‘dipegang’. Dalam sebuah arak-arakan perkawinan, musik talempong pacik yang dimainkan mengandung pesan kegembiraan dan memberitahukan kepada masyarakat tentang adanya kegiatan kenduri atau helat perkawinan.

Dalam film ini juga ditampilkan muatan merantau. Perilaku merantau ini ditampilkan melalui tokoh Hamid. Setelah menamatkan sekolah menengah, Hamid memutuskan untuk meninggalkan Padang untuk belajar ilmu agama Islam di surau Haji Wali di Padangpanjang. Pada cerita selanjutnya, Hamid terpaksa meninggalkan Indonesia untuk menghindari penangkapan aktivis perlawanan oleh pihak pemerintah Belanda. Dalam hal jangkauan wilayah geografis, perilaku merantau tokoh Hamid tersebut juga menunjukkan konsep marantau dakek dan marantau jauah. Saat Hamid meninggalkan Padang menuju Padangpanjang dapat disebut sebagai marantau dakek, sementara saat meninggalkan Indonesia menuju Makkah merupakan marantau jauah.

Perjodohan dan perkawinan ideal Minangkabau juga muncul dalam film ini. Peristiwa perjodohan dan perkawinan Zainab dengan Wahab menunjukkan pemahaman masyarakat Minangkabau akan perkawinan yang ideal. Perkawinan ideal bagi orang Minangkabau adalah perkawinan antara keluarga dekat, yaitu perkawinan antara anak dan kemenakan. Perkawinan demikian lazim disebut sebagai pulang ka mamak dan pulang ka bako. Pulang ka mamak berarti mengawini anak mamak, sedangkan pulang ka bako berarti mengawini kemenakan ayah. Dalam sebuah adegan, tokoh ibu Zainab dengan jelas menyebut Wahab sebagai anak paman Zainab. Oleh karenanya, dapat disebut perjodohan Zainab dengan Wahab adalah perkawinan pulang ka mamak.

Seperti halnya film Salah Asuhan, Asrul Sani mengadaptasi cerita Di Bawah Lindungan Kabah karya Hamka menjadi karya yang mengangkat isu nasional. Peristiwa-peristiwa yang ditampilkan tidak lagi terbatas pada Minangkabau, tetapi karakter kebangsaan Indonesia. Sutradara berhasil mengangkat peran etnik, terutama Minangkabau, dalam perjuangan perlawanan terhadap penjajahan kolonial Belanda. (bersambung)

*Dosen Sastra Minangkabau FIB Unand


Tag :#Opini #Didaktika #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com