HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Rabu, 4 Januari 2023

Minangkabau Dalam Film Indonesia: Sebuah Catatan Singkat (1)

Orasi Ilmiah Herry
Orasi Ilmiah Herry

Minangkabau dalam Film Indonesia: Sebuah Catatan Singkat (1)

Oleh: Herry Nur Hidayat*

 

Sebagai salah satu suku besar di Indonesia, bukan satu atau dua kali Minangkabau diangkat dan muncul dalam film. Menurut catatan saya, dalam kurun waktu 1930 – 2018, tidak kurang dari dua puluh judul film Indonesia yang mengangkat Minangkabau. Catatan ini tidak menghitung film-film independen yang dibuat oleh lembaga atau komunitas.

Di lihat dari sumber penciptaan film dengan muatan keminangkabauan, folklor dan karya sastra masih tampak mendominasi sumber penciptaan ini. Beberapa judul novel karya sastrawan asal Minangkabau (Sumatera Barat) diangkat menjadi film layar lebar, di antaranya Melati Van Agam, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, dan Di Bawah Lindungan Ka’bah. Di samping ditampilkannya ikon-ikon Minangkabau secara visual (rumah gadang, marawa, suntiang, dan lain-lain), seni tradisi dan tatanan sosial juga muncul dalam film sebagai wujud representasi keminangkabauan (matrilineal, merantau, pacu kudo, dan lain-lain).

Di sisi lain, berbicara tentang identitas etnik tidak bisa lepas dari pemahaman stereotip etnik tersebut. Meskipun berbeda, kedua hal tersebut sering kali dianggap sama. Beberapa hal yang disebut identitas etnik Minangkabau antara lain bahasa, merantau, kuliner, sistem matrilineal, dan rumah gadang. Pemahaman tentang karakter orang Minangkabau yang kikir, mau menangnya sendiri, cerdik cenderung licik, dan pedagang sukses adalah stereotip. Jika identitas muncul dari dalam kelompok sebagai sifat dan kebanggaan, stereotipe muncul oleh karena anggapan atau prasangka subjektif baik dari dalam maupun luar kelompoknya. Ini adalah bukti betapa eratnya hubungan antara karakter individual dengan karakter kelompok etnik.

Tak bisa dipungkiri, sebuah film diproduksi untuk meraih jumlah penonton tertentu untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan untuk pembuatan film tersebut. Film diproduksi dengan mengikuti selera pasar atau masyarakat penonton tersebut. Kesuksesan sebuah film diukur melalui kemampuan film tersebut memberikan ruang untuk penonton melakukan identifikasi terhadap berbagai tanda. Perbedaan lingkungan, pengetahuan, zaman, dan generasi adalah beberapa faktor yang memunculkan perbedaan selera penonton. Tampaknya, beberapa film bermuatan Minangkabau mengandung harapan untuk tidak hanya ditonton oleh masyarakat Minangkabau saja, tetapi masyarakat Indonesia secara luas. Seorang sutradara dan produser film dituntut kejeliannya untuk menyajikan representasi Minangkabau yang dapat juga dinikmati oleh etnik-etnik lain di Indonesia.

Sebagai sebuah representasi, perbedaan Minangkabau yang ditampilkan dalam film bukanlah refleksi atau deskripsi mutlak budaya dan tradisi Minangkabau. Penyajiannya dalam film adalah wujud penyampaian gagasan dan ide, baik sebagai penerimaan atau penolakan terhadap nilai-nilai yang berlaku. Film bermuatan keminangkabauan bisa jadi adalah sebuah tindak komunikasi yang bukan tidak mungkin mengandung tujuan yang tersirat dalam bentuk tanda-tanda atau wacana tertentu. Oleh karena itu, pemaknaan tanda dalam film bermuatan keminangkabauan tersebut tidak cukup hanya pada tataran struktur naratif film saja (tokoh, alur, latar, tema) melainkan juga menghubungkannya dengan fenomena sosial, budaya, dan sejarah.

Rangkaian tulisan ini adalah hasil pengamatan saya terhadap beberapa film Indonesia yang dipandang mengandung keminangkabauan. Sebelum saya mulai, satu catatan penting yang perlu digarisbawahi adalah perbedaan antara film bermuatan keminangkabauan dengan film berlatar Minangkabau (Sumatera Barat). Hal ini berhubungan erat dengan pemahaman tentang identitas, terutama etnik Minangkabau. Adapun pembicaraan terhadap keminangkabauan ini dibagi menjadi aspek visual dan nonvisual. Di samping itu, saya juga membatasi pembicaraan terhadap film dalam konteks film-film layar lebar dan pengamatan terbatas pada unsur cerita dan penceritaan. Oleh karena cukup panjang, saya membangi uraian ini menjadi beberapa tulisan.

Harimau Tjampa (D. Djajakusuma, 1953)

Harimau Tjampa dirilis pada tahun 1953 oleh Perfini. Film ini disutradarai oleh R. Djajakusuma dengan menonjolkan aksi laga silek (silat Minangkabau). Film ini meraih penghargaan FFI 1955 sebagai film dengan skenario terbaik dan penghargaan FFA Singapura untuk musik. Biran (2009) menyebut Harimau Tjampa adalah wujud idealisme Perfini untuk menghasilkan film bagus dan berselera tinggi sehingga tetap diproduksi dalam kondisi keuangan yang sulit.

Poster film Harimau Tjampa (imdb.com).

Film yang masih berformat hitam putih (B/W) ini bercerita tentang kehidupan Lukman yang merantau untuk belajar silek (silat). Pada awalnya Lukman berniat berguru pada Datuk Langit, seorang pendekar di kampung Pauh. Oleh karena beratnya syarat untuk menjadi muridnya, Lukman berguru pada Saleh. Di sisi lain, Saleh telah mengetahui niat Lukman yang sebenarnya, yaitu mencari pembunuh ayahnya untuk membalas dendam. Dalam masa-masa perantauannya itu, Lukman jatuh hati pada Kiah. Akan tetapi, Biran kakak Kiah tidak menyetujuinya. Akibat kecerobohannya, Lukman secara tidak sengaja membunuh Biran dan Lukman dihukum penjara selama 2 tahun. Di dalam penjara, melalui salah seorang tahanan lain, Lukman mengetahui bahwa pembunuh ayahnya adalah Datuk Langit. Lukman melarikan diri dari penjara untuk membalas kematian ayahnya pada Datuk Langit. Keduanya bertarung dan Lukman dapat mengalahkan Datuk Langit. Di akhir cerita, Lukman kembali ditangkap. Sementara itu, Datuk Langit juga ditangkap atas tuduhan melakukan pembunuhan atas Ali Akbar, ayah Lukman.

Bisa dikatakan bahwa film Harimau Tjampa ini mengandung cerita yang sederhana. Muatan utama film ini adalah balas dendam. Akan tetapi, tampilnya unsur-unsur keminangkabauan yang cukup kental menjadi keunggulan film ini, terutama silek (silat). Penonton yang paham dengan silek akan mengidentifikasi gerakan jurus yang ditampilkan dalam Harimau Tjampa ini adalah silek. Sementara itu, penonton bukan Minangkabau akan mengidentifikasinya sebagai silat. Akan tetapi, silat ini menjadi silek karena berhubungan erat dengan surau. Silek dalam Harimau Tjampa dibangun beriringan dengan kehidupan surau di Minangkabau. Visualisasi inilah yang dapat disebut sebagai salah satu kekuatan keminangkabauan dalam film ini. Hal ini saya bandingkan dengan film Merantau dan film Surau dan Silek yang sama-sama mengangkat silek dan diuraikan pada bagian lain rangkaian tulisan ini.

Dalam Harimau Tjampa, rumah gadang muncul sebagai rumah tinggal tokoh, tetapi tidak semata-mata membangun latar cerita. Rumah gadang dalam film ini ditampilkan sebagai pusat kehidupan masyarakat Minangkabau melalui peristiwa perhelatan yang diadakan oleh Datuk Langit. Rumah gadang secara jelas juga menunjukkan status sosial pemiliknya, yaitu suku atau kaum, bukan pribadi. Dalam film ini, teknik pengambilan gambar terhadap rumah gadang turut membangun kekuatan muatan keminangkabauan. Dalam hal ini adalah teknik bergerak menyapu seluruh tampilan fisik (panning) dan teknik low shot.

Perbedaan status sosial di Minangkabau, dalam film ini juga ditampilkan melalui kostum tokoh-tokohnya. Dalam beberapa adegan, muncul pakaian khas Minangkabau yaitu tingkuluak tanduak dan saluak. Sementara itu, kesenian khas Minangkabau, yaitu saluang, alat musik talempong, dan randai yang meskipun muncul sekilas, ditampilkan untuk menguatkan bangunan keminangkabauan dalam sebuah adegan peristiwa. Dalam hal ini memperkuat status sosial tokoh Datuk Langit.

Satu unsur keminangkabauan dalam Harimau Tjampa yang muncul tidak dalam bentuk visual adalah merantau. Hal ini akan saya uraikan pada bagian selanjutnya. (bersambung)

*Dosen Sastra Minangkabau FIB Unand

 


Tag :#Opini #Didaktika #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com