HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Kamis, 22 Agustus 2024

Filosofi Surau

Opini Bahren
Opini Bahren

Filosofi Surau

Oleh: Bahren*

            Surau di Minangkabau senantiasa diidentikkan dengan sebuah tempat ibadah, baik itu sholat mengaji maupun ibadah sosial lainnya, seperti bersilat dan belajar petatah petitih dan adat Minangkabau. Secara umum surau di Minangkabau dibagi atas dua jenis, surau gadang dan surau ketek, Surau gadang biasanya dijadikan sebagai pusat dalam pembelajaran, di sana berdiam guru atau tuanku sementara surau ketek berada mengelilingi surau gadang dan didiami oleh para murit dari guru-guru ini. Biasanya surau gadnag diberi nama sesuai dengan nama gutu atau taunku yang berdiam dan mengajar di surau tersebut. Seperti Surua Syeh Paseban, Surau Syekh Aluma dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangannya saat ini surau-surau itu adakalanya berubah menjadi sekolah maupun pesantren.

            Di surua, pada masa lampau selain berfungsi sebagai tempat belajar agama, surau juga dijadikan sebagai tempat belajar adat dan kebudayaan Minangkabau. Tempat ini dijadikan tempat belajar bersilat. Silat yang diajarkan pun tidak hanya sekedar bersilat secara fisik atau pancak, lebih dari itu silat secara lisan pun diajari melalui pelajaran alua pasambahan.

            Secara fisik silat pancak, pada dasarnya untuk mencari kawan dan melindungi diri, namun, secara batin silta justru memupuk rasa silaturrahmi,, Surau sebagai tempat mempejarai silat sebagai ilmu bela diri dan bukan untuk membangga banggakan diri. Silat mengajarkan para pesilat untuk senantiasa tidak mencari lawan, mereka selalu menanamkan adagium lawan indak dicar, batamu usah diilakkan. Tabujua lalu tabulintang patah.

            Secara lisan, di surau juga diajarkan bersilat lidah, kemahiran dalam bersilat lidak atau baa alua pasambahan juga menjadi bagian terpenting pendidikan yang diberikan di surau-surau pada masa lampua. Para remaja yang belajar di surau diajarkan dengan baik bagaimana memberikan saran dan pendapat secara lebih bijaksana. Pada pelajaran ba alua pasambahan para pemelajara diberikan pengetahuan akan pentingnya mengkorfirmasi setiap permasalah atau info yang diarahkan atau yang dialamatkan kepada kita. Setiap pihak yang dimintai pertimbahangan dalam pasambahan tidak akan serta merta memberikan langsung respon atau jawaban yang final terhadap lawan bicaranya.

            Pihak yang dimintai pertimbangan senantiasa akan menikam jejak pembicaraan mitranya dengan cara mengulang sebagian dari hal ikhwal dan maksud pembicaraan yang dituturkan kepadanya. Mmengulang sebagian maksud mitra bicara itu dimaksud untuk memastikan apakah maksud mitra bicara itu memang demikian adanya.

            Setelah mengetahui maksud mitra bicara pun pihak yang dimintai pendapat tidak akan langsung memberikan jawaban, melainkan mengabarkan permintaan mitra tersebut pada khalayak yang hadir dalam kegiatan tersebut bahwa ada permintaan sesuai dengan harapan mitra. Persetujuan dan konfirmasi kembali diminta kepada khalayak. Jika khalayak yang hadir menyetujuinya makan jawaban yang telah disepakati itu dikembalikan kepada pihak mitra bicara ketika berpasambahan. Inilah agaknya azaz cek dan ricek terhadap suatu masalah itu penting dilakukan.  

            Demikianlah beberapa hal yang dianggap perlu dan masih relevan untuk dikembangkan di surau-surau yang ada saat ini. Surau nyaris hanya dibangun sebagai bentuk untuk mengingat masa lalu, namun tidak difungsikan sesuai dengan fungsinya di masa lalu. Ada banyak surau saat ini, jangankan difungiskan untuk belajar bersilat dan berpasambahan, kadang kala untuk shiolat lima waktu saja surau tidak lagi digunakan. Jika pun digunakan tidak jarang kita lihat yang ada di surau hanya muazin yang merangkap menjadi imam sekaligus makmum ketika sholat wajib lima waktu.

*Dosen Sastra Minangkabau FIB Unand


Tag :#Opini #Didaktika #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com