HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Jumat, 27 Oktober 2023

“BASORAK” MANGGALEH ALA PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR RAYA PADANG

OPini Diah Noverita
OPini Diah Noverita

BASORAK” MANGGALEH

ALA PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR RAYA PADANG

OLEH: Dr. Diah Noverita, M.Hum

 

Basorak ‘bersuara keras dan berulang-ulang seperti orang berteriak’ adalah trik memperkenalkan barang dagangan oleh pedagang kepada pembeli. Sementara “manggaleh” adalah istilah dalam bahasa Minangkabau yang dapat diartikan sebagai berdagang atau berjualan. (Kamus Online). Beberapa dialog tentang orang Minang dalam “manggaleh” yaitu, “Lai manggaleh juo amak?” Masih berjualan juga amak?” Dima tampek manggaleh uda kini?’ ‘Dimana lokasi uda berdagang sekarang?” Kata “manggaleh” merupakan kosa kata klasik bahasa Minangkabau, karena kata “manggaleh” telah lama sekali ada dikehidupan orang Minangkabau. Kata “manggaleh” muncul sesuai dengan keberadaan orang Minangkabau yang menganut budaya merantau. Secara linguistik, kata “manggaleh”, tidak bisa diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi menggelas. Terjemahan “manggaleh” menjadi menggelas, bersifat tidak baku dan tidak berterima secara linguistik. Tidak juga bisa diartikan “manggaleh” berarti pedagang yang menjual gelas, walaupun kenyataannya barang dagangannya ada menjual gelas atau pecah belah.  Makna “manggaleh” memuat makna filosofi yang tinggi yang harusnya dipahami oleh semua orang-orang Minang yang berdagang/berjualan. Hal ini, karena “manggaleh” adalah suatu aktivitas, sebuah pekerjaan yang didalamnya memuat barang/benda yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan, nilai kehidupan, nilai usaha/perjuangan, nilai tanggung jawab dan nilai-nilai kepercayaan antar sesama manusia. Barang dagangan yang diperjualbelikan tersebut haruslah berdaya guna, dan bernilai ekonomi dalam bentuk uang sebagai bukti transaksinya. Didalam uang dan barang dagangan, melekat beberapa unsur nilai sosial budaya dan agama, seperti laba dan rugi, kaya dan miskin, banyak dan sedikit, halal dan haram, jujur dan bohong, dll.

Basorak” ketika berjualan, merupakan hal yang biasa dan rutinitas yang selalu diucapkan oleh ibu-ibu supaya barang dagangannya diketahui pembeli, dan mau membelinya. Kata-kata yang disorakkan itu merupakan kata-kata yang menyebutkan jenis barang dagangannya, dan jumlah harganya. Situasi sosial ini selalu ditemui setiap hari di pasar raya Padang, khususnya sore hari. Boleh dikatakan ini merupakan salah satu bentuk marketing tradisional (penjualan cepat, praktis dan jelas) yang hanya ada di pasar raya Padang. Uniknya, pelaku basorak ini, kebanyakan ibu-ibu pedagang, yang biasa disapa oleh pembeli dengan sapaan one, uni, ibuk, dan amak. Sementara penjual akan menyapa pembeli dengan sapaan diak, buk dan pak. Tidak ada didengar sapaan jual beli seperti dengan sapaan mama, tante, om, buya, angku, dll. Kadang-kadang ada juga terdengar beberapa pedagang penyapa pembeli dengan sapaan bunda. Biasanya ini diucapkan oleh penjual kepada pembeli yang sudah tua, tetapi penampilannya modis, seperti menyapa kepada perempuan yang berpenampilan pegawai kantoran dan memakai asesoris/perhiasan. Tidak ada didengar sapaan nama penjual ataupun nama pembeli, karena dalam transaksi jual beli seperti ini juga tidak mementingkan nama asli, dan tidak ada juga pertanyaan yang berhubungan dengan menanyakan nama penjual ataupun pembeli.

 “Basorak” sebagai bentuk promosi dagangan adalah bagian terpenting dalam kiat dan strategi penjualan suatu barang dagangan kepada pembeli. “Basorak” dalam konteks ini berbentuk kata-kata dan kalimat langsung dan spontan yang diucapkan oleh pedagang sebagai pemilik barang, kepada pembeli yang tertarik untuk membeli barang dagangan tersebut. Tujuan para pedagang pasar raya ini antara lain adalah menarik perhatian pembeli untuk singgah di depan jualannya, melihat-lihat, memilih-milih, dan tertarik, serta mulai menawar barang dagangan tersebut. Namun secara umumnya hanya satu tujuan para pedagang “basorak” mempromosikan dagangannya yaitu: barang dagangannya dibeli orang dengan harga yang sudah ditentukannya. Barang dagangannya laris manis, dan bisa membawa banyak uang untuk pulang. Soal harga, biasanya berlaku sama dan bersifat universal. Artinya antara pedagang yang satu dengan pegadang lainnya, menetapkan harga yang sama terhadap jenis dagangan yang sama pula. Tetapi uniknya, tidak juga semua pedagang lado ‘cabe’, pedagang bawang, dan pedagang sayuran mau “basorak” dalam manggaleh ‘berjualan’. Barang dagangan kaki lima yang sering dijualkan dengan cara “basorak”, yaitu: lado ‘cabe’ merah dan cabe hijau, sayur sayuran yang diikat (bayam, buncis, kacang panjang, kangkung), beberapa sayuran yang ditumpuk dijadikan satu paket (ada buncis, wortel, japan), petai, jengkol. Ada juga jenis buah, seperti limau manis, pisang, pepaya, jeruk nipis. Ada juga ikan kering asin seperti teri, teri medan, dan lauak. Selain itu, yang disorakkan, seperti asesoris murah meriah: cermin kecil, ikat rambut, jepit rambut, bando rambut, jarum pentul. Asesoris ini biasanya satu paket yang berisi tiga macam benda. Boleh dipilih mana yang diinginkan. Pedagang pakaian impor, banyak diserbu ibu-ibu, bapak-bapak, anak gadis dan bujang dan mahasiswa. Barang bagus harga menenggang. Beda halnya dengan jilbab, yang biasanya banyak bergantungan sepanjang jalan pasar raya sampai Permindo. Ada juga penjual jilbab dadakan, yang mau menjual di kaki lima bergabung dengan penjual bawang dan sayuran yang ada disebelahnya. Penjual jilbab dadakan ini hanya dapat ditemui sekali-kali, dan sifatnya kebetulan saja. Harga jilbabnya pun kadang tidak masuk akal, karena penjualnya berani menjual dengan harga miring, seharga Rp 15 ribu untuk kualitas kain jilbabnya yang mestinya dijual dengan harga Rp 35 ribu. Penulis menanyakan hal ini kepada penjual, “Apo ibuk ndak rugi manjua jo harago sagiko (Rp 15 ribu)?”  ‘Apa ibu tidak rugi menjual dengan harga ini (Rp 15 ribu)?” Respon ibu penjual santai saja sambil tersenyum: “Nan paralu pitih capek dapek, barang ko (jilbab) abih tajua, banyak nan mambal!i” ‘Yang perlu uang cepat dapat (dagangan) jilbab ini habis terjual, banyak yang membeli!” 

Bentuk-bentuk kalimat “basorak” ketika manggaleh ‘berjualan’ di pasar raya Padang, antara lain:

  1. Balilah...balilah....buk.. ni.. (diucapkan seringkali)...sapuluah ribu se nyo...
  2. Piliahlah...piliahlah buk..ni.. . (diucapkan seringkali)...tigo sapuluah ribu....

(diucapkan seringkali)...

  1. Sayua tigo onggok sapuluah ribu.. (diucapkan seringkali)...murah...murah... (diucapkan seringkali)...buliah piliah..
  2. Patai bareh...boneh-boneh...sakabek limo ribu...(diucapkan berulang-ulang).
  3. Limau manih...balilah...balilah...sakilo salapan ribu...duo kilo limo baleh ribu...
  4. Boncih  murah...balilah..balilah.. sakilo salapan ribu...balilah buk...
  5. Kemeja rancak...jaket rancak, levis, celana panjang...rancak-rancak...baru bukak ball...piliahlah...piliahlah..saalai tigo puluah limo ribu se..

Untuk orang yang tidak biasa mendengarkan langsung, memang kesannya terdengar tidak nyaman, tetapi itulah sisi uniknya orang Minang dalam berusaha. Bentuk kegigihan dan keyakinan dari pedagang dalam berusaha mendapatkan rezeki halal merupakan perilaku yang patut disimak. Ketangkasan dalam gerak tangan juga diikuti dengan gerakan suara yang berulang-ulang. Itulah beberapa bentuk “basorak” dalam manggaleh ‘berjualan’ di pasar raya Padang yang menarik perhatian masyarakat untuk datang berbelanja ke pasar tradisional. Banyak pelajaran hidup dan nilai moral yang dapat kita petik dari kehidupan pasar dan orang-orangnya untuk menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari.

 


Tag :#Opini #Didaktika #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com