HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Kamis, 26 Agustus 2021

Angin Kehilangan Mata Oleh Syarifuddin Arifin

Penyair Syarifuddin Arifin, peraih sejumlah penghargaan dalam kiprahnya di tanah air dan beberapa negara tetangga, menetap di Padang, Sumatera Barat.
Penyair Syarifuddin Arifin, peraih sejumlah penghargaan dalam kiprahnya di tanah air dan beberapa negara tetangga, menetap di Padang, Sumatera Barat.

*Syarifuddin Arifin
ANGIN KEHILANGAN MATA
        -setelah 76 tahun merdeka-

jumat itu, angin bertiup
mengabarkan berita ke seluruh pelosok
tentang indonesia yang bebas mengibarkan pataka suci
lalu kita memberi arti tentang hidup atau mati
tentang masa depan tanpa belati mengkilap di depan mata
hidup adalah pengabdian total untuk agama, nusa dan bangsa

angin mendingin dari jumat ke jumat berpuluh tahun sudah
pengabdian hangus ditiup angin dari gunung ke gunung
memenuhi kota dan sengketa
pataka partai berkibar di mana-mana
hilang ruh merah-putih, disungkup petaka dari meja ke meja
palu berdentang di dasi kekuasaan
mengalahkan teriak bilal yang tak bosan menyampaikan panggilan Yang Maha

berpuluh tahun sudah kita menata
tetap saja jadi tatanan sengketa
jelang penuh satu abad
kita saling bantai dan babad
untuk menyalurkan syahwad
meniti silet penuh kesumat

kemanakah angin jumat yang bertiup ke seluruh pelosok
tujuhpuluh enam tahun silam?

matanya mengabur akibat anomali cuaca
tak mampu mengatur atau meniup sisi bencana
mata angin meleleh sepetang tujuhbelas agustus tahun ini
meratapi petinggi negeri yang saling menghianati; agama, nusa dan bangsa!

Padang, 17 Agustus 2021

 

Syarifuddin Arifin.
ISTANA KETIRISAN.

menutup mulut dan hidung wajib
di saat wabah berjangkit
agar droplet tak dibawa angin ke tubuh kita
agar suara sumbang tak menggelombang menusuk telinga
agar kita tak mengendus  kebijakan istana

yang seenaknya mendakwa kita sebagai 'pencuri dengar' 
dari gemuruhnya ombak
yang disampaikan angin
dari riuhnya riak mengecipak

"ucapan raja adalah perintah ke bawah duli" katamu

diam-diam tempias yang dibawa semilir angin pagi
hinggap di ketirisan istana, menguap di droplet para punggawa

supaya tak beredar wacana liar
maka dikaburkanlah segala gambar

Padang, 2020.-

 

Syarifuddin Arifin.
PATUNG TAK BERWAJAH

patung tak berwajah di depan museum itu memegang bambu runcing, berpuluh tahun berhujan dan berpanas
membutakan mata, hidung pesek, telinga patah dan mulutnya bagaikan sengaja dibungkam
agar sejarah tak bertarikh menjadi tekateki  yang mengasyikkan untuk disayembarakan
dia menyimpan catatan di mata, mencium dan mendengar bau peluru yang mendesing lalu menembus dadanya

puluhan selonsong peluru menggudangi dadanya hingga nafasnya tersengal

Kini bambu runcingnya diselimuti lumut dan benalu
bersikukuh hidup di sana
tidak ada yang mampu meluruhkannya

Ada yg mengaku keturunan  tugu pahlawan tak dikenal
yang berhak memeras kekayaan ibu pertiwi
menelantarkan jutaan rakyat yang diam-diam memendam dendam

inilah negeri yang dikemudikan batu:
mata batu, hidung batu, lidah batu, telinga batu, kulit batu, hati batu
mengalir ke tampuk kekuasaan dari keturunan benalu tak bermalu!  

merekalah anak-anak malinkundang 
yang kini bangkit jadi

maling kondang!

 

Syarifuddin Arifin
MASIHKAH AIR MATA MEMANGGILKU PULANG

masihkah air mata memanggilku pulang
sedang pintu kota tak membuka palang

di debur dadaku ombak memecah 
di kasur rindu ibu sebak membuncah

kucium rindu
di semak belukar
melukai wajahku
yang selalu ingkar

 

Syarifuddin Arifin
RINDU BILAL

aku rindu pekik bilal
menyampaikan panggilan 
tiap waktu ia merapal
meski ditekan kekuasaan

suaranya yang merdu
lama tak terdengar lagi
seakan tenggelam ke dalam kolam

ikan-ikan juga tak nampak saling berlompatan
meraup oksigen lalu menghilang di perih matanya
karena air memecah belerang

ada sisik terlepas
mengapung berudu dalam bejana
ada bisik yang kandas
gelisah duduk di singgasana

bilal terus membelah langit
dari puncak menara masjid

Padang, 2020.

Biodata :
*SYARIFUDDIN ARIFIN, lahir di Jakarta pada 01 Juni 1956. Presiden Ziarah Kesenian Nusantara (ZKN) Indonesia ini juga menulis novel/cerbung, cerpen dan puisi yang dimuat di media cetak daerah dan Jakarta. Penerima Anugerah Utama Puisi Dunia dari Numera Malaysia, 2014. Menerima Medalion Pulara 7/2016 di Pangkor Island, Perak Malaysia.

Sebelum wabah Covid-19, sering diundang ke beberapa kota/negeri di Indonesia, Malaysia dan Singapura baik sebagai pemateri mau pun roadshow baca puisi. Kini menetap di Padang, Sumbar.
Novelnya Menguak Atsmosfir dimuat bersambung di majalah wanita Kartini, 2004. Buku puisinya: Ngarai 1980. Maling Kondang, 2012, Gonjong Patah 2019. Kumpulan Cerpen: Gamang 1989. Cerpen dan puisinya dimuat di hampir duaratusan antologi terbitan Indonesia, Malaysia, Singapura dan sebagiannya telah diterjemahkan ke Bahasa Perancis, Rusia dan Ingris.

Alamat Surat:
Syarifuddin Arifin
Jalan DAKOTA No. 61
Dadok Tunggul Hitam
Padang, 25176.

hape/WA: 08126786755

email:
[email protected]

[email protected]

 

 

 

 


Tag :#sajak#syarifuddin arifin#sumbar#

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com