HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Kamis, 7 Oktober 2021

Variasi Bahasa Minangkabau

Lindawati
Lindawati

Variasi Bahasa Minangkabau

Oleh: Lindawati*

         

Wilayah yang disebut dengan Minangkabau cukup luas. Secara administratif mengacu kepada wilayah propinsi Sumatra Barat minus Mentawai.  Variasi bahasa berdasarkan areal atau geografis ini sering disebut dengan dialek. Secara tradisional, bahasa Minangkabau dibagi atas empat dialek yaitu dialek Agam, Tanah Datar, Lima Puluh Kota dan Pesisir ( Medan dalam Muhardi, 1988:57). Perbedaan itu dapat dilihat dari cara penyebutan atau pelafalan sebuah kata atau perbedaan dapat juga dilihat dari penggunaan kata yang berbeda untuk mengacu pada objek yang sama. Untuk konsep ‘cabut’ veriasinya diantanya adalah: cubuik, cubuk, cabuik,            bucuik, bacuik, untuk konsep ‘pepaya’ variasinya adalah: kalikih, sampelo, sang tuka,                batiak, untuk konsep ‘sedikit’ variasinya: senek, sangenek, saketek, sakenek, sangeneang, sangenuk, stek, sakinuang, sanginuang, untuk konsep ‘kecil’ ada kata ketek, kenek, kenuk, kinuk, kituk, kociak, kaciak dan untuk konsep ‘saya’  ada pronomina den, aden, denai, deyen, ambo, mbo, awak, wak dan kami.

Sesungguhnya, batasan bahasa atau dialek tidak dapat disamakan dengan batas administratif, karena bisa jadi bertumpang tindih dengan batas geografis administratif. Artinya, pada wilayah yang secara administratif berbeda tetapi dapat saja menggunakan bahasa atau dialek yang sama, atau sebaliknya, pada satu wilayah administratif terdapat beberapa bahasa atau dialek. Sejak dulu telah ada beberapa orang peneliti yang melakukan  penelitian yang menitikberatkan pada objek dialektologi geografis. Kajian mereka itu bersifat sinkronis dengan penekanannya bisa jadi dalam bidang fonologi, morfologi, dan leksikal.

Dalam khasanah bahasa Minangkabau variasi itu bisa bersifat geografis dan bisa pula bersifat pragmatik. Berkaitan dengan konsep sedikit, ada banyak kata yang merupakan variasi fonologis digunakan di daerah yang berbeda di Minangkabau. Kata saketek itu menyebar di berbagai daerah di Minangkabau dan dianggap sebagai bentuk umum. Bentuk sangenek digunakan di Payakumbuh dan bentuk sakenek secara geografis dipakai di  daerah lain. Bentuk stek digunakan dalam kalimat perintah seperti dalam tuturan Mintak stek!. Sakinuang atau sanginuang digunakan dalam tuturan yang menyatakan kekecewaan seperti pada tuturan Nde sakinuang awak diagianyo nyo nyoh atau  Nde sanginuang diagianyo nyo awak nyo ‘Waduh kita diberinya cuma sedikit’. Variasi bisa jadi pula disebabkan bentuk atau tekstur benda yang dinyatakan sedikit itu. Kata saketek ‘sedikit’dan variasinya merupakan kata yang menyatakan kuantitas. Kalau berkaitan dengan uang, untuk menyatakan kuantitas yang sedikit biasa dinyatakan dengan kata senek, sangenek, saketek, tidak perneh dipakai kata sangeneang, sangenuk atau yang lainnya. Contoh pemakaian dalam tuturan Pitih den senek/sangenek/saketek nyo. ‘Uang saya hanya sedikit’. * Pitih den sangeneang, sangenuk nyo. Untuk menyatakan makanan yang kuantitasnya sedikit digunakan  sakinuang atau sanginuang.

Dalam bahasa Minangkabau terdapat variasi bentuk tuturan yang berisi perintah, penolakan, kritikan, dan bantahan. Untuk memerintah seseorang, terdapat beberapa bentuk tuturan yang dapat digunakan. Demikian juga halnya dengan menolak perintah seseorang, terdapat beberapa macam bentuk yang dapat dituturkan sebagai respon atas  sebuah perintah. Berikut ini adalah beberapa macam bentuk tuturan yang menyatakan perintah dalam bahasa Minangkabau.

  1. Pindahan meja tu ka tapi! ‘Pindahkan meja itu kepinggir!’
  2. Tolong pindahan meja tu ka tapi! ‘Tolong pindahkan meja itu ke pinggir!’
  3. Baa kalau kito pindahan meja ko ka tapi? ‘Bagaimana kalau meja itu dipindahkan saja ke pinggir?’
  4. Meja tu bisa dipindahan ka tapi setek? ‘Meja itu bisa dipindahkan ke pinggir ngak?’
  5. Sarancaknyo meja ko kito pindahan ka tapi setek ndak. ‘Meja itu baiknya diletakkan dipinggir saja.’

Penggunaan masing-masing bentuk tuturan itu sangat tergantung pada konteks pertuturan. Tuturan (a) biasanya dituturkan oleh seorang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Kalimat seperti (a) ini biasanya disebut dengan kalimat perintah. Perintahnya adalah perintah langsung, karena dinyatakan dengan kalimat perintah. Tuturan bentuk (b) juga termasuk kalimat perintah, tetapi dianggap lebih sopan dari bentuk (a) karena diawali dengan kata tolong. Perintah yang disampaikan dalam bentuk tanya (c dan d), mengindikasikan bahwa penutur memberi peluang kepada lawan tutur untuk mempertimbangkan apakah akan melaksanakan atau tidak melaksanakan hal yang diperintahkannya. Perintah yang disampaikan  dalam bentuk kalimat berita seperti contoh (e) biasanya dianggap kurang tegas.

Begitu beragamnya fungsi tuturan kalimat tanya dan begitu beragamnya bentuk pengungkapan perintah dalam bahasa Minangkabau. Semua bentuk itu adalah bentuk yang berterima dan gramatikal. Kalau ditanyakan pada informan yang berasal dari berbagai daerah di Minangkabau, mana diantaranya kalimat perintah itu yang dianggap bentuk yang sopan, maka informan akan menunjuk bentuk yang berbeda.  Perbedaan  dalam menentukan bentuk yang sopan dan pantas itu ditentukan oleh hal-hal yang berada diluar bahasa yaitunya konteks pertuturan. Konteks  itu sebagiannya terkait dengan  konstruksi sosial dan budaya yang dipahami oleh penutur. Penggunaan tuturan yang tidak sopan bisa jadi menyinggung perasaan lawan tutur sehingga bisa menghambat kelancaran arus komunikasi. Dalam menetapkan tingkat kesopanan suatu tuturan sangat ditentukan oleh konteks apakah itu aspek sosial, psikologis dan budaya penutur. Ketiga aspek inilah  yang biasanya mengontrol pemilihan bentuk yang akan digunakan oleh seseorang dalam berkomunikasi.

Walaupun di setiap daerah bahasa Minangkabau berkembang dengan corak yang berbeda, pemahaman arah perkembangannya baik dalam hal bentuk maupun penggunaannya perlu dipahami agar persatuan dan kesatuan  masyarakat dalam aspek kebahasaan tetap terjaga. Betapapun ada kebebasan untuk menggunakan bahasa Minangkabau  dengan berbagai warna itu, tetaplah  perlu diingat dan dijaga aspek kepatutan dan kepantasannya. Persoalan kesopanan dalam budaya Minangkabau ditentukan berdasarkan ketepatan dalam memilih ragam atau langgam. Hakekat bersopan santun menurut budaya Minangkabau adalah menjaga hubungan sesama.  Orang yang sopan, tuturan yang dituturkanya berefek pada terjalin dan terpeliharanya hubungan pertemanan, persahabatan, dan persaudaraan.  Teori kesopanan Minangkabau ini mendasarkan diri pada konsep raso pareso.

Sesungguhnya, kelompok etnis apapun dan dimanapun pasti mengakui akan pentingnya menjaga kesantunan bertutur karena persoalan kesantunan merupakan salah satu esensi kebudayaan. Akan tetapi, cara mewujudkan kesantunan berbahasa berbeda pada satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lainnya. Karena perbedaan cara itu, tidak jarang terjadi kesalahpahaman antar pelibat wicara yang berbeda budayanya. Kesalahpahaman adakalanya dapat menimbulkan kegagalan komunikasi.

 

*Jurusan Sastra Minangkabau Fak Ilmu Budaya Universitas Andalas

 


Tag :#Opini # Lindawati #Didaktika

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com