HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Rabu, 26 April 2023

PTNBH UNAND Dan Distorsi Fakultas Ilmu Budaya: Pengerdilan Keilmuan Bahasa-Sastra-Budaya? (Bagian Terakhir Dari 2 Tulisan)

Hasanuddin Hasanuddin
Hasanuddin Hasanuddin

Oleh Hasanuddin Hasanuddin

...“Pada tulisan pertama (publikasi Minangsatu.com pada 24 April 2023) telah dipaparkan kebijakan salah kaprah Dekan FIB Unand (Prof. Dr. Herwandi, M. Hum.) membelah jurusan-jurusan oligo/ multidisiplin menjadi kuasi monodisiplin yang inkonsisten dan menimbulkan berbagai distorsi pada salah satu fakultas miskin di Unand ini. Tulisan ini mencoba lebih jauh mengurai distorsi struktural dan kebermaknaan keilmuan bahasa-sastra-budaya sebagai tritunggal yang mesti dipertahankan” ...

Setelah menelisik beberapa distorsi pada tulisan pertama, mari kita cermati pula beberapa distorsi lain akibat kesalahan interpretasi dekan FIB terhadap surat Rektor Universitas Andalas Nomor 251/UN16.R/KP/2022, tertanggal 26 April 2022, prihal Perubahan Status Jurusan/ Bagian.

Pertama, tindakan dekan melakukan perubahan nomenklatur jurusan bersama karakteristik disiplin keilmuannya sekaligus, telah menimbulkan distorsi-distorsi  yang mengakibatkan terganggunya kinerja unit kerja. Sebab, perubahan tersebut telah mengakibatkan terjadinya penambahan jenjang hirarkhis dan perpanjangan birokrasi di fakultas. Penambahan jenjang hirarkhis itu akibat munculnya departemen di antara relasi jurusan (yang diubah menjadi ketua program studi) dengan Dekan. Urusan administratif juga jadi panjang karena harus melalui Ketua Departemen—untuk peran yang tidak signifikan—sebelum  sampai ke dekan. Hal itu disinyalir telah melahirkan gesekan-gesekan pada level dosen dan itu membuang energi secara mubazir dalam usia singkat kebijakan itu.

Kedua, kebijakan dekan dalam pembentukan departemen baru di FIB merepresentasikan kecenderungan membentuk departemen yang monodisplin, berdasarkan bidang atau cabang ilmu yang linear, yakni sejarah, linguistik, sastra dan (yang semestinya dipisahkan dari) Kajian Budaya. Pada akhirnya, Departemen Linguistik akan membawahi Program studi Linguistik, Bahasa Minangkabau, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, dan lainnya. Begitu juga Departemen Sastra akan membawahi program studi Susastra, Sastra Minangkabau, Sastra Indonesia, Sastra Inggris, Sastra Jepang, dan lainnya.

Jika memang itu yang menjadi arah kebijakan, ada dua pertanyaan aktual yang patut diajukan: (1) apakah prodi-prodi di bawah departemen linguistik atau bahasa yang steril dari sastra dan budaya akan mampu mengembangkan keilmuan yang bermakna bagi lulusan dan bermanfaat bagi keilmuan dan masyarakat, demikian pula prodi-prodi sastra yang steril dari ilmu bahasa dan budaya?, (2) bagaimana dengan pangsa pasar bagi lulusan prodi-prodi monodisiplin bidang bahasa dan sastra itu dalam kehidupan aktual hari ini dan masa depan yang makin kompleks dan kompetitif?

Para pembela kebijakan dekan tersebut mungkin akan bisa berdalih dengan argumentasi clusterisasi atau pengaturan komposisi mata kuliah mayor-minor seperti pada kurikulum-kurikulum tempo dulu atau justru model MBKM dalam konteks Kurikulum Merdeka saat ini. Kalau memang begitu, mengapa memaksakan diri untuk tampil ekslusif tapi hipokrit?

 

Distorsi Struktural

Oleh karena Fakultas Ilmu Budaya Unand (relatif sama dengan FIB di PT lain di Indonesia) memiliki keunikan dengan dua ciri, yakni monodisiplin (ilmu sejarah) dan oligo/ multidisiplin [Sastra (dan Bahasa) Daerah/ Minangkabau, Sastra (dan Bahasa) Indonesia, Sastra (dan Bahasa) Inggris, dan Sastra (dan Bahasa) Jepang, maka ada tiga pilihan alternatif dalam penyesuaian nomenklatur ketika universitas ini menjadi PTNBH, yakni: (1) mempertahankan keunikan itu, (2) menyeragamkan menjadi semua pengelompokan menjadi monodisiplin, atau sebaliknya (3) menyeragamkannya menjadi serba multidisiplin.

Pilihan bebas tersebut sesungguhnya tidak terlalu sulit asal dilakukan secara cerdas, kritis, kolektif dan strategis. Berpikir cerdas dan kritis, bukankah itu ranahnya insan kampus? Bertindak kolektif, bukankah kampus ini adalah institusi publik bukan privat personal atau klik (tidak pula sulit membedakannya karena nakodanya saja dipilih oleh publik atau kolektif kampus itu). Lalu, bagaimana dengan pertimbangan strategis? Seorang dekan yang bertahun jadi asesor BAN PT tentu tidak boleh alfa tentang aspek penting penjaminan mutu pendidikan tinggi ini.

Hal yang membuat banyak dosen tidak habis pikir, mengapa aspek-aspek fundamental itu seolah ditinggalkan? Pertanyaan-pertanyaan, masukan-masukan, kritikan-kritikan, bahkan protes ketua-ketua jurusan dan petisi dosen-dosen yang mempertanyakan dan menolak kebijakan itu begitu kukuh dan keras ditolak dengan berbagai cara bahkan dengan pamer kekuasaan? Kemana prinsip kolektif-kolegial dibuang, mengapa konsep-konsep dialektika konstruktuf ditinggalkan, dan untuk apa ego sektoral dan arogansi personal dipertontonkan?

Bilamana memang menghendaki terbentuknya departemen-departemen monodisiplin, maka posisi relasional departemen dengan program studi sesungguhnya setara bukan hirarkhis. Bukankah antara departemen dengan program studi berbeda domain dan tupoksi? Baik PP 95 Tahun 2021 maupun PR 8 Tahun 2022 pada pasal 1 telah menggariskan perbedaan itu. Departemen adalah unsur dari Fakultas yang mendukung penyelenggaraan kegiatan akademik dalam satu atau beberapa cabang ilmu pengetahuan dan teknologi sedangkan program studi adalah kesatuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang memiliki kurikulum dan metode pembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan.

Demikian pula dalam hal kewenangan, pada pasal 88 PR 8 Tahun 2022 dinyatakan bahwa Departemen berwenang mengelola sumber daya manusia dan sumber daya pendukung akademik sedangkan program studi berwenang menyusun dan mengembangkan serta memutakhirkan kurikulum dan bahan ajar. Kesetaraan departemen dengan program studi itu ditegaskan pasal 95 (4).

Oleh sebab itu, penempatan Ketua Departemen sebagai atasan Ketua Program studi di FIB Unand juga sebuah distrosi terhadap PR 8 Tahun 2022 itu. Sebaliknya apabila yang hendak dipertahankan adalah karakteristik multidisiplin (istilah sebelumnya adalah oligodisiplin), maka barulah terdapat hubungan hirarkhis antara Katua Program Studi dengan Ketua Departemen (sesuai Pasal 95 ayat 3).

Jika mengikuti  permintaan Rektor melalui surat Nomor 251/UN16.R/KP/2022, tertanggal 26 April 2022, prihal Perubahan Status Jurusan/ Bagian, maka yang terjadi adalah mempertahankan keunikan dengan menetapkan jurusan-jurusan yang menjadi departemen-departemen. Hanya itu.

 

Pengerdilan Keilmuan Bahasa-Sastra-Budaya

Tentu insan akademik FIB Unand sangat paham bahwa keilmuan yang dikembangkan di fakultas itu (pengecualian mungkin pada keilmuan monodisiplin sejarah) adalah ibarat sapu lidi yang kemanfaatannya ada pada pendekatan holistik-multidisipliner bahasa-sastra-budaya. Pemisahan antara bahasa (linguistik) dengan sastra dan atau dengan budaya adalah ibarat membutakan peserta didik lalu disuruh mendeskripsikan seekor gajah seperti dalam kisah bijak para sufi. Jelas hal itu akan membawa kesesatan.

Dengan kata lain, kebijakan dekan FIB Unand saat ini (Prof. Dr. Herwandi, M. Hum) yang memisah antara bidang/ cabang ilmu lingusitik dengan sastra dan atau dengan budaya jelas-jelas mengerdilkan atau bahkan mencabut ruh dari keilmuan yang bersifat tritunggal itu.

Mengapa tidak? Bahasa adalah sentral keunggulan kemanusiaan. Sebab, karakteristik manusia yang hakiki adalah berakal (homo sapiens) dan berbahasa (animal symbolicum). Kedudukan sebagai homo symbolicum lebih luas dari homo sapiens. Bahkan, tanpa bahasa manusia tidak berbeda dari anjing dan monyet, kata Adolfus Huxley (1894-1963). Dengan bahasalah manusia dapat berpikir rumit dan mampu mengkomunikasikan pengetahuannya kepada orang lain, dan dengan bahasa pulalah manusia dapat berpikir secara abstrak dan nyata (Suriasumantri, 1982).

Sastra adalah seni yang menggunakan bahasa sebagai medium. Tidak ada sastra tanpa bahasa. Dalam konteks ini, sastra mengemban fungsi puitik/imajinatif fiksi dari bahasa itu.

Fungsi-fungsi bahasa yang lain adalah fungsi emotif/personal (pernyataan diri atau pribadi penutur dalam situasi komunikasi tertentu); fungsi retorik/regulatori/direktif (fungsi mempengaruhi atau mengatur perilaku pendengar); fungsi kognitif/presentasional/referensial (fungsi menghadirkan objek atau peristiwa di lingkungan sekitar); dan fungsi metalingual/heuristik (fungsi bahasa untuk membicarakan diri bahasa itu sendiri, seperti untuk menjelaskan arti kata, majas, ungkapan, peribahasa, dan lain-lain); serta fungsi fatik/interaksional/interpersonal (fungsi untuk menyapa, menyampaikan salam, menegur, dan lain-lain). 

Fungsi-fungsi tersebut meneguhkan bahwa bahasa adalah sentral kemanusiaan dan kebudayaan. Tanpa bahasa kegiatan manusia yang sistematis dan teratur tidak mungkin dapat dilaksanakan; tanpa bahasa manusia akan kehilangan kemampuannya untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi berikutnya, kata Ernst Cassirer (1874-1945). Di dalam bahasalah budaya itu dikreasi, disimpan, dan disampaikan bahkan diwariskan dari generasi ke genarasi.

Lalu, mengapa dekan yang berlatar ilmu sejarah dengan pilihan konsentrasi arkeologi itu arogan dengan sikapnya? Moga-moga itu bukan cerminan sikap tidak profesional sebagai ilmuan huaniora yang hanya melihat persoalan seperti si buta mendeskrisikan gajah dalam analogi kisah bijak para sufi di atas.

Sekali lagi, hemat saya, sangat bijak manakala dekan tidak menggiring dosen FIB Unand menguras pikiran dan energi sia-sia yang semestinya bisa dialihfokuskan untuk bangkit dari 50% learning loss dan performance loss akibat pandemi Covid-19 selama lebih kurang 2 tahun sebelum dekan saat ini menjabat (2020-2021). Lebih jauh, segala potensi dan sumberdaya semestinya diorientasikan untuk membangkik tareh tarandam, mengangkat FIB Unand dari kategori fakultas miskin dan keilmuannya yang kuasi nonprovitable. Semoga... *


Tag :#UNAND#FIB#Distorsi#Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com