- Rabu, 20 Agustus 2025
Kiasan “Seni Berbahasa Halus Dan Syarat Makna”

Kiasan “Seni Berbahasa Halus dan Syarat Makna”
Oleh: Lindawati*
Tiap bahasa memiliki kiasan yang dikenal bersama oleh masyarakatnya dan difahami maknanya. Dengan cara itu, kiasan beroperasi seperti kosa kata dalam penggunaan bahasa, misalnya dalam bahasa Melayu-Minangkabau ada kiasan masak malam matah pagi, dalam kalimat, satuan itu dapat digunakan (1) Inyo tu masak malam matah pagi tumah, (2) Kalau masak malam matah pagi, bilo ka manjadi, (3) Awak urang cadiak, jan masak malam matah pagi. Tampak, kiasan masak malam matah pagi dalam konstruksi kalimat itu beroperasi sebagai kata, yaitu kata sifat.
Mengapa orang menggunakan kiasan dalam berbicara dengan kiasan? Banyak alasan yang dapat diberikan. Alasan yang paling umum adalah bahwa kiasan itu menjadi alat pengindah ujaran, penghalus pembicaraan, pelembut rundingan, penunjuk kehalusan budi bahasa.
Dalam masyarakat Minangkabau, orang harus mengetahui dan memahami kiasan dan dapat merespons kiasan yang diucapkan orang. Bila tidak memahami kiasan, orang dipandang kasar budi karena dalam masyarakatnya diajarkan binatang tahan palu manusia tahan kieh, artinya, binatang dipukul maka bergerak, manusia tidak demikian. Manusia akan bergerak bila mendengar orang mengiasnya. Bila orang tidak tergerak bila dikias, dipandang seperti hewan, harus dipukul dulu baru bergerak. Orang yang demikian dinilai kasar budi. Demikianlah nilai budaya.
Pada masyarakat Minangkabau, penggunaan kiasan itu dapat juga dijelaskan dari sudut struktur sosial atau organisasi sosial (ini istilah sosiologi dan antropilogi), yaitu bahwa dalam masyarakat Minangkabau, perkawinan kerap terjadi antara orang yang masih berhubungan keluarga. Dalam satu rumah, bisa terjadi dua orang laki-laki bersaudara ‘naik’ (menikah kepada perempuan di atas rumah itu) ke satu rumah. Bila satu tersinggung, yang lain ikut tidak pulang. Maka orang-orang dari keluarga perempuan di atas akan amat menjaga sikap agar sumando tidak tersinggung. Atau sebaliknya, sumando itu harus mengerti setiap gerak orang di atas rumah itu, setiap kata yang terucap, setiap bunyi yang tidak biasa. Artinya, kiasan tidak hanya berupa bahasa, melainkan ada hal lain yang bukan bahasa yang berfungsi sebagai kiasan. Salah satu contoh kiasan yang bukan bahasa adalah batuk. Seorang yang mau naik ke rumah sesorang, batuk untuk memberi kode orang yang ada di rumah. Orang-orang yang sedang berpakaian kurang pantas akan mengganti dengan pakaian yang pantas saat bertemu orang lain.
Ini bukan kecurigaan. Ini adalah dalam rangka menjaga sikap, memelihara nama baik kaum. Bila seorang tidak arif kepada berbagai kiasan, kaumnya mendapat malu. Ketakfahaman anggota kaum itu menunjukkan orang tua dalam kaum tidak mengajari anak dan kemenakannya tata cara bertamu ke rumah orang.
Kiasan adalah salah satu cara orang menggunakan bahasa. Kiasan berarti, mengucapkan kata dengan makna yang baru, makna yang disepakati oleh pemilik kiasan itu, yang bisa saja tidak sama dengan makan dalam kamus. Dalam bahasa Melayu-Minangkabau, kiasan merupakan cara berbahasa yang sangat penting. Orang harus mengerti kiasan dan menjawab atau menanggapi kiasan yang didengarnya.
Kiasan mempunyai makna yang sangat tajam, dalam arti kepersisan makna yang sangat halus. Mari kita ambil contoh, ada kiasan adat bukik tumburan kabuik, adat taluak timbunan kappa; manumbuak di lasuang, batanak di pariuak. Kedua kiasan ini merupakan pernyataan, positif, ‘sesuai dengan kenyataan’ tetapi makna dan maksud yang dikandungnya berbeda. Adat bukik …, artinya, seorang yang sudah dikenal itu biasa banyak orang yang datang minta pertolongan. Kiasan ini diucapkan untuk membesarkan hati orang yang dikunjungi. Seakan-akan dikatakan, jangan risau bila orang banyak datang ke rumahmu karena orang percaya, bila ke r umah mu akan mendapat pertolongan; jangan risau dikunjungi banyak orang karena itu berarti orang percaya bahwa engkau sudi menerima tamu, engkau orang baik budi.
Kiasan manumbuak di lasuang berarti, hendaklah berlaku dan berkata sesuai dengan nilai, sesuai dengan hukum (hukum sosial) sehingga kata dan sikap Anda sesuai dengan sikap dan nilai dasar yang dianut bersama. Jika tidak demikian, Anda tidak akan dihormati. Bila dalam berunding, salah satu pihak yang berunding boleh bertanya, “Baa, Mak Panduko. Manumbuak kami alah di lasung, tu; batanak kami alah di pariuak, tu?” untuk mencari kesesuaian nilai rundingan. Artinya, kiasan ini diucapkan untuk mencari kesamaan nilai, kesamaan pandangan; sebagai ukuran.
Kiasan ka bukik buliah angin, ka lurah buliak aia berarti penuh harapan; Anda bertenggang kepada tempat yang tepat. Kiasan ini dapat dibentuk dengan negatif, “Kalau ka rumah Pak .....tu, kabuki indak kabuliah angin, tu do; ka lurah indak kabuliah aia”. Artinya, tidak ada harapan; orang sudah tahu bahwa Pak .....tu kikir, tidak sudi menolong orang. Artinya pula, kiasan ini dapat dibentuk negatif. Kabukik samo mandaki ka lurah samo manurun mengandung arti kesetiaan kepada kawan. Ini kiasan untuk menyatakan pujian, kedekatan hubungan.
Dengan ini yang ingin dikatakan adalah, bahawa setiap kiasan mempunyai medan maknanya sendiri yang sangat halus, yang membedakannya dengan kiasan lain walaupun konstruksi bahasanya sama. Jadi, meskipun kiasan itu ka bukik buliah angin ka lurah buliah aia dan adat taluak timbunan kapa adat bukik tumburan kabuik, tidak boleh diberi makna ‘sesuatu hendaklah pada tempatnya’. Tidak cukup demikian; harus dijelaskan konteks penuturannya sehingga jelas serpihan makna yang tersimpan kiasan itu.
*Dosen FIB Universitas Andalas
Tag :#opini #didaktika
Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News
Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com
-
PSIKOLOGI HUMANISTIK PADA TOKOH YASUAKI YAMAMOTO DALAM NOVEL “TOTTO-CHAN GADIS KECIL DI PINGGIR JENDELA” KARYA TETSUKO KUROYANAGI
-
OPTIMALISASI PEMELIHARAAN ALAT KESEHATAN UNTUK TINGKATKAN KUALITAS LAYANAN RUMAH SAKIT
-
PENGGUNAAN INTERNET DI INDONESIA MELEBIHI RATA-RATA GLOBAL
-
BIG DATA DALAM PENGELOLAAN PERGURUAN TINGGI DI ERA DIGITAL
-
MELATIH KETELITIAN DAN KONSENTRASI MELALUI ORIGAMI
-
KIASAN “SENI BERBAHASA HALUS DAN SYARAT MAKNA”
-
MENGAPA MEMILIH HENDRY CH BANGUN ?
-
HAPUS MATA PELAJARAN SEJARAH
-
ALAN MARTHA, KISAH HATTRICK DAN QUATRICK PRIA PARIAMAN
-
MELANGKAH DENGAN SEMANGAT OPTIMISME