HOME OPINI OPINI

  • Jumat, 22 Maret 2019

Pemimpin

Lindawati
Lindawati

PEMIMPIN

Oleh Lindawati

 

Adalah kenyataan bahwa tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri-sendiri. Manusia selalu hidup dalam kelompok, mulai dari kelompok kecil sampai kelompok besar. Seorang individu adalah anggota dari sebuah keluarga, suku, sampai bangsa. Manusia harus bekerjasama untuk menjalankan kehidupannya. Masing-masing individu harus berpatisipasi sesuai dengan kemampuannya. Dengan adanya kerjasama, tenaga dapat disatukan dan pekerjaan dapat dibagi sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih besar dan pekerjaan lebih enteng. Hal itu dinyatakan dalam peribahasa Minangkabau yang berbunyi duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang ‘duduk sendiri bersempi-sempit, duduk bersama berlapang-lapang’.

Dalam kelompok itu, setiap individu punya tujuan dan harapan. Tujuan dan harapan masing-masing indvidu adalah mencapai kehidupan yang bahagia.  Kebahagiaan untuk diri sendiri dapat direalisasikan dalam masyarakat berdasarkan prinsip dari bersama, oleh bersama, dan untuk bersama.  Dalam bahasa Minangkabau, konsep kebersamaan yang seperti itu diungkapkan dengan  lamak dek awak, katuju dek urang ‘enak bagi kita disenangi orang lain’ dan sakik dek awak sakik dek urang yang menyakitkan bagi kita juga menyakitkan bagi orang lain’. Jadi, menurut adat Minangkabau perlu ada keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan individu dan masyarakat itu diperlukan seorang pemimpin yang akan memandu melaksanakan berbagai upaya yang telah direncanakan secara bersama.

Adat Minangkabau menghendaki dasar bersama, bukan persamaan. Menghendaki kesamaam adalah kemustahilan, karena realitas alam itu beragam. Kebersamaan antar orang yang berlainan itu dapat dijalankan jika berpegang pada ajaran yang berbunyi: Nan tuo dimuliakan ‘Yang tua dimuliakan’. Nan mudo dikasihi        ‘Yang muda disayangi ’Samo gadang hormat menghormati. ‘Sama besar saling menghormati’

Masing-masing individu yang berbeda itu dipandang sama kedudukannya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang berbunyi: Duduak samo randah, tagak samo tinggi.’Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi’. Masing-masing individu yang berbeda itu diharapkan berpartisipasi sesuai dengan kemampuan masing-masing. Hal itu dinyatakan dalam fatwa adat yang berbunyi: Gadang kayu gadang bahannyo ‘Besar kayu, besar bahannya’. Ketek kayu, ketek bahannyo ‘Kecil kayu, kecil bahannya’

Dalam kebudayaan Minangkabau, pemimpin ditunjuk dengan cara manggadangkan ‘mengelukan’ salah seorang anggota kelompok secara bersama-sama. Dalam filsafat adat, ide pemimpin itu terkandung dalam pangkat penghulu (Nasroen, 1971:138). Hal-hal yang berlaku pada penghulu dapat pula diberlakukan  pada pemimpin lainnya pada umumnya. Menurut adat Minangkabau, pemimpin itu digadangkan makonyo gadang ‘dibesarkan maka dia besar’ sebagaimana yang dinyatakan dalam ungkapan berikut ini: Tumbuahnyo ditanam ‘Tumbuh karena ditanam’. Tingginyo dianjuang ‘Tinggi karena dianjungkan’. Gadangnyo diamba ‘Besar karena dipelihara’. Pesta pemilu yang akan kita hadapi merupakan aktifitas manggadangkan ‘mengelukan’ seseorang atau beberapa orang untuk kita jadikan pemimpin. Orang-orang terpilih melalui mekanisme pemilu adalah orang-orang yang kita tanan, kita anjungkan dan yang akan kita jaga bersama-sama untuk memandu kita mencapai tujuan bersama.

            Pembentukan kepemimpinan dengan cara yang demikian tidak memungkinkan muncul kepemimpinan yang berdasarkan kekuasaan dan paksaan. Tempat sistem diktator tidak ada dalam kebudayaan Minangkabau. Orang dijadikan pemimpin tidak boleh pula sembarang orang. Untuk menjadi pemimpin harus pula memenuhi syarat tertentu. Seorang pemimpin itu menurut adat Minang harus beralam lapang, yaitu berjiwa besar, sebab pemimpin itu adalah pusek jalo timbunan kapa ‘pusat jala timbunan kapal’, artinya banyak dan beragam  masalah yang akan dihadapkan  kepadanya dan  semua itu harus dapat diselesaikan oleh seorang pemimpin.

            Hal utama yang diharapkan dari seorang pemimpin bukanlah keputusannya yang tajam, tetapi keputusan jang menjernihkan dan menyelesaikan. Hal itu berangkat dari keyakinan orang Minangkabau bahwa apapun persoalan yang dihadapi, seberapapun beratnya, tidak ada yang tidak dapat diselesaikan. Keyakinan orang Minang itu dinukilkan dalam ungkapan yang berbunyi: Tak ado kusuik nan tak salasai, ‘Tidak ada yang  kusut yang tidak dapat diselesaikan’. Tak ado karuah nan tak janiah ‘Tidak ada yang keruh yang tidak dapat dijernihkan’

            Pemimpin itu adalah orang yang luas wawasannya dan dalam pengetahuannya. Keadaan pemimpin yang demikian dinyatakan dalam ungkapan yang berbunyi: Lubuak aka, lautan budi. ‘Lubuk akal, lautan budi’. Dalam mencari penyelesaian terhadap masalah yang dikadapi masyarakat yang dipimpinnya, pemimpin itu menjalankan kebijaksanaan dan memperhatikan perasaan orang-orang yang dipimpinnya. Sikap pemimpin yang demikian itu dinyatakan dalam ungkapan adat yang berbunyi: Tapuang ndak taserak, abuak ndak putuih. ‘Tepung tidak tumpah, rambut tidak putus’. Kualitas seorang pemimpin yang sempurna itu dinyatakan dalam peribahasa yang berbunyi seperti berikut ini: Aie nan janiah. ’Air yang jernih.’ Artinya pikirannya jernih,  Sayak nan landai. ‘Batok yang landai’ Artinya, pikirannya mudah dipahami.” Bak kayu ditangah padang. ‘Seperti pohon di tengah lapangan.’Ureknyo tampek baselo. ‘Uratnya tempat bersila.’Batangnyo tampek basanda. ‘Batangnya tempat bersandar.’ Dahannyo tampek bagantuang. ‘Dahannya tempat bergantung.’Buahnyo ka dimakan. ‘Buahnya untuk dimakan.’Aienyo ka diminum. ‘Airnya untuk diminum.’Daunnyo tampek balinduang. ‘Daunnya tempat berlindung.’ Peribahasa itu mengisyaratkan syarat pemimpin adalah orang yang arif lagi bijaksana.

Indonesia sebagai sebuah negara bangsa dibangun  oleh para pemimpin atas dasar kesadaran adanya keragaman dalam berbagai bidang kehidupan. Keragaman itu dapat ditemukan di antaranya dalam hal bahasa, agama, etnis, dan adat istiadat. Keragaman dalam berbagai hal itu pada satu sisi dapat dipandang sebagai kekuatan, tetapi dari sisi yang lain juga bisa dipandang sebagi titik lemah keindonesiaan. Semangat persatuan dan kerjasama harus dibangun atas dasar  pengakuan adanya keragaman dalam berbagai hal termasuk sistem nilai yang dimiliki, dihayati dan dipedomani oleh masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.

Semangat bersatu yang sudah dicanagkan dalam Sumpah Pemuda, Pancasila, dan Undang-Undang dasar 1945, dalam perjalanan waktu tetap saja mendapat ujian mulai dari yang ringan sampai yang berat. Berbagai ujian itu sangat terasa keberadaannya setelah era reformasi. Bahkan sudah ada daerah memisahkan diri dan masih ada yang membangun mimpi berpisah atau keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu tentulah  mencemaskan  kita semua.

Ke depan diperlukan pemimpin yang betul-betul memahami hakekat kebhinekaan. Orang-orang yang dapat menghormati dan menyintai perbedaan, karena perbedaan itu adalah sunatullah. Membangun kerjasama atas dasar kemanusiaan harus digalang di Indonesia. Kerja sama dalam keberagaman perlu diwujudkan untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan bersama. Persaudaraan tidak hanya dibangun, dibina, dan dikembangkan atas dasar kesamaan suku, agama, ras, dan kepercayaan, tetapi harus dibangun atas dasar kemanusiaan demi menjaga dan memelihara keutuhan NKRI. Mudah-mudahan ke depan Allah memberi kita pemimpin-pemimpin yang mampu memimpin kita dalam suasana kebersamaan bukan persamaan. Tuhan! Kirimkanlah kami, pemimpin-pemimpin yang baik hatinya yang mencintai kami apa adanya (cuplikan lagu Ahmad Dhani). 

(Lindawati, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unand)


Tag :opiniLindawati

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com