HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Selasa, 13 Desember 2022

Orang Asing Dan Tanggapan Mereka Atas Kegiatan Bapasambahan

Lindawati
Lindawati

Orang Asing dan Tanggapan Mereka atas Kegiatan Bapasambahan

Oleh: Lindawati*

Pernah satu kali saya mengajak seorang orang asing menghadiri upacara perkawinan anak salah seorang teman. Saat itu, kami menghadiri upacara  Pasambahan Manjapuik Marapulai. Di perjalanan pulang, dia membandingkan dengan pidato bahasa Ingris. Menurut dia,  pasambahan itu bertele tele, tidak to the point. Misalnya, untuk menyapa hadirin, dalam bahasa Inggris cukup  singkat karena menggunakan sapaan umum, sementara dalam pidato adat (pasambahan) disebut dan disapa semua orang dan semua lapisan atau kelompok. Dalam penyampaian isi juga terjadi pengulangan yang berkali-kali. Itu tidak efisien  katanya. Pandangan seperti itu tidak hanya muncul dari orang asing. Tidak jarang pula orang Minang berpandangan demikian.  Apakah memang demikian adanya:

Sesungguhnya, Orang Minang, dalam berkomunikasi sangat fleksibel sikapnya termasuk hasa yang digunakan. Orang MInang bisa sangat to the point dan bisa perpanjang panjang.To the point dapat terlihat dari kemampuan seseorang mengunakan bahasa berkias berupa ungkapan singkat yang dapat mewakili sederetan pernyataan. Sementara bentuk yang panjang bisanya dinyatakan dengan bahasa biasa yang penjelasanya diperinci. Bentuk yang panjang juga bisa diungkapkan dengan sederetan  pantun, atau gurindam. Penyampaian suatu gasasan dalam bentuk pantun atau gurindam menjadi panjang dan memakan waktu karena dalam pantun atau gurindam itu terdapat sampiran yang perlu ditampilkan untuk mencari efek estetis dalam berbahasa. Pemilihan bentuk tutur yang akan digunakan dalam komunikasi didasarkan pada pertimbangan situasi tuturnya.  Ini dinyatakan dalam ungkapan yang berbunyi jikok dikambang saleba alam, jikok dibalun saleba kuku, bumi jo langik ado di dalammnyao. Dalam hal pidato adat atau pasambahan, orang Minang sepertinya memang tidak mengaitkan dengan keefisienan waktu karena:

  1. Orang yang datang menghadiri pidato  pasambahan memang sudah meluangkan waktu secara khusus karena perencanaan waktu dan pemberitahuannya sudah lama. Aktifitas ini  dikerjakan tidak sebagai kegiatan sambilan. Orang orang yang terlibat dalam pidato adat atau pasambahan sudah jauh-jauh hari diberi tahu dan itu  dilakukan  beberapa kali untuk mengingatkan. Dengan menyatakan kesediaan untuk menghadiri acara  itu, berarti seseorang sudah mengatur waktunya dengan baik dan melihatnya  dalam hubungan dengan kegiatan lain. Tidak mungkin seseorang akan dilibatkan dalam kegiatan ini diberi tahu hanya dalam waktu seminggu atau tiga hari, biasanya   dua bulan dan  itu selalu diingatkan  dengan  pernyataan jan lupo mamak bisuaktu tanggal  sekian awak ka barundiang. Kalau pengulangan ini dipandang dari sudut pandang budaya lain, pengulangan itu dapat pula dikatakan nyinyir. Akan tetapi, dalam budaya Minang, mengingatkan kembali orang yang diharapkan kehadirannya menyatakan kesungguhan atau keseriusan berharap pihak pengundang. Dengan begitu orang yang diundang merasa dibutuhkan dan dimuliakan. Kalau hanya dikatakan sekali, orang yang diundang ragu apakah pengundang betul-betul mengharapkan kehadirannya. Jadi orang yang akan hadir  dalam acara pasambahan betul-betul meninggalkan pekerjaan yang lain pada hari itu. Yang petani tidak kesawah atau ke ladang,  yang berdagang tidak ke balai atau ke pasar.
  2. Saat datang ke upacara adat  yang ada pasambahan itu, orang memakai pakaian khusus, yang baru atau yang terbaik dari yang dimilikinyaa. Untuk itu mereka perlu waktu yang lama untuk mempersiapkan pergi ke acara. Dengan persiapan yang cukup lama tidaklah mungkin dipakai hanya sebentar. Ke acara itu, orang datang juga untuk memperlihatkan status  ekonomi. Selain itu, ada juga yang ingin memperlihatkn hasil dari apa yang diusahakannya selama ini. Yang perempuan akan memakai segala perhiasan yang terbaik (emas)  dan lelaki memakai sepatagak yang baru.
  3. Acara itu juga dimamfaatkan sebagai ajang sosialisasi. Sebelum acara inti yang formal itu dilaksanakan, terdapat pembicaaraan informal antar undangan yang hadir. Pembicaraan berkisar pada masalah keluarga. Pertanyaan yang muncul biasanya tentang jumlah anak, pekerjaan yang sedang ditekuni, atau  membahas hal yang lain. Tidak jarang pula saat itu terjadi kesepakatan untuk menjodohkan anak mereka.

 

  1. Pidato adat atau pasambahan itu dilakukan setelah hidangan disajikan dan sebelum makan ada pidato ka makan dan itu  memang memakan waktu yang cukup lama. Untuk itu, orang Minang sebelum datang ke acara, mereka makan dulu di rumah masing-masing istilahnya.”dialeh paruik saketek”. Jadi tidak jadi masalah bagi mereka kalau tidak langsung makan. Orang Minang datang ke acara seperti itu tujuan utamanya bukan untuk makan lamak ‘makan enak’ semata, tetapi juga untuk bersosialisasi

 

  1. Orang datang ka acara  dengan tujuan untuk berunding. Pada acara itu memang terdapat aspek pertunjukan atau show off. Peserta  pasambahan ingin memperlihatkan kecerdasan bertutur sastranya (Literary Excellent). Orang Minang meyakini bahwa ada  kaitan kearifan seseorang dengan kemampuan atau kecerdasan bertutur sastranya. Makanya, yang menjadi juru sambah kelompok atau kaum itu dipilih orang yang paling hebat kemampuan bertuturnya. Kemampuan bertutur sastra dalam upacara adat juga mencerminkan penguasaan dan pengetahuannya seseorang tentang adat  Minangkabau. Orang yang mampu menuturkan bahasa Minang yang indah itu memperlihatkan ketangguhannya berargumentasi dan berarti dia tidak begitu saja dengan mudah atau gampang ditaklukkan.

 

Ada pandangan dalam masyarakat Minangkabau bahwa suatu kelompok yang berunding jika tidak mampu melayani pihak lawan maka kelompok atau kaum itu dianggap ‘indak baurang.  Misalnya pihak dari mempelai perempuan datang ke rumah  mempelai laki-laki untuk acara manjapuik marapulai. Jika di rumah mempelai laki-laki tidak ada orang yang mampu bertutur pasambahan maka orang dari pihak perempuan akan mengatakan bahwa indak ado baurang ‘indak ada orang’ di rumah mempelai laki-laki. Atau, kalau dari pihak mempelai perempuan tidak ada yang mampu bertutur pasambahan maka keluarga pihak laki-laki mengatakan di  keluarga perempuan indak ado baurang ‘indak ada orang’.  Ungkapan    indak ado baurang ‘tidak ada orang’. menyatakan tidak ada orang yang dapat diajak berunding untuk memutuskan sesuatu.

Untuk mengantisipasi keadaan yang seperti itu, ada kalannya keluarga yang akan berurusan meminta tolong kepada orang lain atau suku lain untuk mewakili pihaknya dalam perundingan. Sejak adanya peristiwa yang seperti itu mulai berkembang istilah “mamak rental”. Istilah ini mengacu pada orang yang dimintai bantuannya untuk menyampaikan pasambahan pada acara manjapuik marapulai. Bahkan ada yang lebih  celaka lagi yaitu pada  acara manjapuik marapulai itu kedua belah pihak tidak berdialog lagi tetapi sudah diwakili oleh seorang yang ditunjuk sebagai protokol. Penghulu-penghulu yang merupakan pemimpin adat itu  sepertinya tidak diperlukan lagi untuk berdialog dalam upacara perkawinan.

Terjadinya hal yang demikian karena  tidak ada lagi wakil kelompok yang dapat menuturkan pasambahan. Alasan lain  kenapa orang tidak lagi berpasambahan dalam acara yang sakral seperti itu adalah karena pasambahan dianggap sebagai acara yang memakan waktu terlalu lama disebabkan dialognya cukup panjang. Sesungguhnya dalam dialog yang memang cukup panjang itu terdapat pelajaran yang sangat agung, seperti ajaran tentang bagaimana berdialog dengan baik, berlaku demokratis dalam menetapkan suatu keputusan, membina keluarga  inti atau keluarga luas dengan baik dan sebagainya. Di saat itulah sesungguhnya  orang yang hadir pada acara pasambahan mendapat pelajaran budaya dan sosial kemasyarakatan yang tidak mungkin dipelajari di bangku sekolah.

*Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

 


Tag :#Opini #Lindawati #Didaktika #Bapasambahan

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com