HOME SOSIAL BUDAYA KABUPATEN TANAH DATAR

  • Selasa, 28 Desember 2021

Nagari Balimbing Tanah Datar Siap Menuju Desa Adat

Tim Riset LPDP UIN-UNAND-UNP foto bersama dengan Tokoh Masyarakat Belimbing-Tanah Datar usai Diseminasi Implementasi Hasil Riset Nagari Sebagai Desa Adat, Selasa 28 Desember 2021.
Tim Riset LPDP UIN-UNAND-UNP foto bersama dengan Tokoh Masyarakat Belimbing-Tanah Datar usai Diseminasi Implementasi Hasil Riset Nagari Sebagai Desa Adat, Selasa 28 Desember 2021.

Batusangkar (Minangsatu) – Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar siap menuju Desa Adat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari. Untuk itu, pemerintahan nagari bersama ninik mamak akan mendiskusikannya lebih lanjut.

Hal itu disampaikan Wali Nagari Balimbing A. Dt. Bagindo Rajo saat memberi sambutan pada acara Diseminasi Implementasi Hasil Riset dengan judul: Pengembangan Pemerintahan Nagari sebagai Model Implementasi Nilai-Nilai Adat dalam Pemerintahan Desa Adat di Indonesia. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada Selasa (28/12), bertempat di Kantor Wali Nagari Balimbing, Batusangkar.`

Riset itu sendiri dilaksanakan oleh Tim Riset UIN Imam Bonjol, UNAND, dan UNP dengan pendanaan Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan Republik Indonesia tahun 2019-2022.

Ada enam nagari di enam kabupaten sebagai titik fokus penelitian di Sumatera Barat, yakni nagari Indropuro di Kabupaten Pesisr Selatan, nagari Taram di Kabupaten 50 Koto, Nagari Lubuk Malako di Kabupaten Solok Selatan, Nagari Sijunjung di Kabupaten Sijunjung, Nagari Kota Besar di Kabupaten Darmasraya, dan Nagari Balimbing di Kabupaten Tanah Datar.

Hadir sebagai peserta aktif 30 orang pemuka masyarakat Belimbing yang terdiri atas Wali Nagari, Ketua KAN, BPRN, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang, dan Parik Paga atau Pemuda.

Di hadapan peserta, Ketua Tim Peneliti, Welhenderi Azwar, M. Si., Ph. D., Dt. Rajo Basa menyampaikan bahwa dasar semangat menuju desa adat di Sumatera Barat adalah Perda Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari.

Perda tersebut merepresentasikan keterbukaan pemerintah mengakomodir unsur-unsur adat dalam struktur pemerintahan. Dengan dasar itu nagari diberi peluang untuk berinisiatif mengembangkan diri menjadi desa adat.

Welhendri Azwar yang saat ini juga memegang amanah sebagai Wakil Rektor III (Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama) UIN Imam Bonjol Padang itu menjelaskan bahwa saat ini Sumatera Barat berpeluang menjadi pelopor dalam implementasi sistem desa adat sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.

Sebab, menurutnya, desa adat adalah sebuah keatuan masyarakat adat dalam satuan setingkat desa, yang melaksanakan sistem pemerintahan administratif sekaligus sistem pemerintahan adat.

"Antara kedua system itu tidak terpisah, seperti halnya ‘desa adat dan desa dinas’ di Bali atau di provinsi lain. Di samping itu, ada setidaknya empat keuntungan bila sebuah nagari menjadi desa adat, yakni (1) terfasilitasinya penguatan nagari sebagai basis masyarakat hukum adat di Minangkabau, (2) adanya ruang untuk pemeliharaan warisan nilai-nilai adat dan budaya leluhur, (3) terbangunnya dasar hukum penguasaan kekayaan nagari menuju otonomi nagari baik secara ekonomi maupun sosial budaya dan politik, dan (4) masyarakat nagari bersama para ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, beserta bundo kanduang dan parik paga dapat mengembangkan nagari menjadi “nagari Mandiri”," katanya.

Lebih jauh, dosen Fakultas Dakwah UIN Imam Bonjol itu menerangkan bahwa dalam masyarakat adat Minangkabau, kedaulatan ada di tangan rakyat, yakni di tangan anak kamanakan dalam ‘limbago kaum atau kampung’ yang dilaksanakan sepenuhnya oleh para panghulu/datuak/rajo.

Para panghulu/datuak diangkat berdasarkan kesepakatan kaum setelah mendapat restu ‘Bundo’ atau ibu tertua dalam ‘limbago paruik atau kaum’.

Sementara itu, ‘rajo’ ditetapkan sesuai dengan ketentuan alam dan diakui oleh masyarakat lintas kaum dalam suatu nagari. Hal itu sesuai dengan mamang adat, ‘pangulu sapakaik kaum, rajo sakato alam’.

"Selanjutnya, segala hal yang menjadi ketetapan di nagari merupakan hasil persetujuan atau konvensi seluruh rakyat nagari, yang direpresentasikan melalui sistem musyawarah “berjenjang naik” dari satuan genealogis paruik, kaum, dan suku dan seterusnya memuara di ‘karapatan pangulu’ pada tingkat nagari. Itulah esensi dari ‘sistem bernagari’ yang kemudian mengilhami ‘sistem bernegara’ sebagaimana terangkum dalam Sila Keempat Pancasila yang menjadi Dasar Negara Republik Indonesia, yakni ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan’,” demikian Welhendri menegaskan.
 
Tampil sebagai pembicara kedua dari Tim Riset LPDP itu adalah Huriyatul Akmal, M.Si. Dosen FEBI UIN Imam Bonjol  itu mengungkapkan beberapa masalah yang dihadapi nagari saat ini, di antaranya posisi dan kedudukan bundo kanduang, pengelolaan dana desa, politik demokrasi lokal, dan penurunan implementasi sistem nilai yang dijunjung tinggi dalam adat Minangkabau. Semua itu insya Allah dapat diberikan solusinya dengan program ‘kembali banagari’ sesuai dengan esensi nagari itu sebagai kesatuan masyarakat adat.

“Sebagai kesatuan masyarakat adat, karakter suatu nagari adalah unik, berbeda satu sama lain, dan karena itu dinyatakan dalam mamang ‘adat salingka nagari,” jelasnya.

“Oleh sebab itu, model nagari sebagai desa adat, yang merupakan hasil riset dengan Nagari Balimbiang sebagai salah satu situsnya, perlu didesiminasikan. Model nagari sebagai desa adat itu meliputi struktur pemerintahan yang menempatkan ‘limbago Karapatan Pangulu/Kerapatan Nagari, atau nama lain yang setara’ sebagai majelis permusyawaratan tertinggi, pelaksana kekuasaan rakyat, yang mengambil keputusan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat. Melalui mekanisme musyawarah itu dipilih dan ditetapkan ‘Kapalo Nagari’ sebagai pelaksana eksekutif nagari dan ‘Kapalo Peradilan Nagari’ sebagai pelaksana yudikatif nagari. Semua keputusan yang menyangkut hajat hidup masyarakat dirumuskan secara musyawarah bukan voting. Dengan begitu diharapkan pemerintahan nagari dapat berjalan secara efektif, di atas legitimasi seluruh masyarakat dan didukung dengan partisipasi penuh rakyat,“ pungkasnya.

Kandidat Doktor dari Program Doktoral UIN Syarif Hidayatullah itu kemudian memandu langsung diskusi tentang potensi Balimbing menuju desa adat. Dari diskusi terungkap bahwa ternyata Kerapatan Adat Nagari (KAN) Balimbiang telah melakukan kegiatan edukasi ‘adat salingka nagari’ ke sekolah-sekolah. KAN telah mengambil peran menjadi ‘leading sector’ dalam penyiapan nagari Balimbing sebagai desa adat. Namun kendala utamanya adalah anggaran kegiatan.

Ada kekecewaan ketika terjadi perubahan sistem ‘desa’ (sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979) menjadi ‘nagari’ (sesuai Perda Nomor 9 Tahun 2000 dan kemudian diubah dengan Perda Nomor 2 Tahun 2007). Perubahan yang dimulai sejak era reformasi itu justru merugikan dari sisi alokasi pendanaan pemerintah.

Dalam diskusi dibicarakan pula mekanisme pengusulan nagari menjadi desa adat, model untuk nagari yang masih utuh dan yang sudah mekar, serta plus-minus menjadi nagari adat dari sisi dukungan anggaran pemda dan pemerintah pusat.

Diskusi diikuti dengan sangat antusias oleh peserta sehingga jadwal yang mulanya dipatok sampai pukul 14.00 baru selesai pukul 15.30 Wib.

Tim riset nagari sebagai desa adat itu terdiri dari Welhendri Azwar, Ph.D., Dt. Rajo Basa (UIN Imam Bonjol) sebagai Ketua; dengan anggota Dr. Hasanuddin, M. Si., Dt. Tan Patih (UNAND); Dr. Akmal Dt. Bungsu (Alm)(UNP); serta Dr. Yulizal Yunus, Dt. Rajo Bagindo; Huriyatul Akmal, M. Si.; Yurisman, M. Si.; Jum Asnidar, M.Pd.; Syamsul Ibrar, M. Si.; Yuli Permata Sari, S.Ag.; Melisa, S. Ag.; dan Mufti Ulil Amri, S. Ag. (dari UIN Imam Bonjol).*


Wartawan : TE
Editor : Benk123

Tag :#tanahdatar

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com